Marianne Klute: Biochar Membahayakan Ekosistem
Majalah JUBI Papua, 29 April 2009
Oleh Pietsau Amafnini
Mengenai isu baru di bidang lingkungan yang membahayakan kehidupan manusia dan lingkungan hidup di sekitarnya, Marianne Klute dari Watch Indonesia! di Berlin, German kepada JUBI Papua menjelaskan sebagaimana tertera di bawah ini.
Kalau dibandingkan dengan isu REDD, apa yang berbeda dari isu Biochar?
Biochar adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan arang (biasanya arang berserbuk halus) yang ditambahkan pada tanah. Biochar dihasilkan melalui proses yang disebut pirolisis biomasa. Ini dilakukan dengan memaparkan biomasa pada temperatur tinggi tanpa adanya oksigen. Proses ini menghasilkan dua jenis bahan bakar (syngas atau gas sintetik dan minyak nabati) dan juga arang sebagai produk sampingan. Kedua jenis bahan bakar ini hanya merupakan ide gila dari para inisiator yang memproyekkan biochar sebagai alternative solution untuk pengurangan emisi karbon dunia. Yang jelas proses pembakaran tetap menyebabkan pemanasan global, apalagi dalam luasan ratusan juta hektar. Dalam prinsip REDD, tidak mengizinkan proses-proses pembakaran yang justru menyebabkan polusi dan merusak lingkungan hidup, terutama di daerah-daerah hutan tropis. Hutan alam harus dijaga, dilindungi dan dikelola secara berkelanjutan untuk menjamin kehidupan manusia dan ekosistem yang ada di dalam hutan. Tetapi biochar, justru melegitimasi pembakaran yang akan terjadi pada pembukaan lahan perkebunan monokultur besar-besaran di dunia seperti perkebunan tebu, sawit, palawija dan sebagainya. Yang jelas, namanya arang industri itu adalah limbah, bukan penyelamat lingkungan.
Apakah Biochar yang berasal dari arang industri itu sama dengan Terra Preta di Amazon?
Itu dia, belum diketahui apakah arang dalam tanah memang merupakan “penyerap karbon” (carbon sink). Yang jelas arang industri sangat berbeda dengan Terra Preta yang ditemukan masyarakat adat di Amazon Tengah sejak ratusan bahkan ribuan tahun silam. Amazone Tengah memang memiliki tanah yang kaya akan karbon dan tanahnya sangat amat subur. Namun, itu proses alami, sebagaimana pengalaman petani subsisten yang mengelola kebun skala kecil hanya untuk kebutuhan makan. Dari hasil bakaran itu akhirnya menemukan bahwa bisa memproduksi arang dan energi.
Berapa luasan tanah yang kira-kira dibutuhkan untuk memproduksi biochar?
Pendukung biochar mempromosikan “target” minimal akan menggunakan 500 juta hektare lahan atau lebih untuk memproduksi arang dan energi. Pembukaan lahan ini tentu melalui sistem industri perkebunan monokultur dimana mereka akan menanam pohon yang cepat tumbuh dan bisa diproses untuk memperoleh arang dan energi itu. Tidak hanya itu, tetapi justru luasan tanah yang dibutuhkan itu juga untuk menanam tanaman pemasok industri bubur kertas dan kertas. Untuk agrofuel sudah menciptakan dampak sosial dan lingkungan yang parah sehingga memperburuk perubahan iklim. Tuntutan lahan baru yang teramat besar untuk biochar akan sangat membuat masalah ini menjadi semakin parah. Bahayanya adalah hutan alam, hutan tropis itu justru akan diperbaharui dengan hutan tanaman industri yang tentu monokultur untuk memenuhi tuntutan produksi energi.
Apa resiko dan tantangan bagi keberlanjutan manusia dan ekosistem di daerah hutan tropis?
Resikonya bahwa biochar di masa mendatang dapat digunakan untuk mempromosikan pengembangan varietas tanaman rekayasa genetika (GE) yang direkayasa secara khusus untuk menghasilkan biochar atau untuk memperluas jenis tanaman yang cepat tumbuh, yang keduanya dapat memberi dampak ekologi serius. Tanaman genetika baru ini dimaksudkan supaya menjamin ketepatan dan ketersediaan produksi. Bahayanya adalah proyek biochar akan menghancurkan hutan alam di mana kebanyakan masyarakat adat di negara-negara berkembang masih hidup bergantung pada pemanfaatan sumberdaya hutan san sumberdaya alam secara tradisional. Hutan akan ditebang habis dengan luasan minimal 500 juta hektar untuk tingkat dunia hanya untuk memproduksi arang dan energi biochar itu. Tentu semakin bertambah ancaman terhadap bumi dimana pemanasan global semakin meningkat. Hutan alam pun akan habis ditebang dan digantikan dengan hutan tanaman industri hasil rekayasa genetika itu. Ini merupakan ancaman baru bagi manusia, hutan dan seluruh kehidupan di bumi ini.
