Belajar Mundur
Kompas, 06 Maret 2013
http://berita.indah.web.id/kompas_cetak/read/2013/03/06/0208252/belajar..mundur.dari.jerman
dari Jerman Boni Hargens
Terkait kunjungan Presiden SBY ke Jerman, Watch Indonesia!, sebuah organisasi swadaya masyarakat di Berlin, menegaskan dalam siaran pers yang kami terima, 4 Maret 2013: ”In den bilateralen Beziehungen zwischen Deutschland und Indonesien muss die Zukunft von Menschen und Umwelt in Indonesien, nicht die Interessen von Wirtschaft und Militär, im Vordergrund stehen.” – ”Dalam hubungan bilateral Jerman-Indonesia, masa depan rakyat dan lingkungan hidup Indonesia mesti dikedepankan, bukan sekadar kepentingan ekonomi dan militer.” Kepergian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Jerman untuk memenuhi undangan Presiden Joachim Gauck.
Desember 2011, Presiden Jerman Christian Wulff ke Jakarta, tak lama sebelum dia mundur dari kursi kepresidenan seusai diterpa skandal media dan kredit rumah. Wulff lalu digantikan bekas pendeta Evangelis, Joachim Gauck.
Cukup lama hubungan Indonesia-Jerman membeku. Keputusan Uni Eropa (UE) yang melarang penerbangan Garuda ke negara anggota UE terkait keamanan merupakan salah satu pemicu kebekuan itu. Alasan lain barangkali seperti yang ditulis Watch Indonesia! Konon SBY singgah di Berlin dalam perjalanan menuju Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen, 2009. Tak satu pun media cetak Jerman meliput. Satu-satunya bukti SBY ada di Berlin: video konferensi pers dengan Kanselir Merkel yang hanya dimuat di situs kantor Kanselir Jerman.
Kita tidak bilang SBY merasa terhina dengan itu. Namun, yang jelas, kunjungan Menlu Jerman Westerwelle (2011) mendadak dibatalkan Pemerintah Indonesia dengan alasan kesulitan jadwal. Setelah itu, relasi kedua negara dingin. Diplomasi kurang proaktif tentu juga alasan penting: Kedutaan Besar RI di Berlin perlu menjelaskan duduk perkaranya.
Setelah Pemerintah Indonesia membeli kapal dari Perusahaan Meyer Werft, dan 103 tank Leopard, melalui perusahaan Rheinmetall, hubungan kedua negara kembali pulih. Kita ingat, Kanselir Angela Dorothea Merkel berada di Jakarta paruh 2012. Lalu, di permulaan 2013, Menteri Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan Dirk Niebel bertandang ke Jakarta, disusul Menlu Guido Westerwelle pada Februari.
Betapapun hangat hubungan bilateral, yang terpenting adalah poinnya. Watch Indonesia! memberi contoh poin, kepentingan rakyat dan lingkungan di Indonesia mesti jadi fokus dan target kerja sama kedua negara. Poin lain, soal belajar berdemokrasi. Tak bisa dipungkiri, Jerman merupakan salah satu fondasi utama UE.
Tak hanya soal ekonomi dan militer, demokrasi negara ini pun kuat. Memang baru 1989 Tembok Berlin diruntuhkan, tetapi demokrasi sudah mengakar kuat di negeri para filsuf ini. Karena itu, ”belajar dari Jerman” mesti jadi tema kita. Belajar tentang etika politik.
Etika politik
SBY tentu masih ingat Christian Wulff. Politikus dari Partai Kristen Demokrat (CDU) itu bukan pensiunan jenderal, tetapi sipil yang murah senyum dan luwes. Begitu ia dituduh bertanggung jawab dalam kasus kredit rumah oleh istrinya, yang berujung pada tuduhan meneror wartawan, Wulff tegas menyatakan mundur dari jabatan. Pengadilan belum membuktikan ia bersalah. Wulff duluan mundur. Itu namanya etika politik.
Wulff dan partai politiknya tak sibuk membuang energi membangun apologi atau rekayasa pengalihan isu. Ia sadar jabatan adalah amanah. Ketika amanah itu terluka oleh peristiwa, perilaku, atau ketidaksengajaan, amanah harus dikembalikan, jabatan dilepas. Keputusan pengadilan bukan alasan mengulur waktu.
Meski pengadilan tak mempersalahkan, ia tahu imajinasi publik tentang kekuasaan yang bersih sudah terganggu. Demi menyelamatkan imajinasi berdemokrasi yang bersih itulah jiwa besar dituntut ada. Betul, ada tekanan internal partai sehingga Wulff mempercepat kemundurannya. Namun, tanpa kerelaan personal, ia tak mungkin mundur semudah itu. Kita tidak sedang berbincang soal keharusan seorang presiden mundur di tengah jalan atau berbicara tentang ”negara mau diguncang” seperti pidato SBY belum lama ini. Kita tengah berbicara tentang etika politik. Bahwa yang terpenting dalam demokrasi adalah menyelamatkan imajinasi kolektif masyarakat tentang demokrasi yang benar. Di situlah tesis ”kekuasaan milik rakyat” mendapatkan rohnya.
Berpolitik bukan soal berkelit atau bermain wewenang. Makna politik tak bisa dikebiri jadi sekadar intervensi, pengalihan isu, politisasi, atau negara diguncang. Politik adalah soal kejiwabesaran, kerelaan, dan kejujuran lebih berpihak pada kehendak dan kepentingan umum daripada naluri pribadi atau keselamatan keluarga dan kelompok.
Kita menantikan Presiden SBY kembali dari Jerman. Tentu dengan pidato barunya. Bukan soal Anas atau Cikeas, tapi pentingnya ”mundur” jadi kultur dalam berpolitik. Siapa pun politisi yang gagal atau bersalah mesti mundur sebab dalam etikalah roh demokrasi hidup.
Boni Hargens Dosen Ilmu Politik UI; Sedang Belajar di Humboldt Unversität, Berlin, Jerman