Bravo ‘Partai Golput’
Republika – Teraju, 19 Mei 2014
Silakan lihat layout aslinya lengkap dengan grafik dan gambar2.
Oleh Harun Husein
Jumlah yang tidak memilih dalam pemilu kali ini mencapai 46 juta.
Kemampuan partai politik di Indonesia dalam menangguk suara pemilih, kian memble. Kinerja partai-partai pada dua pemilu terakhir tersalip oleh „Partai Golput”. Di saat yang sama, efektivitas partai yang masuk parlemen, ternyata juga tak menggembirakan. Pada Pemilu 2014 ini, ‘Partai Golput’ meraih suara sebanyak 46 juta. Angka ini dua kali lipat dibanding suara pemenang pemilu resmi yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum, yaitu PDI Perjuangan. Partai Banteng itu hanya mampu meraih 23 juta suara.
Golongan putih alias orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, telah menjadi pemenang sejak Pemilu 2009 lalu. Saat itu, ‘Partai Golput’ meraih hampir 50 juta suara. Padahal, pemenang pemilu resmi saat itu, Partai Demokrat, hanya meraih 21 juta suara.
Besarnya angka golput ini, memang sedikit tertutupi oleh angka partisipasi pemilih yang meningkat dibanding pemilu sebelumnya. Berdasarkan perhitungan KPU, partisipasi pemilih saat ini adalah 75,11 persen, sedangkan partisipasi pemilu sebelumnya 70,99 persen. Betapapun, angka golput yang mencapai 24,89 persen terhadap pemilih terdaftar – yang menurut data terakhir versi KPU adalah 185,8 juta – dapat dikatakan moderat, tapi angka absolutnya yang begitu besar, tetap saja mengganggu. Sebab, angka golput pada pemilu kali ini, lebih besar dibanding penduduk di Jawa Barat, provinsi yang jumlah penduduknya paling banyak di Indonesia. Menurut sensus BPS 2010, penduduk Jawa Barat berjumlah 43 juta orang.
Atau, kalau angka golput itu kita bandingkan dengan jumlah penduduk Provinsi Gorontalo yang hanya satu juta orang, perbandingannya lebih dramatis lagi. Sebab, angka golput itu adalah 46 kali lipat penduduk Gorontalo. Ini tentu angka yang sangat massif.
Tanpa mengecilkan keberhasilan KPU yang mampu menekan angka golput hingga empat poin persen dibanding pemilu sebelumnya, menjadi pertanyaan menarik mengapa golput ini masih sedemikian besar. Dari penelusuran Republika, ada sejumlah faktor yang dapat diduga sebagai penyebab tingginya angka golput ini. Pertama, kemampuan mesin politik partai yang kian kedodoran. Fakta itu terlihat dari raihan suara pemenang pemilu yang menurun secara konstan. Pada Pemilu 1999 lalu, PDI Perjuangan yang menjadi pemenang pemilu, berhasil meraup 33,74 persen suara. Pada Pemilu 2004, Partai Golkar yang jadi pemenang, meraih 21,58 persen suara. Pada Pemilu 2009, Partai Demokrat yang menjadi pemenang, meraup 20,81 persen suara. Sedangkan, pada Pemilu 2014 ini, PDIP yang menjadi pemenang, hanya meraih 18,95 persen suara. Pemilu kali ini pun kian mengukuhkan bahwa di Indonesia tidak ada partai besar. Sebab, suara yang hanya 18,95 persen itu, sejatinya masih masuk kategori partai kelas menengah alias medioker.
Fragmentasi
Lebih parah lagi, kondisi itu kian memperparah fragmentasi kepartaian di parlemen. Sebab, jumlah partai efektif di parlemen – yang biasa diukur dengan indeks ENPP (the Effective Number of Parliament Parties), justru sangat tinggi. Menurut perhitungan ahli matematika pemilu, Pipit R Kartawidjaja, indeks ENPP parlemen hasil Pemilu 2014 adalah 8,16. Angka ini lebih tinggi dibanding indeks ENPP hasil Pemilu 2009 yaitu 6,21. „Artinya, sistem kepartaian kita adalah sistem kepartaian ultra atau ekstrem. Ini berarti misi UU No 8/2012 tentang Pemilu gagal, dan bakal menyusahkan sistem presidensial,” kata Pipit kepada Republika, pekan lalu.
