UU Pilpres Perlu Mengatur Investigasi Terhadap Capres
Jawa Pos National Network, 10 Oktober 2012
http://www.jpnn.com/read/2012/10/10/142833/UU-Pilpres-Perlu-Mengatur-Investigasi-Terhadap-Capres-
Istilah Presidential Threshold Dianggap Salah Kaprah
JAKARTA – Selama ini perdebatan tentang Rancangan Undang-undang Pemilihan Presiden (RUU Pilpres) lebih didominasi pada ambang batas bagi calon presiden (capres) agar bisa diusung (presidential threshold). Padahal, ada hal yang lebih substansial ketimbang presidential threshold, yakni syarat-syarat bagi figur yang bisa diusung sebagai capres.
Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang kini memimpin lembaga kajian Seven Strategic Studies, Mulyana Wira Kusumah, menyatakan bahwa syarat-syarat substantif bagi capres/cawapres harus diperketat. “Misalnya tidak pernah melakukan pelanggaran hukum, tidak pernah mengkhianati negara. Dan itu tidak hanya diuji secara legal tetapi juga melalu investigasi mendalam,” kata Mulyana saat menjadi pembicara pada sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (10/10).
Dalam diskusi bertema “Menyoal Presidential Threshold, Menjaring Capres Pilihan Rakyat” itu Mulyana juga mengatakan, syarat-syarat formal capres/cawapres seperti diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres harus direvisi lagi. “Yakni dengan memuat syarat-syarat yang lebih substansial menyangkut wawasan, kapabilitas, kompetensi dan hal-hal lain,” ucapnya.
Karenanya Mulyana mengaku tak setuju dengan presidential threshold. Sebab, ketentuan itu tidak hanya merugian warga negara yang berpotensi menjadi capres/cawapres tetapi juga merugikan partai politik untuk bisa mengusung capresnya. “Dengan presidential threshold itu parpol dirugikan hak konstitusinya untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden,” ucapnya.
Peneliti dari Watch Indonesia! yang berbasis di Berlin, Jerman, R Pipit Kartawidjaja, juga berpendapat senada. Menurutnya, UUD 1945 tak mengatur tentang presidential threshold. Sebab, sebutnya, pasal 6A ayat 2 UUD 1945 hanya menyebut bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilihan umum.
Pipit justru menganggap aneh istilah presidential threshold di Indonesia. Sebab di negara lain terutama di negara-negara Amerika Latin, presidential threshold berarti syarat bagi pasangan calon presiden untuk bisa dinyatakan sebagai pemenang.
Ia mencontohkan Brazil dan Equador yang mematok presidential threshold 50 persen plus satu. Sementara di Argentina, capres/cawapres bisa terpilih jika mengantongi presidential threshold di atas 45 persen dengan selisih sekurang-kurangnya 10 persen dari saingan terdekatnya. “Jadi presidential threshold yang dipasarkan di Indonesia itu istilah yang salah kaprah,” ucapnya.
Namun Sekretaris Fraksi PKB DPR, Hanif Dakhiri, justru tak sependapat dengan Mulyana maupun Pipit. Menurut Hanif, presidential threshold diperlukan bukan hanya untuk penguatan pemerintahan yang menganut sistem presidential tapi juga demi demokrasi itu sendiri.
Bahkan Hanif menyebut partainya cenderung setuju presidential threshold sekurang-kurangnya seperti Pilpres 2009 lalu, yakni 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara dari pemilu legislatif. “PKB bahkan mendorong threshold untuk capres itu dinaikkan menjadi 25 persern,” ucapnya.
Ia beralasan, dengan threshold yang tinggi maka setidaknya akan memberi jaminan bahwa pasangan capres yang terpilih memiliki basis politik dan dukungan rakyat yang kuat. “Harapannya sistem akan bekerja dengan baik dan pemerintahan menjadi efektif,” ucapnya. (ara/jpnn)