Mencari Dalang Jaringan Dresden
Forum Keadilan, Nomor 2, Tahun IV, 11 Mei 1995
Banyak lembaga swadaya masyarakat internasional mengaku bertanggungjawab atas demonstrasi anti Indonesia di Jerman. Bintang belum dianggap sebagai tersangka. Lantas, siapa orang Indonesia yang disangka sebagai dalang demo itu?
Zuhri Mahrus, Tony Hasyim, dan Sudarsono
Hannover Fair 1995 mestinya tempat yang menyenangkan dan membanggakan. Dalam pameran dagang itu, Indonesia merupakan negara Asia pertama yang menjadi mitra tuan rumah Jerman. Kejadian itu tepat pula saat Indonesia memasuki setengah abad kemerdekaannya.
Pameran akbar yang diikuti sekitar 60 negara itu juga menjadi ajang yang tepat untuk transaksi bisnis antar negara. Amnesti Internasional, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berpusat di London, juga melihat Hannover Fair sebagai ajang yang tepat — untuk mempermalukan Indonesia.
Sementara negara peserta Hannover Fair menampilkan produk industrinya, Amnesti Internasional menyajikan demonstrasi anti Indonesia. Selebaran berbagai acara, termasuk rencana demo, telah disebarkan di Jerman setidaknya sejak enam bulan lalu.
Bukan hanya Presiden Soeharto yang dikritik Amnesti Internasional. Pemimpin negara tuan rumah Jerman, Kanselir Helmut Kohl, pun mereka kritìk. Amnesti Internasional cabang Jerman, sebagai penanggung jawab demonstrasi di Hannover, mengkritik Helmut Kohl karena tak menyinggung soal hak asasi manusia (HAM) dalam pidatonya. „Itu kesempatan yang bagus untuk menunjukkan kepada politikus kami juga, bahwa ada topik lain yang penting selain bisnis,“ kata juru bicara Amnesti Internasional Jerman, Gunnar Tohne.
Di Hannover demonstrasi terjadi ketika pembukaan Hannover Fair, tanggal 1 April. Keesokan harinya, pengunjuk rasa juga „memeriahkan“ penandatanganan Golden Book oleh Presiden, di Balai Kota Hannover. Esoknya lagi, ketika Presiden meresmikan anjingan Indonesia, ada juga demonstrasi yang mengiringinya. Ketika rombongan Pak Harto mengunjungi Kota Dusseldorf, mereka pun ikut ke sana. Untuk rangkaian demonstrasi yang ini, Presiden Soeharto masih tenang dan tidak terpengaruh.
Namun, demonstrasi menjurus ke gangguan fisik dan cercaan saat Presiden mengunjungi Museum Zwinger di Dresden, pada tanggal 5 April. Mereka sempat melemparkan maki-makian dan mengganggu kendaraan rombongan Kepala Negara segala. Penghinaan terus berlanjut bahkan terhadap Bendera Merah Putih di depan Hotel Kempinski, Dresden, tempat Presiden menginap, yang diturunkan setengah tiang.
Tidak mengherankan jika seusai melawat ke Kazakhstan, Uzbekistan, dan Turkmenistan, Presiden Soeharto — atas pertanyaan wartawan yang mengikuti rombongan di pesawat DC-10 sebelum mendarat di Halim Perdanakusumah — mengeluarkan kecaman keras terhadap demonstrasi di Jerman itu. Pak Harto, sambil terus tersenyum, mensinyalir ada orang-orang dari dalam negeri yang memberikan voeding atau bahan. Orang-orang yang menjual bangsa itu, katanya, mesti diusut dan ditindak tegas.
Kasum ABRI, Letjen Soeyono, kemudian menyebut tiga nama seperti Sri Bintang Pamungkas, Goenawan Mohamad, danYeni Rosa Damayanti, sebagai orang yang disangka terlibat dalam aksi unjuk rasa di Jerman itu. KSAD Jenderal R. Hartono menyebut aksi itu „keterlaluan yang luar biasa“. Dan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung menambahkan, „Kalan ada orang Indonesia yang mendukung demonstrasi di Jerman, itu kurang ajar namanya.”
