Menyempurnakan Dapil Pemilu 2014
Suara Pembaruan, 19 Maret 2012
AGUST RIEWANTO
DPR RI dan Pemerintah dan pemerintah tengah menggodok revisi UU Pemilu untuk pemilu 2014 dan salah satu isu krusial yang menimbulkan perdebatan sengit di kalangan elite parpol adalah soal penetapan daerah pemilihan (Dapil). Ada yang menginginkan 3-6 kursi (usulan Golkar), 3-8 (Demokrat), atau tetap 3-10 (parpol-parpol kecil). Dari alternatif itu, manakah yang cukup ideal diterapkan untuk pemilu tahun 2014?
Dapil elemen yang sangat urgen dalam pemilu, karena Dapil merupakan wilayah kompetisi bagi seluruh kontestan untuk meraih suara. Menurut Pipit R. Kartawidjaja, (2005), penetapan Dapil berpengaruh terhadap satu sistem pemilu, hubungan antara suara dengan kursi atau berapa jumlah wakil rakyat yang pantas mewakili satu dapil, dan peluang satu parpol untuk merebut kursi. Lewat Dapil dapat pula diarahkan dan dikendalikan pembagian representasi politik atau sistem kepartaian.
Dapil atau Distric Magnitude, biasanya dibagi dalam tiga kelompok. (a). Dapil yang kecil yang mengalokasikan kursi antara 2-5 kursi. (b). Dapil yang sedang yang mengalokasikan kursi antara 6-10 kursi. Dan (c). Dapil yang besar yang mengalokasikan kursi di atas 10 kursi.
Masih menurut Pipit R Kartawidjaja, Dapil adalah teknis pemilu yang seringkali lebih diperdebatkan dan dipersoalkan di banyak negara, karena Dapil dianggap dapat menentukan hidup matinya seorang politisi dan parpol mendapat kursi dalam pemilu. Dapil dalam pemilu di banyak negara seringkali dimanipulasi oleh elite-elite atau kelompok dominan agar hanya kelompok/parpolnya saja yang dapat memperoleh keuntungan politik dari pembagian dapil ini.
IDEA, sebuah institusi international yang konsen dalam proses demokrasi dan sistem pemilu telah menetapkan standar-standarnya secara universal agar pembuatan Dapil dapat mendekati tujuan kompetisi yang adil yaitu, (i). Memperhatikan prinsip keterwakilan; (ii). Prinsip kesetaraan suara; serta (iii). Prinsip timbal balik dan nondiskriminasi.
Pada pemilu 2004 Dapil anggota DPR yang diperebutkan 3-12 kursi, pada pemilu 2009 besarnya dikecilkan, setiap Dapil 3-10 kursi untuk DPR. Sedangkan untuk DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota bertahan 3-12 kursi. Namun dengan alokasi kursi dapil sebanyak itu, ternyata tidak mematikan nyali parpol kecil untuk tetap bertarung dalam pemilu, bahkan masih berkesempatan memperoleh kursi, karena memang semakin besar Dapil dan tersedia kursi yang banyak akan memberi peluang parpol kecil untuk berkesempatan memperoleh kursi. Sebaliknya semakin kecil dapil dan kursi yang diperebutkan, maka parpol besar akan diuntungkan. karena itulah maka parpol kecil sangat berkeinginan agar Dapil kian luas dan kian banyak kursi yang diperebutkan.
Menurut Didik Supriyanto, 2011, dalam sistem pemilu proporsional, besaran Dapil dan formula alokasi kursi memiliki kaitan erat dengan tingkat kompetisi antar partai politik dalam memperebutkan kursi di Dapil tersebut. Rumus umum menyatakan, bahwa semakin kecil besaran Dapil, semakin tinggi tingkat persaingan; dengan demikian juga sebaliknya, semakin besar Dapil maka semakin rendah tingkat persaingan.
Dapil Ideal
Maka idealnya Dapil pemilu mendatang diciutkan menjadi 3-6 kursi, model ini akan menjadi ambang batas tersembunyi (hidden threshold) dalam pembatasan parpol di DPR. Meskipun jumlah kursi di Dapil dikurangi (diciutkan), suara seluruh pemilih tetap terakomodasi prinsip keterwakilan (representation) tetap terjaga, walaupun harga satu kursi di sebuah Dapil akan lebih mahal. Sesungguhnya terdapat dua keuntungan menerapkan dapil 3-6 kursi untuk pemilu 2014 mendatang melalui revisi UU Pemilu.
Pertama, secara teknis pemilu akan lebih menyederhanakan/memperkecil surat suara, jika alokasi 3-6 kursi per Dapil ada 30 parpol dan tiap-tiap parpol diperkirakan akan mengajukan 6 calon. Dengan demikian, nama calon yang tercantum dalam surat suara hanya 160 orang. Bandingkan dengan 3-10 kursi dalam pemilu 2009 lalu, jika masing-masing parpol mengajukan 10 calon dan ada 30 parpol maka surat suara akan berisi 450 orang. Ini akan mempersulit pemilih dalam memilih.
Kedua, pengurangan kursi Dapil akan menguntungkan secara politis, karena rakyat dan wakilnya akan semakin dekat sebab cakupan Dapil semakin sempit. Masyarakat juga dapat lebih mengenal wakilnya, dan sebaliknya, anggota DPR akan lebih bertanggung jawab atas daerah dan rakyat yang diwakili.
Sejumlah ahli pemilu menyepakati, instrumen besaran dapil ini lebih obyektif untuk tujuan menyederhanakan sistem kepartaian ketimbang lewat instrument ambang batas faktual. Karena di dalam Dapil itu sendiri sebenarnya telah terkandung ambang batas, sederhananya, semakin sedikit kursi yang diperebutkan di sebuah dapil, semakin sulit bagi parpol peserta pemilu untuk mendapatkan kursi. (Sidik Pramono, 2011).
Pengurangan alokasi kursi setiap dapil menjadi 3-6 kursi, idealnya juga disertai dengan penambahan Dapil, jika dengan alokasi kursi per Dapil 3-10 kursi seperti pemilu 2009, saat ini Dapil DPR adalah 77, maka dengan alokasi kursi per Dapil 3-6 kursi, kelak jumlah Dapil akan bertambah menjadi 120 Dapil.
Penambahan ini akan berimplikasi pada dapil menjadi kecil, dan kemungkinan akan dapat menguntungkan parpol besar dan menengah. Sebab kekuatan parpol besar dan menengah cenderung merata, sedangkan partai-parpol kecil kekuatannya tidak merata di setiap Dapil. Ini adalah resiko pilihan memperkecil Dapil dalam rangka menyederhanakan jumlah partai politik yang akan berkompetisi dalam pemilu 2014, kendati harus mematikan parpol kecil dan cenderung menguntungkan parpol besar.
Sebuah pilihan sistem pemilu pastilah mengandung resiko besar atau kecil, karena secara teoritik tak akan pernah ada sistem pemilu yang sempurna. Yang ada adalah prioritas-prioritas yang akan diwujudkan dalam desain sistem pemilu di sebuah negara berdasarkan kepentingan yang diinginkan. Sementara keinginan kita adalah menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu yang kelak akan berimplikasi pada komposisi partai-partai di DPR antara 3-5 parpol. Sehingga akan menyokong efektivitas sistem pemerintahan karena kebijakan publik hanya dibicarakan dan dinegosiasikan oleh 3-5 aktor politik di DPR akibatnya aktor politik mudah bernegosiasi, namun juga masih tersedia ruang untuk berkompetisi.
Penulis adalah peneliti dan Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Penulis Buku: „Ensiklopedi Pemilu, 2007“