Imajinasi Keindonesiaan Rabu
Media Indonesia, 18 Agustus 2010
Oleh Boni Hargens, Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia
Di sebuah seminar yang menarik di Berlin (Jerman) beberapa waktu lalu, diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) dan Keluarga Mahasiswa Katolik Indonesia (KMKI), seorang mahasiswa yang hadir mengajukan pertanyaan yang sinikal: sampai kapan Indonesia bisa benar? Kata benar di sini bermakna plural sehingga jawabannya pun jamak. Namun, pertanyaan itu memaksa kita membongkar tesis tua soal apa itu bangsa. Ernest Renan (1882) dan para penganut nasionalisme konstruktivis lainnya mengingatkan kita dari dulu bahwa entitas kebangsaan itu ditentukan oleh kesamaan nasib di masa lalu dan kesamaan visi dan misi. Dalam bahasa Kymlica (1992), bangsa adalah a historical community, sebuah paguyuban sejarawi.
Apakah setelah 65 tahun merdeka, Indonesia sudah menjadi paguyuban historis yang memiliki masa lalu dan visi dan misi yang sama?
Skeptisisme ini muncul setelah melihat untaian masalah sosial maupun politik yang cenderung ingin membelah Indonesia secara tragis berdasarkan haluan parsial. Padahal, Pancasila yang dianggap sebagai pandangan hidup mesti mengikat segala perbedaan dalam satu kesadaran yang sama, yakni kesadaran keindonesiaan. Ikatan integratif antarkelompok sosial sering kali longgar, entah karena permainan politik atau karena kepemimpinan politik yang tak kuat.
Sementara itu, pada aras elite, kita masih sulit menemukan praktik politik yang berpihak sepenuhnya pada rakyat. Sering kali elite bekerja untuk kelompoknya atau sekadar untuk popularitas. Dalam hal pembangunan, yang diutamakan adalah kepentingan material sehingga politisi mudah berselingkuh dengan korporasi besar dalam berbagai aktivitas pertambangan, bahkan dalam ‘proyek penghijauan’, yang akhirnya menghancurkan alam dan manusia. Setidaknya, penilaian ini datang dari tokoh-tokoh Watch Indonesia, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Berlin, seperti Alex Flor, Marianne Klute, dan Pipit D Kartawidjaya yang serius menangani masalah ini di Indonesia.
Kalau ditarik ke sumbu pokok, masalah kita adalah bagaimana mengisi kemerdekaan yang autentik. Setidaknya, nasionalisme dirasakan sebagai kekuatan yang membebaskan (Anthony D Smith, 1994: 3-23). Terkandung di dalamnya semangat membebaskan setiap orang dari segala bentuk hambatan, penindasan, dan keterikatan yang membatasi potensi untuk hidup merdeka.
Nah, apakah nasionalisme keindonesiaan telah membebaskan kita, baik secara individu maupun kelompok, dari segala hambatan atau kesulitan untuk hidup merdeka sepenuhnya? Jawaban atas pertanyaan tak pernah tuntas. Masih ada kelompok agama yang kesulitan beribadah karena rumah doanya diserbu atau dibakar kelompok tertentu yang sering kali bergerak melampaui hukum; yang “kewenangannya” sering membingungkan karena tak diatur dalam konstitusi namun tak pernah dihentikan oleh aparat penegak hukum.
Adegan kekerasan horizontal sudah lazim, tetapi sikap diam aparat hukum dan pemerintah juga sudah lazim. Itu sebabnya, sulit bagi sebagian orang memisahkan kelompok radikal dengan kepentingan politik tertentu. Apalagi, politik terus berubah substansinya dari hal yang berkaitan dengan res publica menjadi sekadar kontestasi kekuasaan pragmatis. Prinsip liar machiavellisme gandrung diterapkan. Pada ruang berpikir ini kita bisa melihat dengan jelas bahwa simbol agama yang melekat pada berbagai adegan kekerasan sipil ternyata tak ada irisan langsungnya dengan agama an sich. Maka dari itu, dalam konteks peringatan kemerdekaan Indonesia, di tengah berbagai masalah yang rumit, kita perlu menyepakati dua hal sebagai solusi ke depan. Pertama, kepemimpinan politik yang kuat dan kedua, perlunya membangun dan menguatkan imajinasi keindonesiaan di tengah masyarakat yang plural.
Kepemimpinan politik
Ketika Soehartoisme masih berkuasa, seluruh elemen sosial dan politik membangun konsolidasi untuk menumbangkan otoritarianisme yang bertahan selama 32 tahun. Rezim ini dilawan karena kepemimpinan politik dinilai tak berpihak lagi pada misi kesejahteraan rakyat. Tapi, apa yang terjadi setelah 1998? Konsolidasi demokrasi tak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Guillermo O’Donell dan Phillipe C Schmitter (1986) dalam teori transisi politik klasik mereka mengatakan bahwa transisi akan selalu bersifat temporal dan terukur. Kita gagal membenarkan tesis ini. Termasuk juga konsep kedua orang ini tentang konsolidasi demokrasi yang mencakup dua tahap, yakni tahap liberalisasi dan demokratisasi, belum berhasil di Indonesia. Kalau mengacu pada statistik Freedom House di Washington, kita sudah berhasil pada tahap liberalisasi sejak kita dimasukkan dalam daftar 89 negara yang disebut ‘negara demokrasi liberal’ pada tahun 2009 lalu. Akan tetapi, dalam hal demokratisasi itu sendiri kita belum berhasil. Ukurannya adalah institusi yang kuat dan keterjaminan hidup warga negara yang optimal.
Perubahan hanya bisa sukses kalau ada kepemimpinan politik yang kuat. Suatu kepemimpinan yang berlandaskan pada konstitusi dan bekerja secara total untuk bangsa dan negara secara total dan konstitusional tanpa promiskuitas dengan kepentingan parsial atau dengan kartel politik apa pun di balik layar.
Imaginasi keindonesiaan
Perubahan juga bisa terjadi kalau ada integrasi sosial yang kuat di tengah masyarakat yang plural. Pada konteks ini, kita perlu mengingat tesis Benedict Anderson tentang The Imagined Community. Bahwa identitas kebangsaan ditentukan oleh kemampuan seluruh elemen untuk membayangkan diri sebagai satu entitas.
Historisisme Anderson adalah sebuah logika linear yang tentu saja debatable. Setidaknya, dalam seluruh analisisnya, Anderson tak sempat membayangkan bahwa logika kebangsaan mengikuti gerak kurva Cartesian (x,y). Bahwa kalau kemampuan membayangkan diri sebagai bangsa adalah sebuah gerak +x, maka akan selalu ada kemungkinan gerak itu berbalik menjadi -x ketika potensi memecah-belah bangsa lebih besar daripada kemampuan memperkuat kesatuan.
Persis ini tantangan kita, bagaimana membangun imajinasi keindonesiaan pada saat kekuatan destruktif makin besar. Harus ada kehendak alamiah dari setiap kelompok berbeda untuk saling menghargai dan saling membutuhkan sehingga konflik bisa diminimalisasi. Selain itu, yang paling utama adalah adanya kepemimpinan politik yang kuat yang bisa menertibkan ruang publik agar selaras selalu dengan konstitusi demokratis. ***