Pipit membandingkan kasus Indonesia dengan Inggris. Parlemen Inggris saat ini diduduki oleh 12 partai, lebih banyak ketimbang Indonesia yang hanya 10 partai. „Tapi, meski lebih banyak ketimbang di Indonesia, ENPP-nya hanya 2,6 alias tergolong dwi-kepartaian. Itu karena di parlemen Inggris ada dua partai yang dominan. Sedangkan partai dominan di Indonesia tidak ada. Menurut ukuran internasional, kalau suaranya di bawah 20 persen itu disebut partai menengah, sedangkan kalau di bawah 10 persen itu disebut partai gurem,” kata Pipit.
Giovanni Sartori, seorang ilmuwan politik, mengklasifikasi sistem kepartaian sebagai dwipartai jika ENPP-nya 2-3. Jika jumlahnya 3-5, masuk kategori moderat sederhana. Adapun di atas lima masuk kategori ekstrem atau ultra. „Jadi, sistem kepartaian itu sederhana atau tidak, bukan dilihat dari jumlah parpol secara riil. Para ahli sepakat mengukur berdasarkan efektivitasnya,” kata August Mellaz, kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Penyebab kedua, yang berkaitan erat dan punya hubungan sebab akibat dengan penyebab pertama, adalah kian rendahnya identifikasi masyarat terhadap partai politik (party id). Menurut penelitian sejumlah lembaga survei, party id pemilih di Indonesia meluncur jatuh dengan ekstrem. Pada tahun 1999 lalu, Lembaga Survei Indonesia (LSI) mendapati masyarakat yang mengidentifikasi dirinya dengan partai masih 86 persen. Pada 2004, turun menjadi 54 persen. Selanjutnya, pada 2009, tinggal 20 persen.
Tapi, penurunan itu masih berlanjut. Pengukuran Indikator Politik Indonesia (IPI) pada Maret 2013, angka party id tinggal 14,3 persen. Selanjutnya, pada Oktober 2013 tinggal 10 persen. Padahal, jika angka party id tinggal 10 persen, itu berarti angka pemilih mengambang (floating voters) adalah 90 persen. Alhasil, jika ke depan tak ada perubahan, maka pemilu-pemilu ke depan kita akan terus menyaksikan ‘Partai Golput’ mempecundangi partai-partai di Indonesia yang kian tak mengakar. Partai-partai yang kian jauh dari rakyat, dan menjadi alat pengeruk suara (electoral machine) belaka.
Penyebab ketiga, adalah kemampuan penyelenggara pemilu dalam sosialisasi dan mengajak pemilih memberikan suaranya di TPS. Benar bahwa memilih adalah hak, dan tidak mungkin dipaksa. Tapi, sampai saat ini KPU tidak kunjung bisa menjelaskan seberapa banyak dari angka 46 juta golput itu yang masuk kategori golput ideologis – yang memang tak bisa dipaksa – dan berapa yang masuk kategori golput teknis, seperti tidak ke TPS karena tidak mendapat surat undangan, kasus yang berkaitan erat dengan manajemen pemilu.
Telunjuk kepada KPU ini juga masih bisa diarahkan dalam kasus banyaknya suara tidak sah dalam pemilu kali ini. Apakah sosialisasi pencoblosan yang dilakukan KPU berhasil, kalau ada 14,6 juta orang yang melakukan kesalahan mencoblos saat pemilu, yang berakibat suaranya hangus? Memang, KPU dapat berkilah bahwa pada Pemilu 2009 lalu, angka suara tidak sah ini lebih besar. Tapi, pada Pemilu 2004, yang teknik pemberian suaranya sama, yaitu mencoblos partai dan calon, toh hanya 10,9 juta pemilih yang melakukan kesalahan.
Sudah tiga kali pemilu digelar di mana pemilih disuguhi surat suara besar berisi partai dan caleg, dengan teknik pencoblosan yang hampir sama. Sehingga seharusnya sudah ada pembiasaan. Tapi, ternyata banyak pemilih yang masih jatuh ke lubang yang sama.
Pemilu 2014 dengan Sejumlah Catatan
Oleh Harun Husein
Proporsionalitas pemilu membaik, tapi efektivitas parlemen kian memburuk.