Tiga nama itu memang tak asing. Sri Bintang Pamungkas dikenal sebagai vokalis Senayan yang sedang menunggu putusan akhir recalling-nya dari keanggotaan DPR. Goenawan Mohamad, bekas Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, banyak memberikan wawancara mengenai pemecatan dirinya dari PWI, penangkapan wartawan, dan bredel. Sedangkan Yeni Rosa Damayanti, aktivis mahasiswa, baru keluar penjara karena kasus penghinaan Presiden dalam demo tahun lalu.
Dari tiga nama itu, baru Sri Bintang Pamungkas yang diperiksa polisi. Kabarnya, ada rekaman video yang menunjukkan keberadaan Bintang di sekitar demonstrasi di Hannover. Selain itu, ada „laporan polisi“ yang menceritakan kegiatan Bintang ketika di Jerman dan memang mengarahkan Bintang sebagai tersangka. „Dari laporan polisi itu jelas bahwa saya satu-satunya yang membagi-bagi stiker, memberikan aba yel-yel anti Pak Harto. Padahal, saya melihat demonstrasi itu tertib, tidak ada yel. Kayak patung,“ kata Bintang mengomentari hasil pemeriksaan polisi.
Bintang mendarat di Berlin 29 Maret dan langsung memberikan ceramah mengenai ekonomi dan industri di Universitas Hannover, 31 Maret. Tanggal 1 April, ia menonton demo yang diselenggarakan oleh Amnesti Internasional di depan Opera House. Pada tanggal 3-9 April, ia memberikan ceramah di Kota Dortmund, Koln, Achen, Frankfurt, dan Berlin.
Laporan yang dikirim oleh Konjen RI di Berlin ke Kedubes di Bonn, misalnya, tanggal 9 April Bintang berceramah di Technische Universitat Berlin. Ceramah yang diselenggarakan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) itu dihadiri pula oleh Perhimpunan Mahasiswa Muslim Eropa (PMME) dan ICMI. Pihak Konjen melaporkan, hadir pula beberapa aktivis anti Indonesia seperti Pipit R. Kartasasmita, Sunarto, dan Sugiman. Bahkan, demikian laporan Konjen itu, Bintang selama di Berlin tinggal di rumah Pipit. Dan Sunarto disebutnya ikut demo di Dresden. Kunjungannya di Jerman diakhiri dengan ceramah di Universitas Humboldt sebelum bertolak ke Amsterdam. Tanggal 11 April ia berceramah di depan masyarakat Indonesia-Belanda di Amsterdam. Tanggal 12 April kembali ke Jakarta.
Mungkin polisi mempunyai bukti lain untuk menjerat Bintang, dan juga mungkin Yeni. Mahasiswi Universitas Nasional Jakarta itu dilaporkan ikut berceramah mengenai kegiatan mahasiswa Indonesia di Berlin itu. Padahal, ia mengaku cuma sehari di Hannover dan kembali ke Amsterdam esok harinya (lihat: Mereka Hanya Mencari Kambing Hitam).
Soal ini agak pelik. Sudah banyak LSM luar negeri yang mengaku bertanggungjawab atas demonstrasi di Hannover. Yang jelas adalah Amnesti Interasional dari Bonn bersama Persatuan Buruh Jerman dari Gottingen, Watch Indonesia dari Berlin dan Heidelberg, organisasi anti penjualan senjata atau BUKO dari Bremen, Yayasan Informasi Asia Tenggara atau IMBAS dari Frankfurt, Jaringan Pasink, dan beberapa LSM lain yang menggelar demonstrasi dan rangkaian kegiatan ilmiah lainnya itu.
Awalnya, Amnesti Internasional yang menyusun agenda acara „menyambut” kedatangan Presiden Soeharto. Pamflet ajakan demonstrasi sudah disebar jauh-jauh hari sebelum pembukaan Hannover Fair tanggal 1 April. Mereka telah merencanakan memasang spanduk yang berisi kritik terhadap HAM di Indonesia sepanjang jalan yang akan dilalui Presiden. Menyediakan kain kosong sepanjang 300 meter di dekat pameran, sebagai tempat orang memberikan komentar tentang HAM di Indonesia.
Pada tanggal 1 April itu, para demonstran berangkat dari. 3 tempat yang berbeda-beda dengan satu tujuan: Hannover Fair. Setelah ini, di sana mereka mendengarkan pidato dari enam orang tokoh LSM. Isu yang diangkat antara lain soal Timor Timur, pembredelan pers, serikat buruh, kebebasan organisasi agama, tahanan politik, dan beberapa isu lain yang memang hangat di Indonesia.
