Suara Rakyat Terancam Hilang
Pikiran Rakyat online, 30 Januari 2009
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=56182
JAKARTA, (PR).– Ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR dinilai akan semakin menghilangkan suara rakyat yang melalui pemilihan umum (pemilu). Padahal, misi pemilu adalah meningkatkan derajat keterwakilan masyarakat.
Hal itu dikatakan Pipit Rochijat Kartawidjaja yang menjadi saksi ahli dari pemohon dalam sidang uji materiil UU No. 10/2008 di Mahkamah Konstitusi, Jln. Medan Merdeka Barat Jakarta, Kamis (29/1). Materi yang diuji utamanya pasal 202 ayat (1) UU 10/2008. Pada sidang kemarin, pemohon pun memperbaiki permohonan perkaranya termasuk menguji pasal 203, 205, 206, 207, 208, dan 209.
„Bila parliamentary threshold diberlakukan, maka akan ada peningkatan suara yang hangus,“ kata Pipit.
Ia memaparkan, pada 2004, suara hangus mencapai 4,8% dan kemungkinan menjadi 16,2% pada tahun ini. Jumlahnya sekitar 5,5 juta pada 2004 dan bisa menjadi 18,7 juta pada 2009.
Pemberlakukan parliamentary threshold (PT) itu bisa mengesankan niat untuk menggelembungkan suara bagi partai politik (parpol) besar. Oleh karena itu, membuat sistem pemilu yang dianut tidak bersifat proporsional lagi.
Padahal, kata Pipit, PT itu tidak sesuai dengan demokrasi konsesual yang dianut Indonesia. Dalam konsep demokrasi konsesual, proses politik seharusnya menyertakan masyarakat sebanyak-banyaknya sehingga harus proporsional. Oleh karena itu, sistem itu sudah dibatalkan di berbagai negara termasuk Amerika sejak 100 tahun lalu.
Selain itu, menurut Pipit, penentuan ambang batas dalam sistem pemilu yang diatur dalam UU 10/2008 terlalu banyak. Setidaknya ada lima ambang batas yang di antaranya parliamentary threshold, electoral threshold, dan ambang batas penentuan kursi di setiap daerah pemilihan.
Menurut kuasa hukum pemohon A. Patra M. Zen, penentuan ambang batas itu merupakan bentuk kesewenang-wenangan. Pemohon bukan mempermasalahkan pilihan kebijakan yang diambil dalam sistem pemilu, namun sifat kesewenang-wenangan dan manipulatif dalam kebijakan tersebut.
Pemohon uji materiil adalah gabungan sepuluh parpol, yakni Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Patriot, Partai Persatuan Daerah, Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Nasional Banteng Kerakyatan, Partai Perjuangan Indonesia Baru, Partai Karya Pangan, Partai Hati Nurani Rakyat, dan Partai Kasih Demokrasi Indonesia.
Aturan main
Menurut kuasa hukum DPR Ferry Mursyidan Baldan, PT bukanlah bentuk penyia-nyiaan suara, tetapi aturan main dalam penentuan kursi. „Kondisi itu pun terjadi pada Pemilu 2004, di mana tidak semua suara dikonversi dalam bentuk kursi di DPR,“ ujarnya.
Dikatakan Ferry, apabila total suara 2004 yang dikonversi dalam bentuk suara dihitung, jumlahnya tidak akan mencapai 100% suara pemilih. Calon dari setiap parpol di setiap dapil akan memperoleh suara, namun yang memperoleh kursi adalah yang mendapatkan suara sesuai bilangan pembagi pemilih.
„Ada suara yang tidak terkonversi menjadi kursi, tapi itu bukan menjadi bentuk penghangusan. Mari kita mempersepsi itu adalah kompetisi dengan aturan main,“ kata Ferry, seraya menambahkan, „Parliamentary threshold hanya berlaku untutk penentuan kursi di DPR, sedangkan suara di DPRD tetap bisa dimanfaatkan.“
Ferry bahkan mengatakan, sistem ambang batas memberikan keringanan bagi parpol yang masih ingin bersaing dalam Pemilu 2014. Meskipun tidak memenuhi ambang batas, parpol itu masih bisa menjadi peserta pemilu tanpa perlu berganti nama dan mengganti seluruh struktur serta infrastruktur parpolnya.
„Aturan itu tidak merugikan secara konstitusional,“ kata Ferry. (A-160)***