Hikayat Dapil Superman
Republika, Teraju, 05 April 2013
Teraju 5 April 2013 (PDF)
Oleh Harun Husein
DPR dan KPU tak memanfaatkan kelenturan pembentukan dapil yang ada di UU Pemilu.
Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Pepatah lama ini tampaknya bisa disematkan dalam praktik pembuatan daerah pemilihan (dapil) di Indonesia. Betapa tidak, setelah terbentuk di tingkat pusat, ‘dapil superman’ akhirnya menular juga di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Dapil superman mula-mula diterapkan pada Pemilu 2009 lalu. Saat itu, ada dua dapil superman yang paling menonjol. Pertama, penggabungan Kota Bogor dengan Kabupaten Cianjur, menjadi dapil Jabar-3. Kedua, penggabungan Kota Banjarmasin dengan Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Tanah Bumbu, dan Kabupaten Kota Baru, menjadi dapil Kalsel-2.
Disebut dapil superman, karena kawasan yang disebut dapil tersebut, terpisah secara sempurna, dan hanya dihubungkan lewat udara. Kota Bogor, misalnya, dibatasi 360 derajat oleh Kabupaten Bogor. Demikian pula Kota Banjarmasin yang dikepung oleh Kabupaten Banjar Baru dan Kabupaten Barito Kuala (lihat: Dapil Superman Made In DPRD dan KPU di hlm 28-29).
Dapil superman di Bogor mula-mula muncul ketika ketentuan besaran dapil di UU Pemilu diubah dari 3-12 pada Pemilu 2004 menjadi 3-10 pada Pemilu 2009. Kota Bogor yang semula menyatu dengan Kabupaten Bogor, dengan alokasi 11 kursi, pun harus dipecah.
Kota Bogor dan Kabupaten Bogor juga harus diceraikan secara paksa karena saat itu dapil DPR didefinisikan sebagai provinsi atau bagian-bagian provinsi, dan daerah administratif tak bisa dipecah. Padahal, dari sisi jumlah penduduk, misalnya, Kota Bogor hanya bisa mendapat dua kursi. Sementara, besaran dapil DPR di UU Pemilu telah dipatok 3-10.
Tapi, bak pepatah tiba masa, tiba akal, solusi aneh pun muncul: Kota Bogor digabung dengan Kabupaten Cianjur. Secara politik solusi ditemukan, tapi sejumlah prinsip penting dilanggar oleh districting ala DPR tersebut. Dua di antaranya adalah dapil sebagai satu kesatuan yang utuh (contiguous district) dan kekompakan dapil (compactness of district), serta masuk kategori gerrymandering, karena mencampuradukkan kawasan urban dengan rural.
Prinsip-prinsip universal pembentukan dapil lainnya adalah kesetaraan populasi (equal population); terjaganya kesamaan kepentingan (preserving communities of interest); dan, terjaganya kesamaan wilayah politik/administrative (preserving political subdivision).
Persoalan pelik Kota Bogor itu, mendapatkan jalan keluar setelah UU Pemilu kembali direvisi. Sebuah dispensasi diselipkan di UU No 8/2012. Pasal 22 Ayat (1) UU itu tetap menyatakan dapil anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota. Tapi, pada Ayat (3) dibuat exit clausul: „Dalam hal penentuan daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diberlakukan, penentuan daerah pemilihan menggunakan bagian kabupaten/kota.”
Bagian kabupaten/kota yang dimaksud Pasal 22 Ayat (3) tersebut adalah kecamatan atau gabungan kecamatan. Sehingga, Kota Bogor akhirnya bisa digabungkan dengan sebagian wilayah Kabupaten Bogor, yang berbatasan langsung, dan punya karakteristik sama: kawasan urban.
Tapi, exit clausul tersebut gagal dieksekusi karena dalam UU Pemilu yang sama, juga dicantumkan bahwa lampiran dapil DPR — yang merupakan bagian UU Pemilu — sama persis dengan lampiran dapil UU sebelumnya. Jalan keluar yang sudah terbuka pun kembali tertutup.
Semula dapil superman diduga hanya akan terjadi di tingkat pusat, karena sudah disandera oleh para politikus DPR. Tapi, di luar dugaan, dapil superman juga bermunculan di dapil DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, yang dibuat KPU. Bahkan, lebih parah!
