Silvia Werner: Mempertanyakan Tanggung Jawab Perusahaan Tambang
jaringnews.com, 28 Maret 2013
Praktek tidak bertanggungjawab pernah dilakukan oleh Newmont Minahasa Raya pada periode 1996-2004.
HAMBURG, Jaringnews.com – Produksi pertambangan Indonesia yang mayoritas terdiri dari batubara, timah, tembaga, emas dan ammonia benar-benar menggiurkan. Untuk saat ini produksi tembaga di Indonesia didominasi oleh PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara. Kedua perusahaan AS tersebut memproduksikan sekitar 50 persen dari seluruh produksi tembaga di Indonesia. 85 persen dari produksi tembaga Indonesia diekspor. Sebagaimana tersiar di commodityonline.com, produksi Indonesia turun 35 persen pada tahun 2012. Selama ini, permintaan terhadap tembaga kebanyakan datang dari industri kabel telekomunikasi dan kabel elektronis.
Dominasi PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara pada sektor tembaga sangat disayangkan oleh LSM Jerman. LSM bernama Watch Indonesia! prihatin dengan fakta bahwa PT Freeport belum menaikkan kemakmuran masyarakat lokal. Karena Papua adalah provinsi yang memiliki status otonomi khusus maka ada aturan bahwa 80 persen dari penghasilan nasional yang diterima dari Freeport harus kembali ke provinsi Papua.
Hal lain yang harus diperhatikan dan menjadi desakan Watch Indonesia! adalah perlu dihindarinya praktek-praktek yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan dan yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat. Seperti diketahui, praktek tidak bertanggungjawab pernah dilakukan oleh petambang emas Newmont Minahasa Raya pada periode 1996-2004 lalu. Akibatnya, waktu itu lingkungan tercemar limbah pertambangan, ekosistem Teluk Buyat rusak dan penyakit kulit masyarakat merajalela.
Selain tembaga, sektor aluminium kini juga meningkat signifikan. Pada April 2011, PT Antam memulai pembangunan pabrik aluminium (Chemical Grade Alumina) di Tayan, Kalimantan Barat. Pabrik yang dibangun bersama dengan perusahaan kimia Jepang Showa Denko (20 %) dengan investasi sebanyak US$ 450 juta itu bakal memproduksi 300.000 ton oksida aluminium pertahun. Bahan mentah untuk produksi tersebut adalah persedian bauksid yang telah tersedia di daerah tersebut. Pabrik aluminium ini akan memulai produksinya pada 2014 dengan produksi tahunan sebanyak 300.000 ton.
Karena permintaan lokal terhadap produk baja naik, perusahaan pertambangan PT Merukh Iron & Steel yang dimiliki oleh Merukh Enterprises juga tergiur melakukan investasi yang luas kepada produksi besi dan baja. Di pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur pun akan dibangun dua pabrik baja dan besi senilai 20 miliar Euro. Kooperasi perusahaan Luxemburg Paul Wurth SA dan perusahaan Jerman Siemag AG akan memproduksi 3.5 juta ton baja pertahun. Dalam rangka CSRnya (Corporate Social Responsibility) maka akan dibangun prasarana di Sumba senilai 15 miliar Euro. Pabrik itu sendiri akan dibangun pada tahun ini dan akan memulai produksinya pada 2015 mendatang.
Pabrik pertama Paul Wurth SA dan Siemag AG akan dibangun di Sumba Barat, dimana di tempat ini ada persediaan 977 juta ton bijih logam dengan kandungan besi 68 persen. Persediaan sebanyak 1 miliar ton dengan kandungan besi yang sama ada di lokasi kedua yaitu di Sumba Timur. PT Sumba Prima Iron (SPI) yang adalah anak perusahaan Merukh akan menggali bijih logam tersebut. SPI pun menjalin kerjasama dengan Salgaocar Mining Industries Pvt Ltd dari India dan ESG Eisenerz-Stahl GmbH dari Jerman. Menurut perkiraan SPI, permintaan baja di Indonesia akan naik menjadi 20 juta ton pertahun sampai tahun 2020 dan 30 juta ton sampai tahun 2030.
