„Wakil Perempuan Harus Kritis“
jurnalperempuan.com, 29 April 2008
Jurnalis Kontributor Bremen: Yusuf Pratama, JurnalPerempuan.com-Jerman.
SOAI (Südostasien Informationsstelle) bekerja sama dengan Yayasan Jurnal Perempuan, PCIM (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah) Jerman, PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Jerman, Mata Asien im Blick Bremen, Watch Indonesia! Berlin, Eine Welt Forum Aachen dan IMBAS Frankfurt menyelenggarakan seminar sehari pada Sabtu, 26 April 2008 dengan tema partisipasi dan representasi politik perempuan di negeri Muslim. Seminar yang diadakan di Aula KSHG (Katholische Studierende und Hochschulgemeinde) Münster ini dihadiri oleh kurang lebih 40 aktivis, dosen, mahasiswa, dan pers yang memiliki minat pada persoalan perempuan, politik dan Islam. Diskusi sehari ini diliput oleh Ayu Purwaningsih dari Deutsche Welle Bonn.
Pada kesempatan ini SOAI, yang telah sering menggelar acara serupa, menggundang 3 pembicara untuk memaparkan kondisi terakhir partisipasi dan representasi perempuan di Indonesia, Malaysia dan Pakistan, tiga negara di mana Islam menjadi salah satu identitas kolektif mayoritas masyarakatnya. Seminar sehari ini dimoderatori oleh doktoran Universität Passau yang sedang meneliti perempuan Aceh, Kristina Grossmann.
Kondisi Indonesia
Pembicara pertama, Ahmad-Norma Permata, doktoran Ilmu Politik Universität Münster, memaparkan bahwa 50,8% penduduk Indonesia adalah perempuan. Sayangnya fakta ini belum terwakilkan dalam parlemen dan pemerintahan, baik di pusat, maupun daerah. Ahmad-Norma menambahkan bahwa sekarang ini hanya terdapat 11,5% representasi perempuan yang duduk di badan legislatif. Di jajaran eksekutif keadaannya jauh lebih parah, yaitu hanya terdapat 1 gubernur perempuan dari 33 propinsi yang ada di Indonesia.
Ahmad-Norma lalu merunut partisipasi perempuan dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Yang memulai analisanya kembali ke jaman sebelum kolonial, yaitu kerajaan Islam. Sejarah mencatat banyaknya perempuan yang aktif dalam kegiatan sosial di segala bidang, mulai dari politik, ekonomi sampai militer. Kedatangan Belanda di Indonesia membuat peta kekuatan perempuan di masyarakat ikut berubah. Kedatangan kolonial yang juga membawa ideologi demokrasi ikut menyemarakkan partisipasi perempuan di Indonesia. Agenda-agenda seperti kesetaraan jender mulai tumbuh di kalangan aktivis-aktivis perempuan Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia, salah satunya, membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi perempuan Indonesia. Segregasi di ruang publik antara laki-laki dan perempuan menyebabkan partisipasi perempuan menjadi berkurang. Tercatat hanya 6,5% perempuan menjadi anggota DPR, selama era Orde Lama. Kondisi perempuan di era Orde Baru mulai membaik. Partisipasi perempuan di DPR meningkat menjadi 9 % dan puncaknya pada pemilu 1987 ketika representasi perempuan di DPR tercatat 13%, tertinggi sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia. Tetapi selama Orde Baru peran perempuan hanyalah sebagai pelengkap bagi tugas laki-laki. Hal ini termanifestasikan di dalam kegiatan- kegiatan organisasi sosial perempuan yang hanya bergelut di dalam bidang-bidang domestik, yaitu: Dharma Wanita, PKK, dll.
Semenjak runtuhnya rejim Soeharto pada tahun 1998, perempuan Indonesia berusaha meraih posisi yang lebih proporsional di ranah politik, tidak hanya bergelut di bidang domestik, perempuan Indonesia menuntut keadilan dan proporsi bagi mereka. Kuota minimal 30% perempuan pada daftar calon legislatif tiap-tiap partai pengikut pemilu menjadi salah satu tujuan jangka pendek yang dicanangkan. Agenda ini mendapat persetujuan oleh DPR baru-baru ini. Bagi Ahmad- Norma hal ini bukan final karena masih banyak tantangan yang akan dihadapi oleh perempuan Indonesia di era mendatang, antara lain kurangnya sumber daya perempuan yang berkualitas yang mampu berjuang untuk kepentingan perempuan. Selain itu tumbuhnya gerakan-gerakan Islam konservatif di Indonesia dilihat sebagai salah satu kendala yang dapat memperlambat perkembangan gerakan emansipasi perempuan. Karena dalam pemahaman Islam konservatif, perempuan adalah subordinan laki-laki.
Kondisi Malaysia
Pembicara kedua adalah Rebecca Hegemann. Dalam presentasinya doktoran Ilmu Politik Universität Münster ini menyampaikan bahwa situasi representasi perempuan dalam politik Malaysia sedikit lebih baik daripada Indonesia. Kurang lebih 50% kader-kader politik di berbagai partai di Malaysia adalah perempuan. Namun sayangnya, lanjut Rebecca, dari jumlah ini masih sedikit sekali perempuan- perempuan yang duduk dalam jajaran pimpinan. Kebanyakan dari mereka masih menduduki pos-pos kurang strategis dalam piramida hirarki partai-partai politik Malaysia.
