Maujudnya Bethara Kala
Merdeka.com, 28 Mei 2014
http://www.merdeka.com/khas/maujudnya-bethara-kala-kolom-sableng.html
Kolom Sableng
Reporter: Pipit Kartawidjaja
Merdeka.com – Perekrutan Eyang Jusuf Kalla, Golkar, sebagai calon wakil presiden (cawapres) sang cucu calon presiden (capres) Jokowi dari PDIP itu bernuansa mistis. Menggugah kembali kasus perekrutan Jusuf Kalla sebagai cawapresnya SBY pada pemilihan presiden (pilpres) 2004, yang kala itu juga bernuansa supranatural. Pasalnya, SBY, maujudan 9/9/1949 itu berwuku Bala, di bawah naungan Bethari Durga.
Dalam kisah wayang komiknya RA Kosasih, suami Bethari Durga itu ya Bethara Kala. Wajar, jika pada pemerintahan SBY 2004-2009, justru Jusuf Kalla yang paling banyak ngomong.
Maka demikian juga adanya dengan PDIP 2014, yang penerus PDI Orde Barusan dan maujud 10/1/1973, Rebon Wage, berwukukan Langkir, di bawah naungan Bethara Kala. Alhasil, perekrutan Eyang Jusuf Kalla itu gak berbeda dengan memaujudkan Bethara Kala menjadi sosok kongkrit, bukan cuma tampil dalam pakeliran wayang kulit doang.
Secara taktis, perekrutan Bethara Kala ini memang cantik dan membikin Golkar porak poranda, sebab keputusan Rapimnas Golkar berseberangan sama maunya Bethara Kala. Kejadiannya mirip pra pilpres 2004 kala Golkar dikomandani Akbar Tandjung nggabung dalam Koalisi Kebangsaan mendukung pasangan Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi kontra sejolian SBY dan Eyang Jusuf Kalla. Sehabis SBY terpilih, sang wapres Eyang Jusuf Kalla langsung ngebosin Golkar. Ujung-ujungnya gak kepalang tanggung: Akbar ditanjungkan.
Tapi perekrutan Bethara Kala merupakan hal yang dapat menggrogikan sistem kepartaian Indonesia. Alasannya? Sudilah mencermati lakon perwayangan sistem Presidencialismo de coalizao alias sistem parlementarisasi presidensialisme di Brasil dan Uruguay.
Menurut Eyang Berhard Thibaut, dalam hal pembentukan kabinet, presiden sebagai kepala pemerintahan memiliki empat jurus guna memperoleh dukungan parlemen (baik unikameral maupun bikameral).
Dua jurusnya gak beda dengan sistem parlementerisme. Yaitu: (a) kabinet satu partai atau pemerintahan tanpa koalisi, contohnya kalau partai presiden menguasai mayoritas parlemen dan (b) koalisi formal atau kabinet atau pemerintahan koalisi, misalnya bila partai presiden gak mendominasi mayoritas parlemen dan kemudian berkongsian secara formal dengan partai lain.
Namun, di samping dua jurus tersebut, sistem Presidencialismo de coalizao Brazil dan Uruguay mengenal dua jurus lain yang sangat “berbisa”, yang asing dalam sistem parlementerisme. Yaitu: (a) Jurus Kooptasi Parlemen berupa kabinet atau pemerintahan kooptasi parlemen, umpamanya mengangkat para menteri lintas partai (termasuk oposisi) demi memperoleh dukungan mayoritas parlemen dan (b) Jurus Kooptasi Non-Parlemen, misalnya mengangkat para menteri non partisan atau non-politisi di luar parlemen agar presiden memperoleh dukungan dari kelompok-kelompok masyarakat berpengaruh.
Dua jurus kooptasi ini biasanya dipakai oleh presiden. Manfaatnya antara lain untuk memperoleh dukungan masyarakat buat menekan parlemen, memporak-porandakan kubu oposan, mendisiplinkan fraksi pemerintah di parlemen, menghindari dominasi partainya di kabinet dan memperkuat harga tawar presiden terhadap partainya, alias partai jangan macam-macam sama presiden macam bertingkahnya partai terhadap seorang perdana menteri dalam parlementerisme.
Dua jurus berbisa itu subur, jika sistem kepartaiannya lemah gak melembaga, berfragmentasi luas, sistem proporsional daftar terbuka suara terbanyak, anggota-anggota parlemen berdisiplin fraksi rendah dan gemar berkutu loncat. Akibat dua jurus berbisa itu, akhirnya pembangunan sistem kepartaian tinggal menjadi impian belaka.
Lewat perekrutan Bethara Kala sebagai cawapres, secara dini Jokowi telah memainkan jurus Kooptasi terhadap Golkar. Lantaran Bethara Kala itu demennya memangsa orang yang disebut ontang-anting, maka Golkar pun montang-manting akibat ulah Bethara Kala yang dulunya ngebos dan kini malahan nggembosin.
Pelemahan partai akibat jurus kooptasi ini, tentu di luar dugaannya misi UU Tentang Kepartaian dan UU Tentang Pemilihan Legislatif. Persoalannya tentu jadi lain, jika sistem kepartaian yang kuat itu memang gak dibutuhkan di Indonesia.