Sebaiknya Kajati Baca, Lagi UU Kejaksaan
Padang Ekspres Online Senin, 12 Maret 2007
http://www.padangekspres.co.id/mod.php
KEPALA Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sumbar, Ridwan Darmansyah, S.H., menanggapi pernyataan bersama empat organisasi advokat, DPC Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Padang, DPC Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Padang, DPD Serikat Pengacara Indonesia (SPI) Sumbar dan DPD Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) Sumbar tentang Piagam Kerjasama atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Kejaksaan Tinggi Sumbar dengan PT Semen Padang (Kejati-PTSP) yang cukup menghebohkan itu. Intinya, Kajati menyatakan MoU tersebut sudah sesuai dengan undang-undang Kejaksaan.
Oleh: Miko Kamal, Wakil Ketua I DPC Ikadin Padang
Karena, selain menjadi penyidik dalam tindak pidana khusus kejaksaan juga bisa bertindak sebagai pengacara negara mewakili Badan Usaha Milik Negara. Kata Kajati lebih lanjut, semestinya sebelum menyatakan sikap, para advokat memahami secara utuh struktur Kejaksaan menurut UU No. 16 Tahun 2004 dan jangan prejudice dengan apa yang dilakukan Kejaksaan (Padang Ekspres, 6 Maret 2006, halaman 15). Sebagai advokat yang ikut menandatangani pernyataan bersama itu, saya terkejut membacanya. Saya bersimpul, saya harus menanggapinya, sekalian untuk pencerahan bagi siapa saja yang mau dicerahkan.
Dua poin penting dalam pasal 30 ayat (2) UU No. 16/2004
Menurut Kajati, MoU Kejati-PTSP merupakan implementasi dari konsep „Jaksa Pengacara Negara”. Secara eksplisit, sebenarnya, tidak ditemukan istilah „Jaksa Pengacara Negara” di dalam UU No. 16 Tahun 2004. Konsep itu secara implisit ada di dalam Pasal 30 ayat (2), yang selengkapnya berbunyi: „Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”. Pada bagian penjelasan tertulis „Cukup Jelas”.
Ada dua poin penting yang terkandung di dalam Pasal 30 ayat (2), yakni; pertama, kejaksaan dapat menjadi penasehat hukum „negara atau pemerintah” dalam bidang perdata dan tata usaha negara baik di luar maupun di dalam pengadilan. Kedua, hubungan hukum antara negara atau pemerintah dengan jaksa itu dibuatkan dalam bentuk kuasa khusus.
Makna „Negara atau Pemerintah”
Boleh atau tidaknya, secara hukum, PTSP mengikatkan diri dalam sebuah MoU dengan Kejati, yang pertama mesti dianalisis adalah makna hukum dari rumusan „negara atau pemerintah”. Saya ingat, pada tahun-tahun pertama kuliah di Fakultas Hukum, seluruh mahasiswa diajarkan mata kuliah ilmu negara. Salah satu yang dibahas dalam mata kuliah itu adalah tentang negara dan syarat-syaratnya. Negara baru ada apabila telah terpenuhi tiga syarat, yakni adanya wilayah, masyarakat dan pemerintahan yang berdaulat. Berangkat dari syarat-syarat negara tersebut, secara akademik, pemerintah tidak sama dengan negara.
Pandangan akademik pemerintah tidak sama dengan negara membingungkan manakala dihadapkan dengan realitas di lapangan. Dalam praktik sehari-hari, adalah tidak terbantah bahwa pemerintah identik dengan negara karena kenyataannya memang pemerintahlah yang bertanggung jawab memenuhi segala kebutuhan publik. Misalnya, pemerintah atas nama negara menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
Memperjelas duduk tegak pemerintah dan negara ada baiknya dipahami pula pandangan Pipit R. Kartawidjaja dalam bukunya yang berjudul Pemerintah Bukanlah Negara. Menurut Pipit, karena kekeliruan menerjemahkan pemerintah sebagai negara, maka pemerintah atas nama negara dengan sewenang-wenang mempergunakan kekuasaannya untuk menindas masyarakat yang tidak patuh kepada pemerintah. Dengan kata lain, konsep pemerintah adalah negara dimaknai secara keliru bahwa orang yang menghina pemerintah disamakan dengan menghina negara (Kartawidjaja, 2005). Jadi, sebenarnya, makna pemerintah bukanlah negara, menurut pandangan Pipit, bukan dalam arti pemerintah tidak bisa dianggap sebagai representasi negara dalam hal teknis administrasi kepemerintahan.