Indonesia adalah eksportir timah terbesar di dunia dan produsen terbesar setelah China. Secara global, perusahaan nasional PT Timah adalah perusahan terbesar dari industri timah dan memiliki saham sebanyak 25 persen dari PT Koba Tin. Saham PT Koba Tin lainnya dimiliki oleh Malaysia Smelting Corporation. Sektor timah sempat terdampak krisis ekonomi global tahun 2008/09. Karena sering ada pertambangan timah ilegal, sektor timah memiliki banyak masalah struktural. Karena harganya turun dan produksinya makin kurang ekonomis, jumlah produksinya pun dikurangi. Instansi pemerintah di kepulauan Bangka-Belitung pun sering menutup pertambangan dan peleburan ilegal akhir-akhir ini. Produsen ilegal tersebut memakai pola pertambangan primitif yang merusak lingkungan.
Untuk meningkatkan produktivitas, PT Timah Tbk melakukan investasi sebanyak 1.2 miliar Rupiah pada tahun 2011. Dengan dana tersebut, dibelilah peralatan untuk eksplorasi dan pertambangan offshore. Menurut Indonesia Finance Today, produksi timah perusahaan tersebut mencapai 29,600 ton pada 2012. Capaian sebanyak itu naik sebesar 6,600 ton dibanding dengan tahun 2010.
Sejauh ini, ada juga investasi luas yang direncanakan oleh PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRM) untuk pertambangan emas, intan, tembaga, besi, timbal dan seng. Untuk perluasan proyek itu telah disediakan dana sebesar US$ 581 juta antara tahun 2011 dan 2013. BRM, perseroan oleh perusahaan pertambangan Pt Bumi Resources Tbk (BUMI), memiliki saham atas PT Citra Palu (97%) dan PT Gorontalo Minerals (80%). PT Citra Palu memiliki kontrak konsesi seluas 138,889 ha untuk pertambangan emas di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Daerah konsesi yang dimiliki oleh PT Gorontalo Minerals untuk tambangan emas dan tembaga seluas 36,070 hektar. Menurut laporan WALHI Agustus 2012, ada banyak penambang liar di kawasan konsesi PT Citra Palu yang sudah sempat menggunduli pegunungan Peboya untuk menambang emas.
BRM juga memiliki konsesi untuk seng, timbal, perak dan besi. Anak perusahannya yaitu Herald Resources Ltd menguasai 80 persen PT Dairi Prima Minerals. Perusahaan tersebut tahun ini akan mulai dengan pertambangan seng dan timbal di Dairi, Sumatera Utara. Cadangan seng di Dairi mencapai 20.1 juta ton dan termasuk salah satu cadangan terbesar di dunia.
Investor terpenting sektor pertambangan emas dan perak tentu saja PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara. Kedua perusahaan tersebut adalah cabang dari perusahaan pertambangan AS. BRM memiliki saham sebesar 24 persen di PT Newmont Nusa Tenggara yang memiliki pertambangan emas yang menguntungkan bernama Batu Hijau. Akan tetapi, ada juga masalah lingkungan terkait dengan pertambangan di Batu Hijau. Tiap hari dibuang 120,000 ton tailings ke Teluk Senunu. Tragisnya, Batu Hijau akan melangsungkan produksinya hingga 2025.
Sementara banyak perusahaan tambang telah menentukan besaran perluasan investasinya, sekarang ini masih ada 40 perusahaan pertambangan yang menunggu izin untuk membuang limbah pertambangan ke dalam laut. LSM sosial dan lingkungan hidup tentu khawatir dengan kerusakan berat yang akan diderita lingkungan kalau perusahaan pertambangan itu melanjutkan praktek-praktek yang tidak dapat diterima tersebut. LSM lingkungan hidup khawatir pertanggungjawaban atas polusi dan kerusakan lingkungan tidak diminta oleh instansi-instansi pemerintah.
Dr. Silvia Werner, Alumni Free University of Berlin dan kini menetap di Hanover, Jerman. (Sil / Deb)