Apakah benar, arang industri biochar itu bisa membuat tanah menjadi lebih subur? Dan apakah biochar bisa menjamin energi alternatif dan mendatangkan perbaikan kehidupan ekonomi bagi indigenous people yang hidup disekitar hutan?
Tidak ada bukti yang konsisten bahwa arang betul-betul dapat membuat tanah lebih subur. Bisa belajar dari kebiasaan masyarakat adat di Tanah Papua sendiri. Mereka biasa menebang hutan dalam luasan kecil untuk menanam kebutuhan makan seperti keladi, ubi-ubian, sayuran. Biasanya tahun pertama, dari hasil bakaran pada kebun baru itu, tanah sangat subur. Tahun kedua, humus tanah sudah berkurang. Tahun ketiga humus tanah malah sudah tidak menjamin lagi. Sehingga masyarakat harus meninggalkan kebun lama dan membuka kebun baru pada tahun ke-empat. Itu artinya, bahwa arang tidak bertahan mengembalikan humus tanah. Produksi arang industri dengan mengorbankan zat organik yang diperlukan untuk membuat humus bisa memberikan hasil yang sebaliknya. Campuran arang dan pupuk berbasis bahan bakar fosil yang dibuat melalui pemberusan/scrubbing gas buangan pabrik pembangkit listrik tenaga batubara tengah dipromosikan sebagai “biochar”, dan itu akan membantu mengabadikan pembakaran bahan bakar fosil dan juga emisi nitrus oksida (N2O), gas rumah kaca yang berbahaya. Proses pembuatan arang dan energi (pirolisis) dapat menghasilkan polusi tanah dan udara yang berbahaya. Mengubah tanah menjadi komoditas menguntungkan industri tapi sangat merugikan masyarakat adat yang masih hidup bergantung pada hutan alam mereka. Masyarakat adat akan semakin miskin.
Kalau dibandingkan dengan REDD, masyarakat adat di sekitar hutan juga adalah penerima manfaat ekonomi dari hutan terlindung, apakah Biochar juga akan memberikan keuntungan ekonomis bagi masyarakat adat, misalnya di Tanah Papua?
Itu masalahnya. Biasanya perusahaan-perusahaan akan gampang meyakinkan pemerintah dan masyarakat di negara-negara pemilik hutan alam bahwa ada banyak keuntungan secara ekonomis yang bisa diakses dari proyek bochar ini. Bahkan ada begitu banyak perusahaan yang sudah mendaftarkan paten untuk penggunaan arang dalam tanah dan untuk proses pirolisis dengan produksi arang. Jika disetujui, dapat dipastikan bahwa keuntungan dari teknologi itu nantinya akan dinikmati oleh perusahaan, bukan masyarakat. Mengingat bahwa yang berhasil mengembangkan strategi atas campuran arang dengan biomas yang beragam dalam tanah adalah masyarakat adat. Soal pematenan “biochar” ini menimbulkan keprihatinan yang mendalam mengenai pembajakan pengetahuan tradisional atas sumberdaya hayati (biopiracy). Dimasukkannya tanah dalam pasar karbon, seperti halnya dimasukkannya hutan dalam perdagangan karbon akan meningkatkan kendali perusahaan atas sumber daya penting dan tersingkirnya petani kecil, masyarakat pedesaan dan masyarakat adat. Hal yang penting untuk diketahui masyarakat adat seluruh dunia adalah proyek biochar juga akan membuat mereka tidak dapat memiliki tanah lagi. Ini semua terkait dengan sistem perkebunan industri dimana perusahaan-perusahaan akan membeli tanah milik masyarakat melalui pemerintah sebagaimana yang terjadi pada perkebunan sawit. Kuasa masyarakat aat atas tanah adatnya akan segera berpindah tangan kepada kuasa perusahaan besar melalui izin atau persetujuan pemerintah. Perkebunan sawit sudah menjadi contoh di Tanah Papua.
Lantas sebaiknya bagaimana?
Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) telah melanggengkan, bukannya mengurangi pembakaran bahan bakar fosil dengan mengijinkan industri untuk membeli “hak untuk mencemari” dan makin menunda perubahan sosial dan ekonomi yang penting untuk mengatasi perubahan iklim dan kemiskinan masyarakat di dunia. Dampak pembakaran bahan bakar fosil terhadap iklim tak dapat dipulihkan, dan apa yang disebut sebagai “tanah penyerap karbon” sangatlah tidak pasti dan hanya bersifat sementara. Kami sangat menentang dimasukkannya tanah dalam perdagangan karbon dan mekanisme perimbangan (offset), termasuk dalam Mekanisme Pembangunan Bersih. Pertanian agro-ekologi skala kecil dan perlindungan terhadap ekosistem alamiah merupakan jalan yang efektif untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Alternatif yang sudah terbukti inilah yang harus didukung, bukannya teknologi yang berbahaya serta tak berdasar yang dipromosikan dengan kepentingan komersial. Masyarakat adat dan petani telah mengembangkan berbagai cara untuk merawat tanah dan keanekaragaman hayati, dan hidup berkelanjutan. Metode yang disesuaikan dengan kebiasaan dan budaya setempat ini tergantung akan iklim, tanah, palawija dan kenekaragaman hayati dalam suatu wilayah. Usaha untuk mengkomersialkan tanah dan melakukan pendekatan “satu untuk semua” terhadap tanah dan pertanian dapat berakibat buruk pada penggunaan pengetahuan dan keanekaragaman ini, dan merongrong serta menghancurkannya justru pada saat sangat dibutuhkan.
Apakah arang dapat menjadi “penyerap karbon”?
Pendukung “biochar” mengatakan bahwa arang industri dapat dibandingkan dengan Terra Preta, tanah teramat subur dan kaya karbon yang ditemukan di Amazon Tengah, yang diciptakan oleh masyarakat adat selama ratusan bahkan ribuan tahun silam melalui penggunaan arang yang dipadukan dengan biomasa yang sangat beragam. Keberhasilan Terra Preta ini belum dapat ditiru. Biochar modern sangat bervariasi dan hasilnya sangat beragam tergantung jenis tanah, jenis materi yang digunakan untuk membuat arang, dan faktor-faktor lain. Dalam beberapa kasus, penambahan arang telah dilakukan untuk meningkatkan hilangnya karbon tanah dengan merangsang penguraian zat organik non-arang oleh mikroba. Sebagian mikroba juga dapat mengurai arang. Meskipun ada arang yang tetap tinggal dalam tanah dalam waktu lama, tapi tak selamanya seperti itu. Tak ada (bahkan secuilpun) pengkajian jangka panjang atas biochar modern. Dampak pengolahan lahan tanah yang luas untuk membentuk biochar juga belum diketahui. Biochar di permukaan atau di dekat permukaan tanah dapat meningkatkan “jelaga hitam” di atmosfer, yang merupakan penyumbang terbesar bagi pemanasan global. Untuk menghindarinya, arang ini perlu ditanam jauh di dalam tanah. Tapi pengolahan ini akan mengganggu dan mengubah struktur tanah dan menyebabkan lepasnya sejumlah besar CO2 ke atmosfer. Klaim bahwa biochar dalam tanah merupakan “penyerap karbon yang permanen” adalah keliru dan itu salah besar.
Apa dampak yang kemungkinan besar akan terjadi jika jumlah stock umpan (feedstock) untuk biochar terus meningkat sebagai strategi geo-engineering iklim?
Pendukung biochar menyarankan dikembangkannya perkebunan besar (sedikitnya 500 juta hektar) palawija dan tanaman yang cepat tumbuh untuk konversi arang. Seperti yang tampak dari dampak yang membawa malapetaka dari penggunaan perkebunan industri untuk bubur kertas dan kertas serta agrofuel, konversi tanah dalam skala ini merupakan ancaman besar bagi keanekaragaman hayati dan ekosistem, membuat masyarakat tergusur, mengganggu produksi pangan dan menurunkan kualitas tanah dan sumber daya air tawar. Usulan penggunaan “residu pertanian dan kehutanan” didasarkan atas assesmen yang tidak realistis mengenai ketersediaan bahan-bahan tersebut, yang jika disingkirkan menghilangkan gizi dan zat organik dari tanah, mendorong terjadinya erosi dan mengurangi habitat kritis untuk keanekaragaman hayati.
Apakah dampak penambahan arang atas tanah?
