Seruan Aksi: Lindungi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi – Stop Impunitas!
Aksi Solidaritas untuk para korban dan penyintas pelanggaran HAM serta jurnalis dan pembela HAM di Indonesia!
Pada tanggal 20 Mei 2024, KPU mengumumkan secara resmi Prabowo Subianto dan Wakilnya Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Kemenangan Prabowo Subianto menimbulkan kekhawatiran akan bertambah parahnya pelanggaran hak asasi manusia dan kembalinya pemerintahan yang otoriter.
Kemenangan dari Prabowo dan Gibran tidak mengejutkan. Pelemahan demokrasi dan supremasi hukum yang terjadi beberapa tahun ini telah mempersiapkan jalan bagi kemenangan mereka dan partai pendukungnya.
Pelemahan demokrasi terjadi melalui:
- Penguatan peran militer,
- Penegakan hukum secara satu arah dengan karakter atau konten represif, seperti undang-undang pidana baru atau undang-undang omnibus untuk menciptakan lapangan kerja,
- Pelemahan atau pengambil-alihan lembaga pengawas seperti pengadilan atau lembaga anti-korupsi,
- Pembatasan kebebasan berpendapat dan pers melalui ancaman hukum, kepolisian dan digital terhadap mereka yang kritis.
Siapakah Prabowo?
Prabowo merupakan anggota dari keluarga almarhum presiden Suharto yang memerintah Indonesia secara otoriter lebih dari 30 tahun. Selama masa kampanye, Prabowo mencitrakan dirinya sebagai sosok kakek yang menggemaskan. Namun, hal ini tidak bisa menyembunyikan fakta-fakta yang melekat pada pribadinya. Prabowo mewakili sebuah nasionalisme otoriter dan menganggap demokrasi di Indonesia sebagai “hal yang sangat melelahkan, kacau, dan mahal” (dalam pidato pada 5 Februari 2024 di Forum Investasi Mandiri). Sepanjang karirnya, dia selalu siap untuk memanfaatkan kekuatan militer dan kelompok ekstremis kanan untuk melayani kepentingan dan karirnya – tentu dengan mengorbankan nyawa dan hak asasi manusia.
Pada tahun 1998, Prabowo dipecat dengan tidak terhormat dari militer karena terkait dengan sejumlah pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi di masa pemerintahan Suharto. Ironisnya, Joko Widodo memberikan pangkat militer tertinggi kedua kepada Prabowo pada bulan Februari yang lalu.
Selama di militer, kekerasan merupakan bagian terbesar dalam karirnya.
Pada masa okupasi di Timor Timur, Prabowo bertugas setidaknya empat kali dan pernah ditarik karena tidak mematuhi perintah. Pada tahun 1978 ia memimpin unit yang membunuh pemimpin legendaris Timor Timur, Nicolau Lobato. Pada tahun 1983, ia mengabaikan perwira dengan pangkat yang lebih tinggi, merusak proses perdamaian serta dituduh melakukan pembantaian di Kraras. Pada tahun 1986-1987, ia mengembangkan strategi penumpasan pemberontakan yang bertujuan untuk memimpin perang klandestin dengan menggunakan orang lokal untuk melawan orang lokal. Dia juga dikaitkan dengan penculikan anak-anak Timor Timur, merekrut sejumlah pelaku kejahatan paling kejam seperti Eurico Guterres, dan menggunakan Kopassus pada tahun 1990-an untuk melatih dan memimpin milisi serta menciptakan kelompok “Ninja” yang menakuti masyarakat sipil Timor Timur.
Di akhir rezim otoriter pada tahun 1998, dia diduga menganiaya aktivis pro-demokrasi dengan unit-unit khusus. Nasib setidaknya dua belas aktivis tersebut masih belum jelas hingga hari ini. Atas tindakannya di Timor Timur maupun di Jakarta, Prabowo tidak pernah didakwa atau dimintai pertanggungjawaban. Sementara bawahan dari unitnya dijatuhi hukuman penjara.
Beberapa penyelidikan independen, termasuk penyelidikan oleh Komisi HAM Indonesia, menyimpulkan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh militer Indonesia merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan pelanggaran terhadap hukum Indonesia yang harus diadili. Prabowo, sementara itu, menyangkal keterlibatannya dan menolak bertanggung jawab hingga saat ini.
Sebagai pelaku aktif, perencana, dan perwira dengan tanggung jawab komando, jelas ia harus bertanggungjawab. Karena hal ini juga dia ditolak masuk ke Amerika Serikat sebelum dia diangkat menjadi Menteri Pertahanan.
