Kebohongan, Taktik atau Kultur?
Suara Pembaruan, 19 Januari 2011
Boni Hargens
Di senja yang seperti tengah malam selama musim dingin, dalam bis kota yang membawa kami ke restoran Indonesia di bagian timur kota Berlin, ada perbincangan ringan. Tapi ujungnya cukup serius, setidaknya bagi saya. „Ada satu perbedaan mendasar antara orang Indonesia dan Jerman,” kata seorang teman Jerman totok yang kebetulan menikahi wanita Sumatera. „Kalau orang Jerman sedikit bicara tetapi konsisten dan arahnya jelas. Orang Indonesia terlalu banyak bicara tapi sedikit intinya, kurang fokus, dan tidak konsisten”. Tak ada bantahan yang serius terhadap pandangan kawan ini. Mungkin Anda mau membantah! Tapi saya tahu, dia mengetahui betul Indonesia. Bertahun-tahun ia hidup di Indonesia. Bekerja sebagai aktivis masyarakat sipil. Bergulat dengan persoalan ekologi, hak asasi manusia, dan hak masyarakat lokal dari Sabang sampai Merauke. Bahkan ia lebih memahami dinamika sosial politik dan hukum di tanah air ketimbang sebagian besar orang Indonesia yang saya kenal selama di Jerman. Sebagai kepala Watch Indonesia, sebuah LSM Jerman yang berbasis di Berlin, yang tugasnya meneliti dan menganalisa segala persoalan sosio-ekologis, termasuk hak asasi manusia di Indonesia.
Alex Flor, begitu nama kawan ini yang tentunya tak asing bagi aktivis dan akademisi di Indonesia, amat pantas didengar. Tapi kita berharap omongan itu bukan bagian dari budaya Indonesia melainkan perilaku yang kebetulan ada pada cukup banyak orang Indonesia yang dikenal kawan ini! Mudah-mudahan! Pada situasi itu, dan dalam konteks politik di tanah air belakangan ini, ada pikiran terlintas: jangan-jangan tradisi berbohong sudah menjadi stereotype bangsa Indonesia di mata bangsa lain! Mungkin saja begitu karena memang elite politik kita rajin berbicara sampai-sampai lebih banyak bohongnya daripada jujurnya. Maka kalau para tokoh agama menilai pemerintah kita gandrung bohong, barangkali bukan kemarahan yang perlu diperlihatkan, melainkan koreksi diri secara total dan kualitatif. Tanpa itu, mereka yang memerintah tak akan pernah bisa berubah. Selain itu, tentunya ruang publik menjadi tidak dinamis karena diskusinya tidak mencerdaskan dan tidak membangun. Wacana publik tidak lagi menyangkut kehidupan riil masyarakat tetapi didominasi oleh diskursus kebohongan yang menjengkelkan dan bahkan melukai nurani kolektif masyarakat. Demokrasi sesungguhnya tak bisa diukur hanya dengan melihat indikator prosedural, seperti adanya perangkat pemerintahan, parlemen bekerja, penegak hukum bekerja, birokrasi bergerak, atau pemilu diselenggarakan. Itu perlu, tetapi demokrasi sejati tak cukup prosedur karena kita mengharapkan demokrasi substansial.
Suatu model demokrasi yang kualitasnya ditentukan oleh seberapa serius pemerintahnya bekerja untuk rakyat, apakah parlemen berbicara tentang dan untuk menyelesaikan masalah rakyat, apakah birokrasi berjalan untuk melayani kepentingan umum, apakah penegak hukum bekerja untuk keadilan, dan sebagainya. Itu yang diperhitungkan. Kalau logika ini yang ada di kepala, maka ketika ada kritik dan koreksi, semuanya diterima dengan terbuka untuk berubah. Tapi kalau kritik dibalas reaksi ofensif, apalagi cendrung membenarkan diri, mereka yang memerintah tak akan pernah bisa bekerja untuk rakyat dalam paradigma demokrasi yang substansial tadi.
