Konperensi „Autonomy for Papua – Opportunity or Illusion?”, 4-5 Juni 2003 di Berlin
05 Juni 2003
Pada tanggal 4 dan 5 Juni konperensi „Autonomy for Papua. Opportunity or Illusion?” dilangsungkan di Berlin. Acara merupakan hasil kerja sama antara Friedrich Ebert Foundation, Jaringan Papua Barat, Watch Indonesia!, German Commission for Justice and Peace, United Evangelical Mission, Tim HAM di Diakonisches Werk, Misereor, missio Aachen dan Missionszentrale der Franziskaner. Peserta konperensi adalah anggota masyarakat sipil (ornop, organisasi kegerejaan dan lembaga politik), kalangan akademis dan pejabat yang datang dari Indonesia, Jerman dan negara lainnya serta wakil KBRI untuk Jerman dan Belanda.
Fokus diskusi pada konperensi yang berlangsung selama dua hari ini adalah UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua. Peserta pada umumnya menyambut baik UU otsus sebagai salah satu alat untuk menyelesaikan konflik di Papua secara damai dan sebagai suatu langkah yang menuju pengakuan hak-hak rakyat Papua
Para pakar dari Indonesia, Jerman maupun negara lainnya sepakat bahwa untuk jangka panjang tidak ada alternatif lain selain otonomi yang menyeluruh demi mendukung pembangunan di bidang ekonomi dan sosial serta menjaga kelestarian budaya di Papua. Peserta konperensi berpendapat UU otsus dapat mendukung proses demokrasi dan pemenuhan hak asasi manusia. Status otonomi disarankan untuk dilihat sebagai ekspresi legitim keinginan rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri sesuai dengan hukum internasional hak asasi manusia.
Peserta konperensi menegaskan, cara penyelesaian masalah antara Papua dan Indonesia melalui otonomi mesti dilandasi sikap menghormati hak asasi manusia dan usaha berkelanjutan menentang impunitas.
Institution building adalah masalah penting berikutnya yang dalam penanganannya masih memerlukan peran aktif. Keseriusan pemerintah Indonesia dalam menerapkan UU otsus juga masih diragukan. Diskusi kontroversial berlangsung ketika membicarakan Inpres tentang Percepatan Pelaksanaan Undang-Undang No. 45/1999 mengenai pemekaran propinsi Papua menjadi 3 propinsi. Padahal di satu pihak ada yang menilai bahwa Inpres bersifat melengkapi UU No. 21/2001, pihak lainnya menolak Inpres tersebut dan menuntut supaya dicabut.Menurut pandangan peserta, rasa saling percaya dan saling mengerti sangat dibutuhkan. Proses dialog yang bersifat konstruktif antara Pemerintah Republik Indonesia dan wakil-wakil rakyat Papua dinilai sangat penting dan mendasar. Untuk menjalankan dialog demikian para peserta berpendapat sebuah platform tetap perlu diciptakan. Rakyat Papua disarankan untuk terus berusaha membangun sumber daya manusia diri sendiri dan memperkuat semangatnya. Pandangan “wait-and-see” (tunggu dan lihat) yang sering ditemukan pada orang dengan sumber daya lemah dinilai kontraproduktif dan mesti ditinggalkan. Otonomi adalah mekanisme yang hidup dan dinamis yang memerlukan keikutsertaan baik penduduk lokal maupun pemimpin-pemimpin politik.
Konperensi dinilai telah menghasilkan sebuah langkah penting yang perlu dilanjutkan di tahap berikutnya. Semua peserta menyambut baik peran masyarakat internasional dalam mendukung dialog konstruktif, proses pengembangan kepercayaan (confidence building) dan implementasi UU otonomi khusus untuk Papua. Kehadiran dan pernyataan anggota parlamen dan pembicara kementrian luar negri Jerman yang mendukung otonomi sebagai solusi damai bagi masalah di Papua karenanya mendapat sambutan yang baik.
Berlin, 5 Juni 2003