Mekanisme Pencalonan:
Demokratiskah Sang „Penyambung Lidah“?
Kompas, 03 Desember 2008
„Yak opo iki pak wartawan.“
Begitu reaksi spontan seorang calon anggota DPR ketika daftar calon diumumkan. Pasalnya, dalam posisi sebagai calon, justru tak ada informasi yang jelas dan utuh, baik mengenai daerah pemilihan maupun nomor urut dalam daftar. Tak mengherankan jika calon anggota legislatif atau caleg itu kaget ketika tahu posisinya dalam daftar calon yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum.
Sang „calon mengaku, informasi awal, dirinya ditempatkan di nomor urut Y di daerah pemilihan A. Kabar yang beredar kemudian, dirinya dipindahkan ke daerah pemilihan B, nomor urut tidak berubah. Serupa abrakadra: daerah pemilihan kembali berubah, urutan pun bergeser! Tak mengherankan jika komentarnya seperti tertulis di bagian awal, „Yak opo iki….“
Lain lagi cerita seorang calon yang lain. Akibat konflik internal partainya berkepanjangan, calon yang masih anggota DPR ini sempat keliyengan. Status pencalonannya tidak jelas. Sempat beredar kabar, calon ini akan ditempatkan di daerah pemilihan yang bukan wilayah basis partai politiknya. Nomor urut satu tak ada artinya jika parpol bersangkutan tidak memperoleh kursi di daerah pemilihan itu.
Pendekatan dilakukan, terutama agar dirinya bisa ”dikembalikan” ke daerah pemilihan seperti Pemilu 2004, berapa pun nomor urutnya. Kerja kerasnya selama empat tahun terakhir bisa lenyap tak berbekas jika „dibuang“ ke wilayah yang „kering“. Entah upaya yang dilakukan: ada perubahan sekalipun tidak persis sesuai keinginan awal. Daerah pemilihan berbeda dengan Pemilu 2004, tetapi masih di provinsi yang merupakan basis kekuatan parpolnya, sekalipun bukan di nomor urut atas.„Pertarungan“ seperti itu mewarnai pengajuan calon anggota DPR/DPRD. Sulit dimungkiri, letupan kekecewaan calonlah yang menjadi salah satu pendorong agar diterapkan prinsip suara terbanyak dalam penetapan calon terpilih. Prinsip suara terbanyak didorong sebagai „koreksi“ (atau kompensasi?) atas pencalonan yang dianggap tidak demokratis. Sistem meritokrasi tidak berjalan, siapa yang dekat dengan petinggi parpol cenderung diistimewakan.
Tata cara pengajuan calon anggota DPR/DPRD diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 51 menyatakan, parpol peserta pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR/DPRD. Seleksi bakal calon itu dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal parpol. Tidak ada penjelasan lebih lanjut atas rumusan itu.
Imbasnya, terjemahan mengenai mekanisme internal parpol yang terbuka dan demokratis pun beragam. Parpol merasa mekanisme yang dijalankannya sesuai aturan jika proses pencalonan tidak ditentukan hanya oleh satu orang dan ada tahapan proses yang mesti dilalui. Padahal, yang terjadi adalah standar tim penetapan calon, bahkan hanya pada ketua umum parpol. Mekanisme penghargaan dan hukuman tidak berjalan baik sebab kader yang baik belum tentu ditempatkan di urutan atas. Calon „instan“ bisa muncul karena faktor kedekatan atau bahkan kekerabatan dengan pengurus teras parpol.
Selain itu, pimpinan parpol secara cerdik mewajibkan calon menandatangani surat pernyataan bermeterai „siap ditugaskan di mana pun parpol menugaskan“ dan kesediaan dicabut dari penugasan yang diberikan parpol jika memang parpol memutuskannya demi kepentingan parpol itu. Klausul itu bisa diterjemahkan secara luas, setiap calon bisa ditempatkan di daerah pemilihan mana saja dan urutan berapa saja.
Pengalaman Jerman
Indonesia memang belum seperti negara maju lain. Sebagai bandingan, Pipit R Kartawidjaja dari Watch Indonesia di Berlin mencontohkan kasus di Jerman. Konstitusi Jerman mensyaratkan prinsip demokrasi harus ada dalam tubuh parpol, termasuk soal pemilihan pengurus dan pemilihan calon anggota legislatifnya. Untuk menegakkan aturan main yang demokratis itu, Mahkamah Konstitusi (MK) Federal atau negara bagian bisa turut campur.
Kasus yang fenomenal adalah pengulangan pemilu daerah akibat penunjukan caleg Partai Uni Kristen (CDU) untuk parlemen Negara Bagian Hamburg pada pemilu Juni 1991, yang dinilai tidak demokratis. Saat itu, ada caleg yang menggugat ke MK Negara Bagian Hamburg karena dirinya didepak dari pencalonan.
Dalam fatwanya pada Mei 1993, MK Hamburg menyatakan pemilu daerah 1991 itu tidak demokratis, tidak sah, sehingga harus diulang kembali. Alasannya adalah pemilihan caleg Partai CDU tak demokratis. Karena ada satu parpol peserta pemilu yang tak demokratis, pemilu daerahnya pun menjadi tidak demokratis. Pemilu daerah akhirnya mesti diselenggarakan kembali pada 19 September 1993.
Oleh karena tatanan internal yang mesti demokratis itu, penyusunan caleg parpol di Jerman pun harus dilakukan antara lain dalam musyawarah anggota, musyawarah luar biasa perwakilan, dan musyawarah umum perwakilan.Bagi Pipit, kewajiban itu adalah konsekuensi yang wajar jika menimbang peran sentral parpol. Jika parpol kerap mencoba meyakinkan, merekalah sang „penyambung lidah“ rakyat, sewajarnya jika mekanisme demokratis diwujudkan sejak awal di tubuh mereka. (Sidik Pramono)