Tentu tidak ada yang salah dengan kritik kebohongan. Sah-sah saja kalau janji dan kinerja politik yang tidak sinkron—yang oleh kaum moralis universal dilihat sebagai masalah integritas—, disebut kebohongan oleh para tokoh agama. Kalau memang tak pernah berbohong, pemerintah perlu memperlihatkan reaksi yang proporsional dengan tetap membuka ruang bagi koreksi internal. Tidak perlu menyalahkan media massa karena memuat kebohongan itu sebagai substansi editorial. Dengan begitu, pihak yang dituduh berbohong tak saja menyelamatkan karir politiknya tapi juga memberikan pelajaran demokrasi yang mahal untuk masyarakat.
Harapan Tertinggi Masyarakat
Kita memerlukan konsistensi. Kita memerlukan keterbukaan. Kita memerlukan kejujuran. Kita memerlukan integritas. Inilah deretan pengharapan tertinggi dari masyarakat dari mereka yang bertugas menjalankan pemerintahan. Kita tidak suka disebut bangsa yang tidak konsisten, bangsa yang berkata banyak tanpa bermakna. Tapi kalau itu yang terjadi, apa yang perlu kita katakan? Lebih mengerikan lagi ketika diperlihatkan oleh elite politik kita. Kita butuh kritik dan otokritik. Kritik dari luar dan dari dalam diri sendiri. Hanya dengan itu kita bisa berkaca dengan jelas di depan cermin, melihat segala kelebihan dan kekurangan, dan bangkit untuk melanjutkan yang baik dan membersihkan yang kotor.
Setiap pemilu, kita dibingungkan oleh warna bendera yang beragam dan mengganggu mata. Lebih merepotkan lagi, ribuan calon anggota legislatif, calon presiden, atau walikota/bupati dan gubernur di daerah meneriakkan kamuflase janji politik mereka yang absurd. Setiap warga negara normal tahu bahwa politik itu penting. Tapi mereka juga tahu, bualan dan penipuan itu biasa dalam politik kita. Persis poin terakhir ini yang menyurutkan niat mereka untuk terlibat secara tulus dalam politik.
Tidak perlu teori berat untuk memahami kenapa ada perang massa dalam pilkada atau permusuhan antarmassa partai setelah pilpres. Masalahnya sederhana, kebingungan kolektif masyarakat terhadap agen politik dan prosesnya itu dikapitalisasi oleh para pemegang uang dan pencari kekuasaan dengan memakai mekanisme preman sehingga terjadilah benturan massal. Jadi, masalah dasarnya kebohongan. Pelaku politik berbohong untuk mendapatkan jabatan dan terus berbohong untuk mempertahankan kekuasaan.
Refleksi kita perlu difokuskan pada poin ini. Bahwa kebohongan memang sudah menjadi strategi politik. Peluangnya besar dalam masyarakat yang dikepinggirkan dari informasi politik yang jujur dan yang mengonsumsi informasi politik yang sudah dikemas dalam mode pencitraan seperti kehebatan kapitalisme yang membalut ayam hibrida dengan tepung dan bungkusan berwarna, sehingga bisa membunuh pasar ayam kampung yang tentunya lebih sehat bagi tubuh. Meski demikian, kebohongan tak akan pernah mendapatkan tempatnya dalam masyarakat yang sadar politik. Untuk itu, sebagai masyarakat kita perlu bersuara secara pribadi dan kolektif di hadapan otoritas negara.
Berbicara tentang hak dan kewajiban sebagai pembayar pajak dan pemilik republik; berbicara sebagai subyek tentang dan terhadap mereka yang dipercayakan menjalankan kekuasaan. Dengan begitu, demokrasi kita perlahan-lahan bergerak ke arah pematangan. Pada akhirnya, kita bukan lagi bangsa yang berbicara banyak tanpa makna, tapi bangsa yang berbicara banyak secara bermakna dan tentang segala makna dari peradaban bangsa dan demokrasi.
PENULIS ADALAH STAF PENGAJAR ILMU POLITIK UI, SAAT INI TINGGAL DI BERLIN, JERMAN