Sistem Presidensial Harus Diperjelas
Koran Sindo, 18 November 2013
http://koran-sindo.com/node/345034
Andi Setiawan
JAKARTA – Sistem presidensial yang diterapkan di Indonesia dinilai tidak jelas dan belum sepenuhnya dijalankan. Kondisi seperti itu berpengaruh besar terhadap efektivitas jalannya pemerintahan yang ada.
Pengamat pemilu Pipit Rochijat Kartawidjaja mengatakan, sistem presidensial di Indonesia seharusnya punya rujukan dan kiblat yang jelas. Pasalnya, sistem presidensial yang diterapkan sekarang berbeda dengan sistem presidensial yang dijalankan di Amerika Serikat dan Amerika Latin.
”Indonesia ini ingin nyontoh siapa. Kalau mau mencontoh sistem di Amerika Serikat, ya dicontoh saja,” kata Pipit dalam diskusi bertajuk ”Pemilu 2014 dan Prospek Pemerintahan Presidensial” di Kantor PPI, Jakarta Timur, kemarin. Pipit melihat sistem pemerintahan semi parlementer dan semi-presidensial yang diterapkan di Tanah Air lebih mirip dengan sistem yang dijalankan di sejumlah negara di Amerika Latin.
Karena itu, dia menyarankan agar Indonesia mempelajari berbagai kelebihan dan kelemahan sistem yang selama ini diterapkan di Amerika Latin. Penegasan suatu sistem pemerintahan penting karena berdampak pada efektivitas jalannya pemerintahan. ”Misalnya presiden lamban dalam mengambil keputusan,” ujar Pipit. Menurut dia, sistem presidensial yang ada sekarang mengharuskan seorang presiden bersama DPR dalam merancang undang-undang.
Dengan begitu, presiden harus berkoalisi dengan partai politik (parpol) yang ada di parlemen. Presiden bahkan harus berdiskusi dengan parpol koalisi dulu sebelum mengambil kebijakan. Namun demikian, dalam sistem presidensial yang dikawinkan dengan sistem parlementer seperti itu, kewenangan DPR yang terlalu kuat dianggap sangat menyulitkan presiden terpilih.
Dalam situasi seperti itu, Pipit menyarankan agar dilakukan terobosan untuk mengefektifkan sistem pemerintahan presidensial. Salah satunya presiden diberi kewenangan untuk memerintah DPR, seperti memberikan batas waktu dalam menuntaskan produk undang-undang. Kewenangan seperti itu diyakini dapat menekan praktik korupsi dan persekongkolan legislatif dan eksekutif. ”Kalau kaya sekarang presiden tidak bisa berbuat banyak, ketika DPR menolak melanjutkan pembuatan UU,” ujarnya.
Selain itu, Pipit juga menyarankan agar pemilihan presiden dan DPR digelar dalam waktu bersamaan. Model pemilu seperti itu diyakini bakal membuka peluang bagi presiden terpilih berasal dari partai pemenang. Apalagi jika kertas suara presiden disatukan dengan kertas suara DPR, karena pemilih dapat langsung memilih calon legislatif dan presiden dari partai yang sama. ”Pemerintahan akan bisa efektif kalau presiden berasal dari partai pemenang pemilu atau paling tidak menguasai 30% kursi,” ucapnya.
Konsultan kebijakan publik dan manajemen Radita Advisory Grup Iwan Nur Iswan menekankan agar struktur kepresidenan dibenahi dan diperkuat agar kinerja kepresidenan bisa efektif. Dengan begitu, berbagai kesalahan dari kepresidenan tidak perlu terjadi. Salah satunya dengan menempatkan staf yang memadai dalam jumlah yang relatif banyak.
Dia membandingkan staf presiden di Gedung Putih yang berjumlah sekitar 4.000 orang dengan staf kepresidenan di Indonesia yang hanya sekitar 11 orang. Di sisi lain, Iwan juga mengkritisi besarnya kewenangan presiden dalam menentukan jabatan publik di kementerian dan lembaga negara. Presiden bahkan punya kendali terhadap posisi sekjen di DPR dan lembaga penegak hukum yang berasal dari pegawai pemerintah yang diperbantukan.
Karena itu, dia mengaku tidak heran jika presiden punya tombol kendali di hampir tiap lembaga negara. ”Anda bisa bayangkan kendali tangan presiden bisa masuk ke berbagai sektor kementerian dan lembaga,” tuturnya.
Pengurus Pergerakan Perhimpunan Indonesia (PPI) Ma’mun Murod Al Barbazy mengatakan, sistem yang diterapkan sekarang ini masih abu-abu atau tidak jelas. Sistem seperti itu dikatakan telah mengganggu sistem politik di Tanah Air.
Sistem yang dijalankan sekarang bahkan cenderung membuka celah praktik korupsi. ”Sistem kita itu tidak jelas kelaminnya. Ini yang menggagu sistem bergulirnya politik yang diharapkan. Kita harapkan ke depan ada tatanan sistem politik yang lebih baik,” kata Ma’mun.