Lebih lanjut Rebecca menginformasikan representasi perempuan dalam politik berdasarkan data empiris struktur 3 partai politik di Malaysia. UMNO sebagai partai politik terbesar di Malaysia mempunyai jumlah kader perempuan sebanyak 50%. Dari 50% ini hanya satu orang yg berhasil menduduki posisi strategis di dalam partai, sisanya seperti yang telah disebutkan hanya menduduki posisi-posisi basis dalam hirarki partai tersebut. Kondisi perempuan diberitakan jauh lebih buruk dalam PAS. Partai berideologi Islam konservatif ini tidak mempunyai kandidat perempuan untuk duduk di kursi parlemen. Kondisi perempuan Malaysia terwakilkan dengan lebih baik dalam PKR, partai yang didirikan oleh mantan istri Anwar Ibrahim, Wan Azizah Wan Ismail. 8 perempuan duduk dalam kursi kepemimpinan partai tersebut.
Menarik untuk diikuti adalah kondisi politik malaysia yang tidak hanya mengangkat isu agama sebagai salah satu kategori yang bermain penting dalam representasi perempuan, tetapi kategori lain, seperti ras, yang ikut bermain penting dalam menentukan kondisi politik Malaysia.
Kondisi Pakistan
Sebagai pembicara terakhir adalah Andrea Fleschenberg dos Ramos Pinéu yang mengangkat tema representasi perempuan di Pakistan. Dalam presentasinya, dosen Universität Hildesheim ini memaparkan fakta bahwa perempuan di Pakistan terwakilkan dengan sangat baik di dunia politik. Hal ini didasarkan dengan banyaknya perempuan yang duduk di kursi legislatif negara Islam tersebut, sebanyak 232 perempuan, 71 (21,3%) di DPR, 18 (18%) di senat dan sisanya 141 di parlemen tingkat propinsi.
Hal ini bukan berarti tanpa masalah. Sebanyak 205 perempuan dari 232 datang ke parlemen melalui kursi yang telah disediakan khusus bagi kandidat perempuan. Ini berarti mereka duduk di parlemen bukan karena dipilih langsung oleh rakyat untuk mewakili dan menyalurkan aspirasi masyarakat yang telah memilih mereka, tetapi mendapat mandat langsung dari partai. Konsekuensinya mereka tidak bisa menyuarakan apa yang sebenarnya diinginkan oleh rakyat. Dengan kata lain mereka kehilangan otonomi sebagai anggota legislatif.
Banyaknya perempuan yang duduk di legislatif tidak serta merta menghapus ketidakadilan yang dialami oleh perempuan di kehidupan nyata. Pada pemilu terakhir di Pakistan yang baru saja dilakukan bulan Februari kemarin, mencatat ketidakadilan ketika perempuan dilarang untuk memilih dalam pemilu di berbagai wilayah di Pakistan. Selain itu, terbunuhnya calon perdana menteri dari Pakistan People’s Party, Benazir Bhutto, telah menimbulkan kepahitan perjuangan perempuan di lapangan. Dalam penutupnya, Andrea menekankan pentingnya wakil perempuan yang kritis dan mengetahui perjuangan perempuan.
Jaringan Perempuan
Sebelum seminar ditutup disepakati poin-poin penting yang diharapkan dapat membantu pertumbuhan gerakan emansipasi perempuan di ketiga negara tersebut. Miskinnya jaringan antar organisasi-organisasi perempuan antar negara dilihat sebagai salah satu aspek yang perlu diusahakan. Dewi Candraningrum, yang menjadi kurator Seri Kajian Negara dan Keseteraan Jender ini, menyatakan bahwa jaringan ini nantinya diharapkan dapat bekerja sama secara aktif untuk meningkatkan arus informasi yang memberdayakan bagi perjuangan keadilan jender, yang dapat menyokong keadilan bagi perempuan dan minoritas seksual dalam dunia politik. Sementara itu Alexander Horstmann, dosen Universität Münster, menambahkan pentingnya saling memberi penguatan dan pemberdayaan antar jaringan tersebut. Yulia Sugandi, doktoran yang sedang meneliti Papua, menekankan pentingnya pemahaman atas identitas kolektif suatu budaya tertentu untuk menunjang analisis ketidaksetaraan jender. Sementara itu Ahmad-Norma menambahkan pentingnya pemahaman keagamaan yang progresif sekaligus kritis yang pro kepentingan perempuan.
Berdasarkan contoh representasi perempuan di ketiga negara dengan mayoritas penduduk Muslim ini dapat diambil kesimpulan bahwa perempuan mendapat tempat yang berbeda-beda di tiap negara muslim. Genia Findeisen, pengajar di Universität Hamburg yang juga penulis buku Frauen in Indonesien: Geschlechtergerechtigkeit durch Demokratisierung? Eine Analyse des Demokratisierungsprozesses aus Frauenperspektive (2008), menambahkan bahwa situasi perempuan berbeda-beda di tiap negara. Patrick Ziegenhain, pengajar di Universität Trier, mengindikasikan bahwa teori yang komprehensif sangat diperlukan untuk menganalisa keadaan perempuan di tiap-tiap negara Muslim di dunia. Suatu implikasi bahwa Islam bukanlah kategori sosial yang homogen, demikian Ahmad-Norma Permata menutup diskusi sehari ini. (yp/isc/dc)