Mengadaptasi Pemilihan Umum 1999
Kompas, 17 September 2011
Terlepas dari beragam persoalan yang menyertainya, Pemilihan Umum 1999 dinilai sebagai salah satu penyelenggaraan pemilu terbaik, selain Pemilu 1955. Pemilu demokratis pertama sejak era reformasi 1998 itu menjadi „kulminasi politik“ pasca-Orde Baru dengan keikutsertaan berbagai kekuatan politik yang sebelumnya terepresi.
Cerita berlanjut. Tiga kali pemilu pascareformasi memang memberikan beragam catatan. Misalnya, cara penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak dianggap membuat demokrasi menjadi „bergaya Amerika“ disertai keharusan berbiaya mahal. Nyaris tak mungkin calon bisa terpilih tanpa dibekali kekuatan finansial memadai.
Realitasnya, metode penetapan calon terpilih dengan suara terbanyak merupakan isu populer sebagai antitesa atas praktik oligarki partai yang semakin mengkhawatirkan. Namun, dampak hebatnya baru disadari kemudian. Tak mengherankan jika menjelang Pemilu 2014 muncul kembali ide agar sistem daftar calon dikembalikan ke model daftar calon tetap (close list). Perdebatan pun berpotensi akan seperti diputar ke masa menjelang Pemilu 2004 dan 2009.
Pemerhati pemilu, Pipit R Kartawidjaja dari Watch Indonesia di Berlin, berpandangan, salah satu prinsip berpemilu adalah pembiasaan. Artinya, jika sistem dan perangkat teknis terlalu kerap berubah dalam waktu singkat, dikhawatirkan hal itu tidak akan mendidik masyarakat pemilih. Di sisi lain, ketimbang perubahan drastis dan harus mengambil rujukan pengalaman sana-sini, Indonesia sebenarnya punya pengalaman berpemilu yang bisa diperbaiki untuk pemilu mendatang. Misalnya, jika memang ingin kembali ke close list dinilai bertentangan dengan kehendak umum, masih ada jalan tengah yang bisa diadopsi dari ketentuan Pemilu 1999.
Ketentuan dalam Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1999 mengenai Pemilu Anggota DPR dan DPRD menyatakan jumlah kursi anggota DPR untuk setiap daerah pemilihan ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk di daerah tingkat I, dengan ketentuan setiap daerah tingkat II mendapat minimal satu kursi— dengan perkecualian Provinsi Timor Timur.
Penghitungan suara untuk menentukan perolehan jumlah kursi partai politik peserta pemilu untuk anggota DPR berdasarkan seluruh hasil suara yang diperoleh parpol tersebut di daerah tingkat I. Penentuan calon terpilih anggota DPR dari setiap parpol oleh PPI berdasarkan pengajuan pimpinan parpol tingkat pusat dengan mengacu pada suara terbanyak/terbesar yang diperoleh parpol di daerah tingkat II.
Kenangan pada Pemilu 1999 itu bisa „dibangkitkan“ lagi. Salah satunya dengan mengadopsi metode penghitungan suara dan penetapan calon terpilih. Perhitungan dilakukan, misalnya, di level provinsi, baru kemudian penentuan kursinya dan/atau calon terpilih kembali merujuk hasil di tiap kabupaten/kota. Prinsip „open list“ masih bisa diterapkan di mana ada calon yang mewakili kabupaten/kota. Jika ketimpangan jumlah penduduk yang dikhawatirkan bakal menjadi persoalan, jalan tengahnya adalah menyisakan kursi di tingkat provinsi demi memproporsionalkan perolehan kursi dengan perolehan suara.
Pipit berpandangan, metode penghitungan ala 1999 akan mengakomodasi keinginan agar ada disiplin kader terhadap parpolnya, juga keinginan ada prinsip keterwakilan yang jelas. Dengan cara itu, setiap calon anggota legislatif juga mesti berupaya maksimal mendongkrak perolehan suara parpol.
Gagasan ini muncul sebagai tawaran alternatif di tengah tarik-menarik kepentingan dalam pembahasan RUU Perubahan atas UU No 10/2008 mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasalnya, semua usul pasti memiliki kendala dan perbenturan prinsip. Misalnya, keinginan menciutkan daerah pemilihan menjadi 3-6 atau 3-7 kursi bakal berhadapan dengan prinsip bahwa sebuah wilayah administratif tidak boleh dipecah ke dapil yang berbeda.
Pipit sependapat, pemekaran yang ekstensif menjadi salah satu problem yang harus dipecahkan dalam alternatif perhitungan yang mengadopsi cara pada Pemilu 1999. Misalnya, meski Papua memiliki 29 kabupaten/ kota, tidak mungkin provinsi itu mendapat alokasi 29 kursi DPR karena jumlah penduduknya tak cukup banyak untuk itu.
Untuk kasus semacam itu, DPR dan pemerintah harus bersepakat adanya klausul khusus. Mumpung masih ada waktu, mari bersimulasi dan berhitung kembali. (Sidik Pramono)