Pemilu 2014 kali ini, bisa dikatakan sebagai pemilu yang cukup kontroversial. Ada sejumlah kemajuan di sana sini, tapi pada saat bersamaan, kekurangan-kekurangannya pun meningkat. Salah satu frase yang mengemuka dalam pemilu kali ini adalah „pemilu yang brutal”.
Peningkatan yang paling menyolok dari pemilu kali ini adalah pada derajat proporsionalitasnya. Menurut perhitungan Republika, menggunakan formula Gallagher, Least Square (LSq) Index pemilu kali adalah 3,0. Makin rendah angkanya, makin tinggi derajat proporsionalitasnya.
Dilihat dari indeks LSq tersebut, pemilu kali ini bahkan lebih baik derajat proporsionalitas ketimbang Pemilu 1999 lalu. Indeks LSq Pemilu 1999 adalah 3,2. Sedangkan, indeks LSq dua pemilu lainnya lebih tinggi yaitu 4,16 pada Pemilu 2004, dan 6,0 pada Pemilu 2009. Secara sederhana, proporsionalitas hasil sebuah pemilu, diukur dengan membandingkan jumlah suara dengan kursi. Jika terjadi kesenjangan yang besar, itu merupakan pertanda adanya disproporsionalitas. Misalnya, bila persentase jumlah kursi yang diraih partai ternyata jauh lebih besar dibanding suaranya. Cara lain untuk mengukur derajat proporsionalitas, adalah dengan banyaknya pemilih yang terwakili alias suaranya terkonversi menjadi kursi. Bila banyak suara terbuang, tidak sah, ditambah partisipasi pemilih yang rendah, tentu derajat keterwakilan juga menjadi terpuruk.
Naiknya angka ambang batas perwakilan (parliamentary threshold), semula sempat diperkirakan bakal menjadi penyebab bakal banyaknya suara hangus. Namun, tampaknya pemilu kali ini tertolong oleh sedikitnya jumlah peserta pemilu, dan lebih banyaknya partai yang masuk parlemen. Pada Pemilu 2009, ada 38 partai yang menjadi kontestan. Tapi, hanya sembilan yang lolos ke parlemen. Total suara 29 partai yang tak lolos parlemen itu mencapai 19 juta.
Sedangkan, pada Pemilu kali ini, kontestannya hanya 12 partai, dan hanya dua yang tak lolos parliamentary threshold. Total suara hangus kedua partai ini kecil belaka, hanya 2,9 juta. Alhasil, persentase suara dengan kursi partai-partai yang masuk Senayan, kian mendekat. Pada Pemilu 2009 lalu, misalnya, Partai Golkar meraih 14,45 persen suara, tapi kursinya 18,93 persen, alias memanen surplus proporsionalitas 4,48 persen. Pada Pemilu 2014 ini, suaranya 14,75 persen, sedangkan kursinya 16,25 persen, alias hanya ketambahan ‘bonus’ 1,5 persen. Suara terkorversi pada Pemilu 2014 ini juga lebih besar, karena meningkatnya partisipasi pemilu dan menurunnya angka golput, serta berkurangnya suara tidak sah. Meski, angka golput dan suara tidak sah itu tetap saja mencemaskan. Alhasil, jika pada Pemilu 2009 lalu pemilu di Indonesia sudah masuk kategori semiproporsional bahkan terancam disproporsional, pemilu kali ini berhasil membaliknya.Tapi, persoalan nya, pengukuran dengan indeks LSq, hanyalah satu indikator keberhasilan.
Indikator lain yang juga perlu digunakan adalah efektivitas partai-partai yang masuk parlemen. Untuk soal ini, biasa diukur dengan indeks ENPP (the effective number of parliament parties), menggunakan dalil Laakso Taagepera. Sialnya, indeks ENPP ini justru kian terdongkrak. Berdasarkan perhitungan pengamat pemilu dari Watch Indonesia! di Jerman, Pipit R Kartawidjaja, indeks ENPP pemilu kali ini mencapai 8,16. Ini merupakan sinyal bahwa pemilu tidak berhasil melahirkan sistem kepartaian efektif di parlemen.
