Alokasi Kursi pada Pemilu, Pertaruhkan Nasib Parpol
hukum online.com, 16 Agustus 2003
Tidak banyak parpol yang tahu kalau nasib mereka pada pemilu kali ini tergantung teknis perhitungan besar daerah pemilihan dan alokasi kursi yang ada. Selama ini mereka hanya meributkan sistem yang dipakai, tanpa tahu kalau perhitungan suaralah yang lebih berperan.
Pemilu 2004 semakin dekat, partai-partai politik sudah bersiap-siap menghadapinya. Jumlah parpol yang lolos verifikasi pun semakin banyak. Sayang, hampir dapat dipastikan bahwa mereka pikirkan saat ini hanya cara bagaimana mendulang suara dan memperoleh kursi sebanyak-banyaknya di parlemen.
Bahwasa sistem pemilu sekarang berbeda dengan sistem yang dipakai pada pemilu 1999, sudah banyak yang tahu. Tetapi kalau ternyata sistem yang dipakai sekarang menimbulkan masalah besar pada daerah pemilihan dan alokasi kursi yang ada, tidak banyak yang peduli.
Untunglah, masalah itu mengemuka salam sebuah diskusi yang diselenggarakan ELSAM, Kamis (14/08). Diskusi itu sekaligus menandai terbitnya buku ‘Alokasi Kursi, Kadar Keterwakilan Penduduk dan Pemilih”, yang ditulis Ketua KIPP Eropa Pipit Rochijat Kartawidjaja.
Anggota KPU Mulyana W Kusumah mengakui bahwa hingga kini KPU belum menetapkan besar daerah pemilihan karena adanya berbagai hambatan. Pertama, UU Pemilu dibuat sangat longgar. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, alokasi kursi propinsi dihitung berdasarkan tingkat kepadatan penduduk, dengan kuota setiap kursi maksimal 425.000 untuk daerah yang padat dan daerah yang kurang padat sejumlah 325.000.
Kalau mengacu pada ketentuan ini, kemudian dihitung berdasarkan jumlah penduduk Indonesia, maka jumlah kursi DPR haruslah 577. Padahal berdasarkan pasal 47 UU ini, kursi DPR ditentukan secara limitatif sebanyak 550, lalu bagaimana dengan 27 kursi yang harus ada?
Kedua, ketentuan dalam UU ini juga menyebutkan kalau propinsi baru hasil pemekaran setelah pemilu tahun 1999 memperoleh alokasi sekurang-kurangnya tiga kursi. Hal ini bermasalah, ambil contoh akan ada propinsi baru yaitu Kepulauan Riau (Kepri) yang terpisah dari Propinsi Riau yang ada sekarang. Pada pemilu tahun 1999 Riau mendapat 10 kursi, apakah nantinya akan ditambah tiga kursi untuk Kepri sehingga jadi 13 kursi, atau 10 kursi tersebut dibagi antara kedua propinsi tersebut.
Pembagian kursi juga tidak bisa dilakukan sebab bertantangan dengan pasal yang lain, yang menyebutkan kalau jumlah kursi pada setiap propinsi dialokasikan tidak kurang dari jumlah kursi propinsi sesuai pada pemilu 1999.
Ketiga, adanya permintaan dari Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk menambah kursi DPR, dari 12 kursi pada pemilu 1999 menjadi 14 kursi sekarang ini. Permintaan mereka berdasarkan alasan kalau jumlah penduduk Aceh lebih besar dari perhitungan KPU, dan untuk mengikuti dinamika politik yang terjadi di sana.
Masalah-masalah di atas akan membawa konsekwensi, yaitu bertambahnya jumlah kursi DPR menjadi lebih dari 550 kursi. Itu berarti harus merevisi UU Pemilu Nomor 12 tahun 2003, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan lagi mengingat waktu pemilu 2004 semakin dekat.
Namun, menurut Mulayan, walaupun diliputi banyak masalah KPU tetap berusaha menjalankan tugasnya dengan baik berdasarkan prinsip-prinsip yang sudah lama berlaku, yaitu konsistensi, transparansi dan objektif.
(M-1)