Tengok saja dapil DPRD Kabupaten Yahukimo di Papua. Di sana, sebuah dapil bahkan melompat dua kali. „Melompat gila-gilaan,” demikian istilah penulis buku Akal-akalan Daerah Pemilihan, Pipit R Kartawidjaja yang berdomisili di Berlin, kepada Republika, lewat surel, pekan lalu.
Republika dan Pipit, awalnya hanya menemukan beberapa dapil superman. Kasus di dapil DPRD Provinsi DKI Jakarta, yang mula-mula membuat terperangah. Karena, muncul di jantung negara ini.
Dapil aneh itu berada di kawasan Jakarta Barat, yang menggabungkan Kalideres, Cengkareng, dan Tambora. Tambora yang terpisah jauh dari Kalideres dan Cengkareng, dikawinkan secara paksa.
Informasi soal dapil ini pun simpang siur. Di situs web KPU, kpu.go.id, tercantum dua versi data. Pertama, di peta daerah pemilihan, tertulis Kalideres, Cengkareng, Tambora, merupakan dapil DKI Jakarta-10. Sedangkan, di Keputusan KPU No 103/Kpts/ KPU/Tahun 2013, tanggal 9 Maret 2013, Kalideres, Cengkareng, Tambora masuk dapil DKI Jakarta-9.
Saat Republika mengonfirmasi mana yang benar, anggota KPU, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, hanya mengatakan, „Penomoran dapil sesuai arah jarum jam.”
Ditanya mengapa dapil tersebut bisa lompat katak, bersama dapil-dapil lainnya di sejumlah wilayah di Tanah Air, Ferry tak menjawab lugas. „Salah satu prinsip yaitu coterminous atau berada dalam cakupan wilayah yang sama, harus tercakup seluruhnya dalam suatu dapil anggota DPR begitupun DPRD,” elaknya.
Istilah coterminous itu tercantum di Peraturan KPU No 5/2013 tentang Tatacara Penetapan Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi Setiap Daerah Pemilihan Angota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu 2014. Dalam kamus Webster, makna coterminous adalah having the same or coincident boundaries atau coextensive in scope or duration.
Istilah coterminous ini sebenarnya tidak terlalu lazim dalam wacana districting pemilu, maknanya pun tak terlalu clear. Tapi, jika maknanya sama dengan compactness dan contiguous, maka KPU melanggar peraturannya sendiri dengan memproduksi begitu banyak dapil superman.
Dapil-dapil superman itu seharusnya tidak perlu terbentuk, sebab masih bisa digaris ulang tanpa melanggar aturan. Bahkan, kalau pun harus menerobos batas dan memenggal wilayah adminis trasi, UU Pemilu pun sudah memberi lampu hijau. Wilayah administratif pemerintahan bias dipecah dalam pendapilan DPRD, sebagaimana exit clausul untuk Bogor. Tapi, entah mengapa, solusi itu diabaikan oleh para komisioner.
Pengecekan Republika dan Pipit ke daerah-daerah lainnya, mendapati makin banyak dapil yang tidak beres. Makin kekawasan timur, makin membuat mata terbelalak, seperti kasus Yahukimo. Sehingga, bila dalam awal diskusi Pipit berpendapat bahwa dapil DPRD sekarang lebih baik dibanding sebelumnya, karena tak ada lagi dapil berkursi di atas 12, maka setelah memeriksa dapil-dapil yang ada, kesimpulannya berbalik 180 derajat.
Di Provinsi Papua, misalnya, ada lima kasus dapil superman. Yaitu di Yahukimo, Dogiyai, Mappi, Pegunungan Bintang, dan Kota Jayapura. Dapil superman juga muncul di Kota Tual dan Maluku Tenggara Barat di Provinsi Maluku; Kabupaten Simalungun di Sumatra Utara; Kabupaten Konawe di Sulawesi Tenggara; dan Kota Kupang, Nusa Tenggara Barat. Ini baru pegecekan sementara.
Selain kasus dapil superman, ada banyak persoalan lagi yang tidak beres dalam dapil DPRD kali ini. Antara lain tidak terantisipasinya ambang terselubung dapil secara baik, misalnya lewat pencampuradukan dapil kecil-sedang-besar, serta pencampuradukan dapil genap-ganjil di suatu provinsi dan kabupaten/kota. Akibatnya, harga kursi menjadi tidak setara alias jomplang! Jumlah suara yang dibutuhkan untuk mendapat kursi antara satu dapil dengan dapil yang lain di satu daerah, bisa jauh berbeda!