Menurut saya, kebingungan tafsir negara dan pemerintah inilah yang mungkin melatarbelakangi pembuat undang-undang membuat rumusan tegas „negara atau pemerintah” di dalam Pasal 30 ayat 2 UU No. 16 Tahun 2004. Kata-kata „negara atau pemerintah”, dalam UU Kejaksaan, berarti bahwa yang dimaksud dengan negara dalam undang-undang tersebut adalah pemerintah sebagai pihak yang menjalankan administrasi kepemerintahan. Oleh karena itu, dalam konteks kerjasama Kejati-PTSP, pertanyaan dasarnya; apakah PTSP adalah pemerintah?
Untuk membuktikan apakah PTSP adalah pemerintah atau tidak, mari kita lihat beberapa ketentuan yang mendefinisikan apa itu pemerintah. Pasal 1 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara tertulis bahwa yang dimaksud „Pemerintah adalah pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah“. Kemudian, Pasal 1 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 merumuskan „Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945“. Selanjutnya, di dalam Pasal 1 ayat (3) juga dirumuskan bahwa „Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah”. Jadi, tanpa harus berteori panjang lebar, dari beberapa ketentuan tersebut sudah dapat dipastikan bahwa PTSP bukanlah pemerintah.
Makna „Kuasa Khusus”
Sebetulnya dengan tidak terkategorinya PTSP sebagai pemerintah, tidak lagi terlalu penting menganalisis rumusan „kuasa khusus“. Akan tetapi, agar lebih memperjelas maksud sebenarnya dari Pasal 30 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2004, berikut ini bahasannya.
Dalam dunia praktisi hukum, hubungan hukum antara advokat dengan kliennya ditandai dengan surat kuasa khusus. Kuasa khusus artinya, seorang klien memberikan kewenangan kepada seorang atau lebih advokat mewakili, mengurus dan/atau mendampingi sebuah perkara (perdata, tata usaha negara, pidana dan perkara lainnya) baik di luar maupun di dalam pengadilan. Artinya, makna kuasa khusus adalah antara klien dan advokat terikat atau mengikatkan diri dalam sebuah surat kuasa untuk khusus mengurus sebuah perkara.
Dalam konteks Pasal 30 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004, yang dimaksud dengan „kuasa khusus” adalah Jaksa dapat mewakili atau menjadi pengacara negara dari pemerintah khusus dalam menghadapi perkara perdata dan tata usaha negara (baik di dalam maupun di luar pengadilan). Dengan kata lain, undang-undang hanya memberikan peluang kepada Jaksa untuk menjadi pengacara negara dalam hal pemerintah (baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah) sedang menghadapi sebuah perkara perdata atau tata usaha negara. Per kasus. Bukan dengan membuatkannya dalam sebuah ikatan, piagam kerjasama atau MoU, yang artinya pemerintah menjadi klien tetap kejaksaan.
Baca Lagi Undang-undang
Dari uraian di atas, sungguh saya tidak mengerti dengan pernyataan Kajati agar advokat memahami struktur kejaksaan sebelum menyatakan sikap. Entah karena saya yang terlalu bodoh memahaminya. Bagaimanapun, dengan tulisan ini, untuk sementara sudah lepas tanggung jawab intelektual saya memberikan pencerahan kepada siapa saja tentang duduk tegaknya MoU Kejati-PTSP. Harapan saya, dengan hormat, sebaiknya Pak Kajati baca lagi undang-undang kejaksaan dan undang-undang yang relevan lainnya dan silahkan juga melakukan pencerahan melalui media ini. Mungkin saja pemahaman Pak Kajati berbeda dengan saya, yang penting dibaca masyarakat. Ditunggu.(*)