Pemilihan Presiden RI Tahun 2004
Kompas, 07 Agustus 2002
Mulyana W Kusumah
PERUBAHAN UUD 1945 yang merupakan salah satu agenda reformasi telah dikokohkan dalam Ketetapan (Tap) MPR Nomor IV/ MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004 Bidang Politik, yakni menyempurnakan UUD 1945 sejalan perkembangan kebutuhan bangsa, dinamika, dan tuntutan reformasi, dengan tetap memelihara kesatuan dan persatuan bangsa, serta sesuai jiwa dan semangat Pembukaan UUD 1945.
Dengan begitu, baik lembaga-lembaga tinggi negara maupun kekuatan-kekuatan politik harus terikat pada ketentuan itu, dan proses perubahan UUD 1945 yang sampai Perubahan Ketiga sudah mencapai perubahan/penambahan atas 57 pasal, adalah sah sebagai pelaksanaan GBHN, sehingga agak janggal bila menjelang Sidang Tahunan (ST) MPR lalu masih dilakukan tawar-menawar politik untuk mengantisipasi kemungkinan deadlock dalam proses perubahan UUD 1945.
Meski demikian, kesepakatan-kesepakatan politik sebagai hasil lobi antara para petinggi partai politik besar guna memuluskan jalannya perumusan Perubahan Keempat UUD 1945 dalam ST MPR patut disambut gembira.
Kesepakatan politik penting yang sudah dicapai antara lain menyangkut masalah pemilihan presiden dan wapres (wapres) secara langsung dengan diterimanya Alternatif 2 Ayat 4 Pasal 6A Perubahan UUD 1945, yakni dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wapres.
Pilihan politik itu jelas beralasan bila mengacu pengalaman beberapa negara, di Amerika Latin, misalnya.
Di antara 18 negara Amerika Latin, menurut Pipit Kartawidjaja (2002), lima negara cukup mensyaratkan mayoritas sederhana dalam pemilihan presiden satu putaran, yakni Honduras, Meksiko, Panama, Paraguay, dan Venezuela; sementara empat negara lain menganut mayoritas bersyarat, seperti Argentina, Costa Rica, Ekuador, dan Nikaragua (minimal meraih 40-45 persen suara dengan beda minimal 10 persen dengan calon presiden saingannya).
Sebagian besar di antaranya, delapan negara menentukan pemilihan presiden dua putaran jika tidak tercapai mayoritas mutlak. Ini berlaku di Brazil, Chili, El Savador, Guatemala, Kolumbia, Peru, Uruguay, dan Republik Dominika.
Hanya satu negara yang mengembalikan otoritas ke parlemen, jika mayoritas mutlak tak dapat diraih, yakni Bolivia.
Di negara-negara Amerika Latin, perolehan suara calon presiden di tiap daerah pemilihan (provinsi) dihitung, lalu secara nasional dijumlahkan, sehingga seorang calon presiden meski kalah telak di satu atau lebih daerah pemilihan, mungkin menang secara nasional.
Pemilihan presiden dengan dua putaran dijalankan dengan tujuan pokok membangun dukungan luas bagi presiden, baik dari parlemen maupun rakyat, sehingga legitimasi politik lebih kokoh dan stabilitas pemerintahan lebih terjamin.
***
TENTU saja ada risiko politik dengan pemilihan presiden secara langsung dua putaran ini. Di Perancis tahun 1974, Francois Mitterand yang unggul di putaran pertama atas Valery Giscard d’Estaing, runtuh di putaran berikutnya. Kejadian sama terulang tahun 1981. Ketika Lionel Jospin di putaran pertama menang atas Jacques Chirac, tetapi di putaran kedua terjungkal.
Risiko politik lain adalah terjadinya polarisasi politik yang bersifat „ideologis“, personal, dan emosional, seperti terjadi pada pemilu putaran kedua di Brazil, tahun 1998. Demikian pula di Peru tahun 2000 antara dua kubu Fujimori melawan kubu Toledo.
Uraian Andrew Ellis, senior adviser NDI (2002) tentang Pemilihan Presiden putaran ke dua di bawah ini perlu dipertimbangkan.
Ellis menyatakan, pemilihan langsung putaran kedua untuk memilih salah satu di antara dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua kemungkinan dapat „membelah“ bangsa ke dalam dua kutub yang berseberangan, terutama bila pasangan calon dan para pendukungnya tidak mengindahkan aturan-aturan pemilihan di puncak persaingan dalam pemilu. Ini mungkin terjadi dalam masa kampanye yang panjang.
Menurut Ellis, selama masa antara menuju ke pemilihan putaran kedua, tetap diperlukan pelaksana negara yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Pemerintahan ini, yang kemungkinan besar akan dilaksanakan presiden dan wapres yang segera habis masa tugasnya, kemungkinan akan diberi wewenang untuk menjalankan urusan-urusan yang bersifat urgen dan tidak kontroversial dalam kapasitas sebagai pejabat sementara (care taker) di pemerintahan. Jangka waktu pemerintahan pelaksana negara itu akan terkait langsung dengan panjangnya waktu kampanye pemilihan langsung putaran kedua.
***
DALAM hubungannya dengan pemikiran-pemikiran yang dipaparkan itu, serta realisasi pemilihan presiden dan wapres secara langsung dalam Pemilu 2004 dapat dikemukakan beberapa usul.
Pertama, DPR diharapkan mengambil inisiatif menyusun rancangan pasal-pasal baru untuk diintegrasikan ke dalam RUU Pemilu yang mengatur khusus tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wapres secara langsung, mulai dari syarat-syarat calon presiden dan wapres (dengan mengacu pada Pasal 6 Perubahan Ketiga UUD 1945) sampai ke aturan-aturan lain guna menjabarkan lebih lanjut pasal 6A Perubahan Ketiga UUD 1945.
Kedua, karena masa jabatan presiden dan wapres berakhir 20 Oktober 2004 sesuai Tap MPR No VII/ MPR/ 1999, maka dalam pasal-pasal itu pada butir pertama, harus diperhitungkan jadwal pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD serta jadwal pemilihan presiden dan wapres putaran pertama dan kedua agar tidak melampaui batas waktu 20 Oktober 2004 yang dapat berakibat „kekosongan“ bahkan krisis pemerintahan.
Ketiga, RUU Pemilu yang memasukkan ke dalamnya pasal-pasal tentang tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wapres secara langsung, diharapkan dapat disahkan sebelum akhir tahun 2002 bersa-ma RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD serta DPRD, sehingga persiapan-persiapan penyelenggaraan pemilu oleh komisi pemilihan umum (KPU) mempunyai tenggang waktu memadai.
Pemilu Tahun 2004 jelas lebih memerlukan kesiapan politik dan institusional dibanding pemilu sebelumnya, karena menurut RUU Pemilu, kita akan memilih 550 anggota DPR, 124 anggota Dewan Perwakilan Daerah (dengan perhitungan masing-masing empat anggota DPD untuk 31 provinsi), belasan ribu anggota DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota, serta pemilihan presiden dan wapres. <>
Mulyana W Kusumah Dosen FISIP UI