Koalisi Retak Tanggung Jawab Presiden
Kompas, 11 April 2012
Koalisi Pemerintahanoleh Sidik Pramono
Rapat paripurna DPR yang membahas perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012, menjadi potret termutakhir mengenai tak solidnya koalisi pendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Rencana pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi telah menonjolkan keretakan antar parpol yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan Partai Politik Pendukung Pemerintahan Yudhoyono-Boediono. Dalam rapat paripurna DPR pada Jumat (30/3) hingga Sabtu (31/3) dini hari, lewat mekanisme pemungutan suara (voting) disepakati adanya Pasal 7 Ayat (6A) perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 mengenai APBN 2012.
Bunyi pasal itu adalah „Dalam hal harga rata-rata minyak Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15 persen dalam 6 bulan terakhir dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN-P Tahun Anggaran 2012, pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukung.”
Meski anggota koalisi, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak klausul pasal itu, penolakan itu baru dilakukan pada saat terakhir rapat paripurna.
Sebelumnya, Partai Golkar diberitakan juga bakal bergabung dengan fraksi di luar mayoritas Setgab. Dalam pernyataan pers 29 Maret 2012, Fraksi Partai Golkar antara lain berpandangan bahwa „tidaklah tepat untuk menaikkan harga BBM bersubsidi saat ini”. Namun realitasnya, Partai Golkar „kembali” bersama Setgab, memenangkan Pasal 7 Ayat (6A).
Kenapa koalisi jadi begini?Pipit R Kartawidjaja dari Watch Indonesia! di Berlin menilai, koalisi parpol di Indonesia sudah merupa kondisi di Amerika Latin. Alih-alih diikat dengan kesamaan ideologi atau platform yang menjadikan sistem pemerintahan presidensial yang stabil, koalisi menjadi sangat cair. Parpol pendukung pemerintah bisa sewaktu-waktu berpindah menjadi „oposisi” manakala dihadapkan dengan keputusan pemerintah yang bertentangan dengan kehendak mayoritas rakyat.
„Meski koalisi, parpol mau pindah untuk mendukung kebijakan populis,” kata Pipit.
Menurut peneliti senior The Indonesian Institute, Hanta Yuda AR, koalisi yang dibangun Yudhoyono selama hampir satu dekade ini dibangun secara lebih pragmatis dengan berbasis pembagian kursi. Koalisi ini bukan dibangun berbasis kedekatan ideologi atau persamaan platform.
„Sampai 75 persen kekuatan koalisi, itu oversize coalition, tapi rapuh dan cair. Semakin banyak partai, semakin besar pula persilangan kepentingan. Kontrak koalisi juga normatif multitafsir sehingga banyak celah yang justru dilanggar bersama,” sebut Hanta.
Namun Hanta juga menyebutkan, problem kepemimpinan dan komunikasi politik di koalisi juga menjadi sumber persoalan. „Itulah penyebab terjadinya ‘politik dua kaki’ yang dijalankan partai-partai mitra koalisi. Sepanjang itu tak dibereskan, kita akan mengalami koalisi rapuh dan cair terus-menerus,” ujar Hanta.
Menurut Hanta, problem koalisi akan terus berulang sepanjang problem dan komplikasi politik presidensialisme setengah hati ala Indonesia tak dibenahi. Ironisnya, sejauh ini belum terlihat upaya komprehensif yang sungguh-sungguh untuk penataan ulang desain sistem dan institusi politik kita.