Cerita buruk lainnya, datang dari kian massifnya praktik politik uang. Sistem proporsional terbuka ‘murni’ yang mulai diterapkan pada Pemilu 2009 lalu, memang semakin matang pada Pemilu 2014. Tapi, kematangannya justru pada cara-cara para caleg mengakalinya.
Pada Pemilu 2009, mulanya UU Pemilu No 10/2008 masih menerapkan sistem proporsional terbuka setengah hati. Sebab, masih memberi peran cukup besar bagi nomor urut untuk menentukan caleg terpilih. Tapi, menjelang pemilu, aturan caleg terpilih tersebut kemudian diuji materi ke Mahkamah Konstitusi, dan gol. Sehingga, kemudian caleg terpilih sepenuhnya ditentukan berdasarkan ranking suara terbanyak. Alhasil, pada Pemilu 2009 lalu, para caleg di nomor urut bawah pun kemudian berkampanye jor-joran – karena merasa peluangnya sama – dengan dana yang tidak mampu dikontrol penyelenggara pemilu, dan partai-partai pun lepas tangan.
Pada Pemilu 2014, kampanye jor-joran itu semakin menjadi-jadi, yang – meminjam istilah ekonom pemenang Nobel, George Akerlof – bak demokrasi pasar loak. Para caleg menghambur duit bak sinterklas yang sedang kalap, dan bertemu pula dengan pemilih yang kian matre.
Eva Kusuma Sundari, caleg PDIP, misalnya, sampai mengungkapkan bahwa pemenang pileg kali ini adalah uang. Sebab, pemilih benar-benar sulit diajak berpikir soal program, mereka hanya mau jalan pintas, mau ‘mentahnya’. Dan ini, benar-benar dimanfaatkan oleh para caleg berkantong tebal.
Caleg Golkar, Happy Bone Zulkarnain, juga mengungkapkan saat mendatangi pemilih, sampai ada ungkapan begini: „Bapak silakan ambil gambar gedung DPR-nya, kami cukup gambar Soekarno-Hatta nya saja.” Yang dimaksud oleh para pemilih itu, adalah uang pecahan Rp 100 ribu.
Pakar komunikasi politik, Effendi Ghazali, pun membuat singkatan NPWP untuk menerjemahkan kondisi itu. NPWP adalah singkatan nomor piro, wani piro. Sedangkan, dalam soal tilep menilep suara rekan separtai, juga semakin marak. Bila pada Pemilu 2009 yang terdengar hanya beberapa kasus, seperti Ahmad Yani-Usman Toekan (caleg PPP) dan Patrice Rio Capella-Dewi Coryati (caleg PAN), pada pemilu kali ini cukup merata. Ungkapan Nurul Arifin, bahwa pemilu kali ini bak perang saudara di Suriah, cukup mewakilinya. Demikian pula dengan keterlibatan penyelenggara pemilu, yang juga kian menggila. Banyaknya penyelenggara pemilu yang dipecat oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), memperlihatkannya dengan terang benderang.
Alhasil, pemilu kali ini sungguh melahirkan cukup banyak ironi dan paradoks.
Ada Ketidakcocokan Misi dan Hasil Pemilu
Hasil pemilu sudah diumumkan. Ada sepuluh partai yang masuk parlemen. Sudah efektifkah sistem kepartaian di parlemen? Apakah pemilu kita ini juga lebih baik dibanding sebelumnya? Berikut pendapat pengamat pemilu dari Watch Indonesia!, Pipit Kartawidjaja:
Jumlah suara yang diraih pemenang pemilu semakin menyusut, sementara parpol yang masuk parlemen lebih banyak dibanding sebelumnya. Karena pemilih yang kian tinggi volatilitasnya dan partai yang kian parah terfragmentasi?
Volatilitas memang tinggi. Hanya harus dibedakan juga volatilitas antarkubu. Kalau saya berangkat dari pembagian almarhum Mas Mulyana W Kusumah, bahwa di Indonesia sistem keparpolan terbagi ke dalam kubu sekuler dan Islam. Maka, volatilitas yang tinggi itu berdasarkan penghitungan saya terjadi di dalam tubuh kubu sekuler sekitar 15 persen. Sedangkan, dalam tubuh Islam hanya sekitar empat persen. Ini hitungan yang bertolak dari partai yang masuk DPR saja. Selain itu, volatilitas juga harus dipahami bahwa partai sekuler yang berkuasa, Demokrat, mendapatkan angka jeblok dari pemilih. Lalu, apa yang disebut kemenangan PDIP sebenarnya bukan kemenangan, tapi kembali ke posisi tahun 2004. Begitu juga PKB.
