Tanah Papua: Paru-paru dunia yang harus dijaga
Greenpeace SEAsia, 29 February 2008
oleh Arief Wicaksono
Indonesia — Pemerintah Propinsi Papua dan Papua Barat menyelenggarakan pertemuan kedua kalinya dengan Mitra Pembangunan Papua yang di selenggarakan di Jayapura, Papua pada 15-20 februari 2008. Pertemuan bertujuan memetakan dan menyelaraskan tujuan-tujuan dari beberapa rencana pembangunan yang tengah berjalan atau rencana yang berasal dari prakarasa antara pemerintah, bersama para donor dan organisasi internasional lainnya.
Hadir pada pertemuan ini Emmy Hafild, Direktur eksekutif Greenpeace Asia Tenggara dengan misi untuk meyerukan penghentian pengundulan hutan (Zero Deforestation). Greenpeace hadir pada acara ini untuk menindaklanjuti dari hasil pertemuan di Bali saat Pertemuan perubahaan iklim (UNFCCC) dengan Gubernur Papua Barnabas Suebu dan Gubernur Papua Barat Abraham Oktavianus Atururi.
Tanah Papua, meliputi Propinsi Papua dan Papua Barat adalah hutan alam terakhir yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya di dunia. Pulau New Guinea, gabungan antara Tanah Papua dan negara Papua Nugini, terletak disebelah barat Tanah Papua, merupakan Bentang Hutan Alam (Intact Forest Landscape, IFL) yang tersisa di Asia pasifik. Tanah Papua adalah permata hutan terakhir Indonesia. Sejak hutan Indonesia di pulau lainnya seperti Sumatra dan Kalimantan menyusut karena penebangan dan alih fungsi hutan secara besar-besaran untuk pembukaan perkebunan kelapa sawit. Kegiatan-kegiatan tersebut bukan saja merugikan lingkungan tetapi juga meningkatkan kemiskinan masyarakat lokal yang hidup bergantung pada hutan.
Setelah hutan-hutan menyusut dan menghilang di tempat lain, kecenderungan saat ini adalah para pembalak hutan dan perusahaan kelapa sawit tengah memburu permata hutan terkahir Indonesia yakni Tanah Papua. Jika tidak ada tindakan cepat untuk segera melindungi hutan di Tanah Papua maka nasibnya akan sama seperti hutan lainnya di Indonesia, dan Planet Bumi akan kehilangan ekosistem dan gudang karbon terpenting.
Oleh karena itu Papua dipandang memiliki nilai strategis oleh berbagai lembaga pembangunan bilateral dan multilateral untuk menangani perubahan iklim, baik melalui Protokol Kyoto maupun lewat mekanisme di luar protokol tersebut. Upaya di luar Protokol Kyoto antara lain terlihat pada upaya Menteri Kehutanan yang merencanakan proyek percontohan Pengurangan Emisi dari Penggundulan dan Degradasi Hutan atau Reduced Emission from Deforestation and Degradation (REDD) di Papua, Aceh dan beberapa daerah yang masih memiliki hutan. Sementara upaya yang termasuk Protokol Kyoto mencakup beberapa rencana untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit yang akan memenuhi pasokan biofuel [1]. Kedua prakarsa terkait dengan perubahan iklim didukung oleh satu rencana besar untuk pembangunan infrastruktur di Tanah Papua khususnya pembuatan jalan, sebagai penerapan Instruksi presiden (Inpres) no. 5 tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan di Propinsi Papua dan Papua Barat.
Belajar dari Kegagalan
Pertemuan kedua mitra pembangunan Papua ini dibuka secara resmi oleh wakil Presiden Republik Indonesia, M Yusuf Kalla. Wakil presiden didampingi oleh tujuh menteri strategis, tetapi tanpa kehadiran Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Tema utama dari pertemuan adalah bagaimana menegakkan penerapan Inpres No.5 tahun 2007 dengan menempatkan pembangunan infrastruktur sebagai agenda utama yang didukung rencana penataan ruang yang menyeluruh. Terlepas dari masa depan canggih yang ditawarkan, timbul pertanyaan, apa resiko tak-terhindarkan yang akan dihadapi masyarakat Papua dan lingkungan akibat penerapan kebijakan tersebut?
„Sebagai bangsa kita harus ingat pentingnya belajar dari kegagalan yang terjadi di pulau Sumatra dan Kalimantan akibat eksploitasi berlebihan atas hutan dan sumber daya alam lainnya, yang sekarang terbukti menghasilkan bencana lingkungan sementara rakyatnya kesejahteraan rakyat tetap tertinggal” tegas Emmy Hafild kepada seluruh pejabat yang hadir pada pertemuan tersebut.