Pendukung “biochar” mengklaim bahwa ini akan menyuburkan tanah, mengurangi kebutuhan akan pupuk kimia dan meningkatkan penyerapan air. Tetapi pengkajian yang tak banyak jumlahnya menunjukkan hasil yang beragam, termasuk, dalam beberapa kasus justru kebalikannya, yaitu, turunnya produktivitas. Lagi-lagi, tak ada pengkajian jangka panjang. Nyatanya, banyak dari riset dan pengembangan “biochar” berfokus pada arang yang dikombinasikan dengan pupuk sintetis, dan arang yang “ditingkatkan” dengan gas buang hasil yang “digaruk” dari pabrik pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batu bara (amonium bikarbonat). Dampak penggunaan biochar secara besar-besaran dan gangguan mekanis saat biochar diolah dalam tanah terhadap keanekaragaman mikrobial tanah tak diketahui, tetapi menjadi sangat mengkhawatirkan karena skala yang sedemikian besar.
Adakah dampak lain yang perlu dipikirkan?
Pirolisis dapat menimbulkan pencemaran udara dan emisi partikel diketahui memiliki dampak serius terhadap kesehatan manusia. Sedangkan dalam pembakaran konvensional, racun yang terkandung dalam stok umpan (feedstock) lepas ke udara atau tertahan dalam debu atau arang. Sebagian perusahaan biochar sudah menggunakan berbagai macam “limbah” yang dapat mencakup kayu yang sudah diolah, residu palawija yang sudah disemprot dengan bahan kimia untuk pertanian, plastik, ban bekas atau batu bara yang tercampur dengan biomasa lain. Dampak penambahan sejumlah besar arang yang potensial mengandung racun ke dalam tanah haruslah diperhitungkan, demikian juga halnya dengan emisi udara dari pirolisis. Dalam menghadapi ketidakpastian ilmiah yang besar, dukungan kebijakan terhadap komersialisasi dan peningkatan teknologi ini sangatlah berbahaya dan tak dapat dibenarkan. Ada risiko untuk membuat perubahan iklim menjadi lebih parah ketimbang menguranginya, kalau terjadi emisi dari perubahan penggunaan lahan, dari gangguan terhadap tanah, atau dari lepasnya karbon tanah atau karbon “biochar” yang tak terduga.
Marianne pun menerangkan bahwa saat ini para pendukung biochar mengklaim bahwa biomasa yang mereka gunakan ini tidak mengandung karbon. Sebuah klaim yang mengabaikan fakta bahwa biomasa ini sebagian besar berasal dari pertanian industri dan perkebunan, yang banyak berhubungan dengan emisi gas rumah kaca yang sangat tinggi akibat hilangnya karbon tanah organik, perusakan tumbuh-tumbuhan alami, energi dan penggunaan pupuk sintetis. Mereka selanjutnya mengklaim bahwa karbon yang tersimpan dalam arang (biasanya 20-50% dari karbon yang semula berada dalam biomasa) akan tetap berada di sana selamanya, apabila arang itu ditambahkan ke tanah. Hal ini akan menghasilkan proses “negatif karbon”, sehingga dapat mengurangi konsentrasi karbon dioksida dalam atmosfer. Mereka juga mengklaim bahwa penambahan arang akan membuat tanah menjadi subur selamanya. Semua klaim itu menimbulkan tanda tanya besar dan tak ada satupun yang terbukti secara ilmiah.
Terkait dengan issue Biochar ini, Marianne Klute menegaskan bahwa pihaknya dari Watch Indonesia! bersama jaringan pemerhati lingkungan dan hak indigenous people di German telah menyerukan kepada seluruh pihak di dunia terutama masyarakat adat di negara-negara berkembang yang masih memiliki cukup banyak luasan hutan tropis supaya mewaspadai investasi apapapun yang kiranya mengandung unsure misi Biochar. Karena menurutnya, biochar adalah ancaman baru yang sangat berbahaya bagi manusia,tanah dan ekosistemnya. Jauhkan “biochar” dan tanah dari perdagangan karbon. Waspadai usulan penggunaan arang dalam tanah secara besar-besaran untuk mitigasi perubahan iklim dan reklamasi tanah. Pada akhirnya, Marianne memberikan pesan bagi masyarakat adat Papua, bahwa jangan tergiur dengan nilai uang yang diberikan oleh perusahaan pada hari ini untuk membebaskan tanah adat anda dengan harga yang tidak masuk akal, karena perusahaan-perusahaan biochar hanya mau membutuhkan lahan yang luas untuk uji coba teori yang belum dipastikan membawa manfaat positif bagi manusia, tanah, hutan dan ekosistem di dunia, termasuk di Tanah Papua.
***Wartawan JUBI Papua