Harapan pada Partai Politik
Kompas, 02 Februari 2009
Parpol Perlu Lakukan Mekanisme Internal
Jakarta, Kompas – Langkah yang realistis dilakukan saat ini adalah meminta adanya mekanisme internal di tubuh partai politik yang memungkinkan peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen.
Wakil Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Topo Santoso, Sabtu (31/1) berpendapat, perdebatan mengenai kebijakan afirmatif untuk calon perempuan tidak bisa melulu digantungkan pada turunnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau peraturan KPU.
Baik perpu maupun peraturan KPU dinilai akan rawan gugatan karena Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan penetapan calon anggota DPR/DPRD terpilih didasarkan pada perolehan suara terbanyak.
”Kalau KPU ngotot (memasukkan klausul kebijakan afirmatif di peraturan KPU), saya tak yakin KPU bisa mempertahankan dalilnya jika nanti ada gugatan,” kata Topo.
Karena itu, Topo menilai langkah paling realistis adalah meminta adanya mekanisme internal di tubuh partai politik yang memungkinkan peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen.
Salah satu caranya, calon perempuan yang perolehan suaranya terbanyak diprioritaskan untuk mengisi kursi calon laki-laki yang perolehannya terkecil.
Bisa juga calon laki-laki yang bakal diganti calon perempuan karena perolehan suaranya tidak mencapai persentase tertentu dari bilangan pembagi pemilihan.
Menurut Topo, klausul itu bukanlah ”pelanggaran” jika merujuk keputusan parpol yang mengharuskan setiap calon anggota DPR/DPRD menandatangani formulir kesiapan mengundurkan diri jika ada ”penugasan” dari parpol bersangkutan.
”Langkah ini sekaligus untuk menguji kewibawaan parpol terhadap kadernya,” kata Topo.Seperti diberitakan, kebijakan afirmatif untuk calon perempuan pascaputusan Mahkamah Konstitusi masih terus diperdebatkan. Semula ada wacana di lingkup KPU untuk memasukkan klausul bahwa satu kursi minimal diberikan kepada calon perempuan jika sebuah partai politik memperoleh minimal 3 kursi di sebuah daerah pemilihan.
Tata sistem pemilu
Secara terpisah, Pipit R Kartawidjaja dari Watch Indonesia di Berlin menyebutkan, perdebatan soal keterwakilan perempuan mestinya menjadi pintu masuk menata kembali sistem pemilu berikut perangkat teknisnya secara lebih komprehensif.
Sistem proporsional daftar terbuka relatif merugikan calon perempuan dibandingkan sistem proporsional daftar tertutup.
Perkecualian terjadi di Peru di mana sistem proporsional terbuka dengan setiap pemilih memiliki dua suara yang harus diberikan kepada dua kandidat parpol yang sama. Sistem itu mendongkrak pencapaian calon perempuan menjadi 40 persen di Kongres Peru.
Demikian halnya sistem pemilu campuran di Rusia, yaitu sistem proporsional daftar tertutup dan mayoritas. Calon perempuan sukses merebut suara dalam sistem pemilu mayoritas. (DIK)