Kesejahteraan masyarakat Papua dan keselamatan lingkungan „Pembangunan di Papua harus mempunyai satu tujuan yang tidak terpisahkan yaitu kesejahteraan masyarakat dan pelestarian lingkungan hidup di Papua. Sehingga design dari pembangunan Papua harus sudah di arahkan sejak awal untuk meminimalkan resiko lingkungan dan memaksimalkan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu pantas kita bertanya, Misalnya Apakah kita benar-benar membutuhkan 3 juta hektar untuk perkebunan kelapa sawit [2] untuk meningkatkan ekonomi 3 juta masyarakat Papua yang hidup berpencar dan terisolir satu sama lain di Tanah Papua, atau kita justru akan menciptakan suatu bencana baru? Apakah pembangunan infrastuktur jalan yang sedang di rancang merupakan solusi terbaik terhadap keterpencaran dan terisolasian tempat-tempat tersebut? Atau dengan kata lain, rencana ini akan mendorong kisah berikutnya tentang transmigrasi, yang selalu berujung pada konflik sosial dan kerusakan lingkungan,” lanjut Emmy .
Duta Besar Belanda untuk Indonesia Dr. Nikolaos Van Dam, Memberikan kata sambutan dengan menggunakan bahasa Indonesia dalam pertemuan tersebut „Tanah Papua adalah salah satu paru-paru dunia, tetapi apakah Papua bisa bernapas dengan baik untuk dirinya sendiri?” Seluruh bupati dan undangan yang datang pada saat itu berdiri dan memberikan tepuk tangan yang meriah atas pernyataan tersebut. Dialog pembangunan dilanjutkan dengan makan malam resmi di kediaman dinas Gubernur Papua yang dihadiri beberapa perwakilan dari organisasi Internasional.
Terima kasih kepada Greenpeace
Pada pidato sambutan Gubernur papua mengucapkan terima kasihnya kepada Greenpeace karena mendukungnya dalam lingkup yang lebih luas dan menyatakan bahwa pemerintah Propinsi Papua berkomitmen untuk melindungi hutan dan masyarakat papua. Beliau mengatakan sangat terkesan ketika melihat begitu banyak jurnalis nasional ataupun internasional yang datang pada side event yang diselenggarakan Greenpeace secara baik pada pertemuan UNFCC di Bali Desember 2007 lalu. Dalam kesempatan itu Barnabas Suebu juga berbagi cerita tentang 65 HPH yang pernah dicabut ijin operasinya tetapi kini telah memiliki pemilik baru. Departemen Kehutanan telah selesai melakukan pelelangan ke-65 HPH tersebut. Namun dia mengatakan tidak akan memberikan ijin operasi bagi ke-65 HPH dengan pemilik baru itu.
„Kami menerima dan mendukung pemerintah Papua untuk mendapat bantuan dana dalam melindungi ekosistem yang ada di Papua agar dapat menjaga karbon yang tersimpan di hutan Papua. Kami percaya prakarsa itu dapat mendorong pengurangan emisi gas-gas rumah kaca yang terjadi di bumi ini. Greenpeace sangat terbuka untuk bekerjasama dengan Gubernur dan pemerintah Propinsi Papua, dan akan menyebarluaskan prakarsa tersebut untuk memperoleh dukungan politik dan keuangan lebih luas lagi,” kata Emmy Hafild menangggapi sambutan Barnabas Suebu.
Greenpeace tidak keberatan dengan pentingnya pembangunan infrastruktur bagi Papua. Tetapi kita harus belajar dari pengalaman pembangunan infrastruktur yang telah terjadi di Sumatera dan Kalimantan yang telah membuka jalan bagi eksploitasi besar-besaran hutan dan kekayaan alam. Mengangkat perekonomian masyarakat adalah hal yang penting, tetapi tidak dengan mengorbankan kekayaan keanekaragaman hayati dan integritas fungsi lingkungan hidup. Pembangunan dengan pendekatan budaya lokal menjadi pendekatan yang penting dipertimbangkan.
[1] https://www.watchindonesia.de/CarbonDealers.htm; Marianne Klute – Carbon dealers – Papua and Aceh in Watch Indonesia! – Information & Analysis, 28 September 2007.
[2] http://www.papua.go.id/berita_det.php/id/67; Papua Siapkan Tiga Juta Hektar Lahan untuk Perkebunan Sawit (22 Apr 2004).