Berhitung Jalan buat Perempuan
Kompas, 30 April 2008
Kesetaraan dalam Pemilu
Sidik Pramono
Menjelang Pemilihan Umum 2009, isu kesetaraan perempuan kembali mencuat. Semua “pintu” proses politik dijaga untuk menyertakan perempuan. Hasilnya, tindakan khusus sementara, affirmative action, setidaknya berhasil memasukkan tiga perempuan dari tujuh anggota Komisi Pemilihan Umum atau KPU. Berikutnya, tiga dari lima anggota Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu juga perempuan.
Bagi anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR, Lena Maryana Mukti, yang ikut menyeleksi anggota KPU dan Bawaslu, tindakan khusus sementara itu guna memberikan ruang lebih luas kepada perempuan untuk berkesempatan terlibat dalam proses pengambilan keputusan, untuk memperkokoh sistem ketatanegaraan. Tindakan khusus itu sekaligus untuk menyuarakan aspirasi perempuan yang selama ini dirasakan sangat kurang.
Bagi Lena, tindakan khusus sementara di negara dengan sistem apa pun bisa dijalankan untuk meningkatkan derajat keterwakilan kelompok masyarakat tertentu. Di Afrika Selatan, misalnya, tindakan khusus diberikan kepada warga kulit hitam di ranah politik, ekonomi, dan pendidikan pada 1999. Saat kesempatan yang diperoleh sudah berimbang, tindakan khusus itu tak diberikan lagi. Hal yang sama akan berlaku untuk keterwakilan perempuan di DPR.
Bukan hanya ketentuan tindakan khusus sementara, rumusannya adalah “dapat”, ketentuan menyertakan keterwakilan perempuan harus dirumuskan menjadi “wajib”. Karena itu, ada ketentuan yang jelas tentang sanksi kepada peserta pemilu yang mengabaikan ketentuan itu.
Bukan kali ini saja gerakan perempuan menyuarakan keinginan agar lebih banyak perempuan masuk ke parlemen. Selama ini, keterwakilan kaum perempuan dalam struktur kekuasaan dan pengambilan keputusan masih timpang dibandingkan dengan kaum laki-laki. Padahal, masuknya perempuan pada tingkat pengambil keputusan diyakini akan mendorong lahirnya kebijakan publik yang lebih adil bagi semuanya.
Dalam pembahasan paket undang-undang (UU) bidang politik oleh pemerintah dan DPR, soal keterwakilan perempuan ini sejak awal selalu menjadi bahan perdebatan hangat. Nyaris menjadi langgam rutin, saat bersamaan, elemen masyarakat sipil menguatkan advokasi untuk mendorong masuknya klausul yang mendorong peningkatan keterwakilan perempuan. Dukungan publik digalang untuk menguatkan desakan kepada wakil rakyat, yang mayoritas laki-laki, agar menelurkan keputusan politik yang adil dan tidak diskriminatif.
Langkah maju
Misalnya, lewat proses alot, akhirnya UU Nomor 18 Tahun 2007 tentang Partai Politik menyebutkan pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan, kepengurusan parpol tingkat pusat disusun dengan menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan, serta kepengurusan parpol tingkat provinsi dan kabupaten/ kota disusun dengan memerhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen yang diatur dalam anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART) parpol.
Dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD disepakati, daftar bakal calon memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan. Yang lebih maju lagi, dalam daftar bakal calon anggota DPR/DPRD, dalam setiap tiga bakal calon terdapat sekurang-kurangnya seorang perempuan. Oleh aktivis gerakan perempuan, ketentuan itu dimaksudkan sebagai ”pagar” agar calon perempuan tak ditempatkan di urutan akhir daftar calon.
Namun, terkait dengan ”sanksi”, hanya disepakati jika parpol tidak memenuhinya, sedikitnya 30 persen calon perempuan, KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota memberi kesempatan perbaikan. Berikutnya, baru KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan di media massa parpol yang memenuhi dan tak memenuhi 30 persen keterwakilan bakal calon perempuan dalam daftar calon legislatifnya.
Salah satu alasannya, jika KPU diberi kewenangan mengembalikan daftar calon, bisa- bisa ketentuan itu dijadikan alasan oleh KPU untuk menolak sebuah parpol ikut pemilu dalam suatu daerah pemilihan. Langkah afirmasi 30 persen keterwakilan perempuan tidak boleh menghambat hak warga negara lain yang akan mengekspresikan hak pilihnya (Kompas, 30/11/2007).
Ada kekhawatiran, rumusan tindakan khusus sementara tanpa sanksi pasti akan terabaikan. Di sisi lain, ada yang menyoal jika ada rumusan sanksi atas sebuah kebijakan yang merupakan ”perlakuan khusus”.
Secara umum, ketentuan yang diterapkan untuk Pemilu 2009 relatif lebih maju. Menjelang Pemilu 2004, gerakan perempuan hanya ”berhasil” memasukkan prinsip afirmatif yang ”ringan”. Misalnya, Pasal 7 UU Nomor 31 Tahun 2002 mengenai Parpol antara lain dinyatakan, rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memerhatikan kesetaraan dan keadilan jender. Dalam Pasal 65 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD antara lain dinyatakan, setiap parpol peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memerhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.
Ketentuan itu memang ditepati. Sekalipun awalnya sulit (termasuk dengan cara KPU memberikan tambahan kesempatan penambahan calon anggota legislatif), ke-24 parpol peserta Pemilu 2004 mencoba memenuhi partisipasi 30 persen perempuan dalam daftar calon yang diajukannya. Namun, faktanya, perempuan yang menerobos sampai ke Senayan belum signifikan.
Tidak bisa diabaikan, salah satu alasan terdepan, calon perempuan diakali atau diganjal elite parpol, yang didominasi kaum laki-laki. Perempuan ditempatkan pada nomor urut bawah sehingga perolehan suaranya tidak berarti banyak ketika tidak mencapai bilangan pembagi pemilihan karena calon nomor urut atas saja yang akhirnya menjadi anggota DPR/DPRD.
Alhasil, data Aliansi Masyarakat Sipil untuk Revisi UU Politik dan Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik menunjukkan, perempuan yang jadi wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat hanya 11 persen dan di Dewan Perwakilan Daerah hanya 21 persen. Di lembaga eksekutif juga tidak berbeda jauh, hanya 12,8 persen perempuan yang mengisi posisi eselon I.
Problem yang dihadapi sekarang, akankah ketentuan itu cukup untuk mendongkrak keterwakilan perempuan di parlemen? Belum tentu. Catatan Pipit R Kartawidjaja dari Watch Indonesia di Berlin, pengalaman Swiss pada pemilu tahun 1999, 35 persen daftar parpol diisi kaum perempuan. Hasilnya, calon perempuan hanya mampu meraih 24 persen kursi legislatif. <>