Dari sisi jumlah partai yang masuk parlemen, bagaimana efektivitasnya bila diukur dengan indeks ENPP?
Sekarang, ENPP alias jumlah efektif partai di parlemen itu tinggi, yaitu 8,16. ENPP DPR 2009 ‘hanya’ 6,21. Artinya, seperti DPR 2009, sistem kepartaian di parlemen kita adalah sistem kepartaian ultra atau ekstrem. Sebagai perbandingan, di DPR Inggris saat ini duduk 12 partai. Meski lebih banyak ketimbang di Indonesia, tapi ENPP-nya 2,6 alias tergolong dwikepartaian. Karena ada dua partai yang dominan di sana. Sedangkan partai dominan di Indonesia nggak ada. Berdasarkan standar internasional, di bawah 20 persen itu disebut partai menengah, di bawah 10 persen disebut parpol gurem.
Dengan demikian, misi UU Pemilu No 8/2012 gagal, dan bakal menyusahkan sistem presidensialisme yang maunya efektif. Solusinya, penyederhaan harus dibuat dalam tubuh DPR dan mereformasi hubungan legislatif dan eksekutif
Apa komentar Anda pada fenomena PKB dan Hanura yang kursinya tetap saja lebih kecil dibanding suaranya?
Kalau dihitung secara proporsional, memang PKB dan Hanura merupakan parpol yang dirugikan kursinya. Sebab, PKB kurang empat kursi dan Hanura kekurangan 13 kursi.
Kalau Hanura kekurangan itu gejala normal. Sebab, sebagai partai tergurem dan juga tergurem di daerah pemilihannya dalam dapil antara 3-10, dia selalu dirugikan. Hanura hanya bisa selamat jika ada partai lebih gurem dari Hanura. Begitulah nasib si bungsu, harus rela ngalah. Yang bisa menyelamatkan si bungsu hanyalah sistem pemilu tanpa ambang batas parlemen, dan menghitungnya secara nasional.
Kalau PKB itu sialnya hanya punya basis massa di dapil-dapil yang sejak awalnya berkursi jauh lebih mahal, dibanding misalnya basis massa PAN. Lantas di tempat basis massanya itu, alokasi kursinya ngawur, sehingga PKB dirugikan. Memang merana benar nasib PKB itu, dari dulu kena kibul melulu. Saya jadi teringat sama Gus Dur almarhum, suka terkekeh dan menganggap enteng kalau ketipu.
Dalam hal ini, UU Pemilu tak jelas kriteria pembagian kursi DPR-nya ke dapil-dapil. Kalau prinsip alokasi kursi pemilu 1955 diterapkan, maka saya yakin bahwa PKB akan mendapatkan kursi sesuai dengan suaranya.
Ada banyak yang membaik pada pemilu kali ini seperti partisipasi pemilih naik, suara hangus turun. Tapi banyak keluhan bahwa pemilu kita brutal dari sisi politik uang dan kecurangan. Apa pendapat Anda?
Kalau soal pemilu brutal, permainan uang dan kecurangan, itu konsekuensi proporsional daftar terbuka suara terbanyak, di dalam satu tatanan yang sistem kepartaiannya tidak melembaga dan tak mengakar, makanya jangan mengeluh. Semestinya rajin-rajin mempelajari Brazil yang dihinggapi problem yang sama.
Kasus proporsional daftar terbuka suara terbanyak ini menghinggapi Brazil sejak tahun 1958, dan saat ini di sana sedang sibuk membahas pergantian sistem. Sebab, persaingan antar caleg dalam tubuh partai membikin sistem kepartaian lemah, dan tentu saja brutal.
Problem sistem pemilu itu terletak pada ketidakcocokan misinya dengan produk yang dihasilkan. Kalau soal manajemen pemilu saya kurang tahu pasti, sebab saya nggak berada di lapangan. Tanpa data konkret, saya tidak bisa bicara. harun husein