Tampaknya, kelompok pendukung Amnesti Internasional bertambah dengan sendirinya. Demonstrasi kemudian menjadi tidak terkendali dan berjalan sendiri-sendiri, terutama di Dresden. Misalnya ada Renitil, salah satu organisasi perlawanan Timor Timur, yang mengirim surat pengakuan bertanggung jawab atas demonstrasi di Jerman kepada Menteri Luar Negeri Alatas. ”Di mana ada Presiden, di situ kami harus berdemo. Kami sudah mendapat skedul Presiden dari koran-koran di Jerman,” kata Dominggus “Zorro” Sarmento, pemimpin demonstran asal Timor Timur kepada FORUM.
Zorro menyatakan bahwa demonstran yang tidur di depan bus dan mengguncang-guncangnya adalah demonstran asal Jerman. Menurut Zorro, kelompok demonstran asal Timor Timur awalnya hanya enam orang yang bertolak dari Lisboa, Portugal. Di Jerman kemudian bertambah menjadi belasan orang. Sebagian besar di antaranya adalah „pelompat“ pagar Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta ketika konperensi APEC, November lalu. „Kami yang menyiapkan spanduk dalam bahasa Indonesia dan Inggris,“ kata Zorro, yang mengaku siap bertemu dengan penyidik untuk memberikan keterangan.
Aksi kelompok ini tidak ada koordinasi dengan Amnesti Internasional. Mereka malah mengajak Gereja Evangelis di Koln dan Bonn untuk mengangkat masalah organisasi agama (HKBP) di Sumatera Utara. Gereja Evangelis di tempat kejadian, Dresden, tentu tidak mengetahui aksi rekan-rekannya dari Koln dan Bonn. Presiden Organisasi Gereja Evangelis di Dresden, Husman, menyatakan mengetahui demo itu dari koran dan televisi. „Gereja kami memang tertarik dengan isu HAM, tapi cara kami berbicara bukan lewat demonstrasi,“ kata Husman, pemimpin Evangelican Lutheran Church Saxonia, kepada FORUM.
Pada saat yang sama, kelompok-kelompok „sempalan“ asal Indonesia seperti Gerakan Aceh Merdeka, Perlawanan Timor Timur, Republik Maluku Selatan, Papua Merdeka, tahanan politik, berada pada „satu barisan“. Sampai Ketua DPA Sudomo menyebutnya sebagai monster agreement, dengan tujuan mengerikan. Menurut bekas Panglima Kopkamtib itu, demonstrasi di Jerman pasti ada aktor intelektualnya. „Feeling saya dan, pengalaman saya menyatakan itu terencana,” kata Sudomo.
Masalahnya, bagaimana mengaitkan tiga orang yang dicurigai itu dengan aksi yang dianggap “mempermalukan Indonesia“ itu. Goenawan tak ada di Jerman — bahkan sudah di tanah air — ketika Pak Harto berkunjung ke sana. Yeni mengaku dating di Hannover atas undangan kelompok studi mahasiswa.Universitas Hannover untuk diskusi mengenai ekonomi Indonesia yang dibawakan oleh Bintang — ketika demo mulai digelar. Meski disebut-sebut akan diperiksa dengan sangkaan terlibat demonstrasi, Yeni tidak takut pulang ke tanah air. „Kalau mereka memeriksa dan mengadili saya, itu suatu sikap angkara murka,” katanya.
Lain halnya Goenawan. Kunjungannya ke Eropa selama sebulan, katanya, untuk jalan-jalan bersama istrinya memenuhi sejumlah undangan. Termasuk rapat Tuty Heraty dan Pia Alisjahbana di Paris, membicarakan rencana pameran seni rupa dunia muslim di Indonesia, November mendatang (lihat: Kita Termakan Syakwasangka). Pada awalnya, ia disebut-sebut terlibat. Belum mendapat giliran diperiksa seperti Bintang, tapi ia kurang menonjol lagi dalam berita keterlibatannya dalam demo di Jerman itu.
