Legislator harapan rakyat dan garapan nasib laknat
Merdeka.com, 11 Juli 2013
http://www.merdeka.com/khas/legislator-harapan-rakyat-dan-garapan-nasib-laknat-kolom-sableng.html
Kolom Sableng
Penulis: Pipit Kartawidjaja
Chiong (sial) benar nasib DPR itu. Serba tiarap di segenap tingkat: kehadiran, kualitas, prestasi, kinerja atau intelektualitas. Berabenya, watak wuku Julungwangi hari pelantikan 1/10/2009, sehari setelah gempa Padang, gak ciamik.
Pembawaannya lambat dan sering ketinggalan. Ditimpalin pula oleh pengaruh shio kerbau tahun pemilu 2009, yang serba lemes males. Hingga katanya, DPR itu malas berpikir, rajin apkir kalau kumpul kebo. Alhasil, ada jebloklah kepercayaan masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat sadis banget. Sudah tahu laknat watak wuku dan shionya, eee dipilih pula. Mestinya, pemilu DPR 2009 itu diboikot.
Tapi gak usah khawatir, banyak yang senasib. Misalnya, citra parlemen di Amerika Latin. Secara umum, pada tahun tahun 2007, tingkat kepercayaan masyarakat tertinggi direbut oleh gereja (74 persen). Menyusul Militer (51 persen), TV (47 persen) dan Presiden (43 persen). Di peringkat terbawah adalah partai politik (20 persen) dan parlemen (27 persen). Tak ada mantra-mantra pembuka aura positif, lantaran sejak 1996 keduanya tetap konstan tiarap. Walau demikian, 60 persennya akur kalau parlemen itu pasangan setianya demokrasi.
Tingkat kepercayaan itu ya tergantung sama keinginan masyarakat. Dalam alam gaib parlemen Amerika Latin, Eyang Detlef Nolte dan Eyang Heinrich W Krumwiede bersabda, guna membangun demokrasi di sana ada tiga fungsi penting parlemen. Kesatu, pembatasan dan pengawasan kekuasaan eksekutif. Kedua, berpartisipasi dalam rekayasa politik alias ikutan memerintah (misalnya pembentukan UU/legislasi). Ketiga, representasi. Dalam hal nomor satu dan dua itu, tersedia santet-santet legislasi, anggaran dan pengawasan.
Sukar adalah bab representasi. Dan ganda pula yang dihadapi oleh parlemen Amerika Latin. Media massa, pengamat politik atau ilmuwan ngebet agar parlemen berperan sebagai wakil kepentingan pluralistik masyarakat, yang kemudian blusukan ke dalam proses pembuatan UU dan penetapan prioritas nasional.
Tuntutan ini selaras dengan urutan pandangan umum para legislator. Prioritasnya ikutan memerintah (pembuatan UU/legislasi), lantas rival tandingannya eksekutif, lalu memelototi APBN. Sedangkan representasi berada di posisi bontot, hingga jadi salah satu penyebab rendahnya tingkat keterpilihan.
Dan ini kebalikannya urutan keinginan masyarakat terhadap legislator. Prioritasnya servicios para los electores alias mewakili kepentingan partikular/lokal/daerah pemilihan (dapil), menyusul pengawas ekesekutif, baru ikutan memerintah.
Di Amerika Latin yang presidensial, masyarakat memahami pembagian kekuasaan sebagai berikut. Presiden itu ngurusi arisan politik kelas berat, mewakili kepentingan nasional, inovator dan ekperimentator. Sedangkan parlemen ngurusin arisan politik klas ringan, mewakili kepentingan kelompok serta penjaga status quo. Maka, lumrahlah kalau RUU umumnya gaibannya eksekutif, sedangkan parlemen kerap-kerapnya cuma cowal-cawil ngecupin eksekutif, agar UU gak merugikan partai atau kongsinya.
Jika bicara tentang alam supranatural parlemen di Amerika Latin, maka di Brasil, Argentina, Meksiko atau Cile contohnya, selalulah bikameral (DPR dan Senat atau Dewan Perwakilan Daerah). Salah satu alasan kehadiran senat itu ya demi kualitas legislasi. Maka, senatnyapun ikutan disorot dan diplorot. Maklum, dalam alam astral bikameral, senat punya santet dan pelet segudang. Contoh, pelengseran presiden itu porsi jahilannya DPR, tapi santet pamungkas ajiannya senat. Atau, santet veto senat dalam urusan pengangkatan hakim agung, panglima militer atau pos-pos penting lainnya dan politik internasional. Pasal APBN dan perpajakan, perlu pelet pengasihan senat.
Lain halnya dengan bikameral tanah Nusantara. DPD dilaknati cuma jadi bibinya kameral, bebas sorotan dan plorotan. Bahkan DPD yang samar-samar perwujudannya itu mungkin penunggu gaib sejati Senayan. Pernahkah soal kehadiran, kualitas, prestasi, kinerja atau intelektualitas jadi maksiatannya makhluk halus, khususnya Demit Penunggu Daerah?