Hingga ada klarifikasi melalui tribunal independen, kelayakan Prabowo untuk menjabat sebagai Presiden Indonesia harus dipertanyakan secara serius!
Ancaman terhadap demokrasi nyata!
Kemenangan Prabowo tidak jatuh dari langit. Banyak hal yang menunjukkan bahwa langkah-langkah untuk merealisasikan kemenangannya telah diatur sebelum pemilihan: manipulasi hak pilih melalui perubahan wilayah pemilihan, penunjukan pejabat yang simpatik di provinsi-provinsi yang dipertarungkan, penciptaan provinsi-provinsi baru di Papua Barat, pembelian suara, penyalahgunaan sumber daya negara untuk kampanye, dan lain sebagainya.
Mahkamah Konstitusi juga memainkan peran. Di bawah kepemimpinan ipar dari Presiden Joko Widodo, Mahkamah Konstitusi Indonesia pada bulan Oktober 2023 membuat dua keputusan yang patut dipertanyakan. Keputusan pertama memungkinkan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju sebagai calon wakil presiden untuk Prabowo, meskipun konstitusi menetapkan batas usia minimum 40 tahun. Alasan keputusan merujuk pada pengalamannya sebagai walikota Solo. Keputusan ini diambil setelah pamannya Gibran, yang merupakan hakim agung, hadir saat pemungutan suara.
Pengadilan juga menolak gugatan konstitusi yang diajukan oleh para pembela hak asasi manusia bahwa Prabowo melanggar Pasal 169 Undang-Undang Pemilu. Pasal 169 tidak memperbolehkan kandidat yang melakukan pengkhianatan negara atau kejahatan berat lainnya, atau terlibat dalam korupsi. Para pemohon mengajukan permintaan untuk mengklarifikasi pasal tersebut, termasuk pelanggaran hak asasi manusia, dan berargumen bahwa penculikan aktivis pro-demokrasi pada tahun 1997/1998 merupakan kejahatan berat. Permintaan tersebut ditolak.
Dengan seorang presiden yang memiliki darah di tangannya dan menghalalkan segala cara dalam mengejar kepentingan pribadi, ancaman bagi demokrasi Indonesia dan para pembelanya semakin meningkat.
Dukungan terhadap nasionalisme otoriter Prabowo bukanlah kebetulan. Ini juga merupakan ekspresi dari perkembangan internasional yang mengkhawatirkan, yang harus kita lawan.
Penindasan semakin meningkat.
Mereka yang berjuang melawan ketidakadilan sosial, diskriminasi, atau kerusakan lingkungan hidup saat ini hidup dalam bahaya. Impunitas yang berlanjut terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang serius, berbagai macam reformasi hukum yang tidak sesuai dengan asas-asas demokrasi dalam 5 tahun belakangan ini serta peleburan antara oligarki dan militer dalam politik yang terus terjadi, semakin membatasi ruang gerak masyarakat sipil. Kebijakan yang dijalankan di bawah Joko Widodo yang mengejar pertumbuhan ekonomi cepat dengan proyek infrastruktur dan pertambangan yang masif menghancurkan kehidupan banyak orang dan alam Indonesia yang unik.
Keadilan harus ditegakkan!
Kami menuntut penyelidikan menyeluruh dan pengungkapan penuh, termasuk secara hukum, semua kejahatan terhadap hak asasi manusia dari tahun 1960-an hingga tahun 2000-an. Ini termasuk:
- Pembantaian di tahun 1965/66 terhadap anggota dan simpatisan dari Partai Komunis serta orang-orang Tionghoa di Indonesia oleh tentara Indonesia dan milisi yang dibentuk khusus di bawah komando Jenderal dan kemudian Presiden Suharto.
- Penculikan aktivis demokrasi tahun 1998.
- Penembakan demonstran dalam aksi damai dan pemerkosaan massal selama protes pro-demokrasi tahun 1998/99.
- Pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan perang di Timor Timur, Aceh, dan Papua Barat.
- Pembunuhan terselubung pembela hak asasi manusia Munir pada tahun 2004.
Kami juga menuntut:
- Dipatuhinya:
- perjanjian internasional tentang partisipasi warga
- Pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
- Revisi yang sesuai dengan konstitusi terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang baru dan undang-undang yang dikenal sebagai undang-undang penciptaan lapangan kerja.
- Akses bagi pengamat internasional independen ke wilayah konflik di Papua Barat.
Dalam solidaritas dengan aksi Kamisan yang telah berlangsung selama 17 tahun, setiap Kamis pukul 16.00 di depan Istana Presiden di Jakarta menuntut berakhirnya impunitas atas pelanggaran hak asasi manusia