Dalam pembicaraan dengan mahasiswa Indonesia di luar negeri, atau wawancara dengan pers luar negeri itu, para tokoh itu bersuara seperti mereka berbicara di dalam negeri. Bukan hal yang baru kalau Bintang mengkritik soal kemiskinan, utang luar negeri, korupsi, demokrasi, dan seterusnya. Bintàng sama sekali tidak khawatir akan tuduhan “menjelek-jelekkan“ bangsa di luar ngeri. „Itu tidak saya lakukan di Jerman saja, di Indonesia juga saya lakukan,” katanya.
Isu yang menimpa anggota DPR yang hampir di-recall ini membuat partainya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), segera bereaksi. Ketua DPP PPP, K.H. Ismael Hasan Metareum, telah memohon maaf kepada Presiden. Salah satu Ketua DPP PPP, Aisyah Amini, pun menegaskan yang sama, „seandainya Bintang terlibat”.
Selain anggota DPR dari PPP, Bintang tercatat sebagai anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICM.I). Masalah yang menimpa Bintang tentu juga menjadi perhatian ICMI. Sebuah sumber menyatakan, dalam suatu rapat tanggal 18 April, yang. membahas masalah muktamar ICMI yang n dating juga dibahas kasus Sri Bintang danHannover Connections serta implikasinya pada citra ICMI. ”Bintang sendiri sportif, dia tidak akan membawa-bawa ICMI,“ kata-sumber tersebut
Rapatyang dihadiri banyak pengurus ICMI itu berakhir pukul 11 malam, beberapa jam sebelum rumah dan mobilnya dilempar batu oleh “pelempar gelap“. Anggota Dewan Pakar yang lain, M. Imaduddin Abdurrahim, membenarkan adanya rapat itu. Soal Bintang itu sebenarnya pada pertengahan April lalu sudah dibicarakan rapat bulanan dewan pakar, yang juga membahas rencana muktamar mendatang. “Kita menunggu hasil pemeriksaan polisi,” kata Imaduddin.
Sepak terjang Bintang selama ini memang terkesan tidak terikat lembaga mana pun. Ia sendiri tampaknya tidak mempersoalkan „jahatannya“ di DPR bakal lepas. Ia mengaku ingin membebaskan diri dari ikatan kelembagaan mana pun, apalagi sehubungan dengan kasus Hannover.
Toh Bintang punya analisis politik juga. Menurut dia, ada kelompok politik yang memanfaatkan situasi terakhir. „Saya ini sasaran antara, sasaran akhirnya Pak Harto,“ kata Bintang (lihat: Saya Ini Sasaran Antara).
Pihak penyidik harus bekerja keras untuk mengungkap dalang demonstrasi di Jerman, pelaku penghinaan terhadap Presiden. Persoalannya, siapa sebenarnya orang Indonesia yang diincar sebagai dalangnya. Apalagi Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie sendiri menganggapnya sebagai soal kecil. Ia lebih condong menyebut Amnesti Internasional sebagai dalang rangkaian demo itu. „Sudahlah, Amnesti Internasional itu kann cuma kerikil kecil. Ngapain kita mengurus yang kecil-kecil,“ katanya pada FORUM di Bandung 24 April lalu. „Nggak ada artinya itu.“
Amnesti Internasional yang disebut Habibie itu mempunyai sekitar 8.000 kelompok kerja di 70 negara, tapi tak mempunyai cabang di Indonesia. Lembaga ini rajin membuat laporan tentang HAM di Indonesia. Metodie yang dipakai adalah riset dengan menggunakan dua nara sumber independen untuk setiap kasus. “Masalahnya, pemerintah Indonesia tak perah membuktikan satu pun tuduhan yang kami lontarkan itu adalah salah,” kata Gunnar dari Amnesti Internasional Jerman.
Sementara itu, KSAD Jenderal R. Hartono tidak menganggapnya sebagai soal kecil. Kepada Republika KSAD mengingatkan jangan mengecilkan persoalan besar. “Kalau itu kecil dan biasa-biasa saja, tentu kita letakkan di belakang. Tapi kalau kita bicara soal kehormatan bangsa, apa kalian rela kasus itu dibiarkan saja?“
Pertanyaannya, siapa dalang yang dicari. Maksudnya bukan dalang biasa. Yang dicari adalah dalang unjuk rasa, dengan lakon yang sudah ada, yakni “menjual bangsa“. <>