Memperebutkan Jawa yang Letih
Republika, 07 Februari 2004
Laporan: MOH SAMSUL ARIFIN
Moh Samsul Arifin
Pemerhati Sosial PolitikSejumlah parpol besar mengaku bakal fight memperebutkan 303 kursi DPR (55 persen) yang tersedia di pulau Jawa. Enam provinsi di Jawa yang diincar partai-partai itu adalah DKI Jakarta yang menyediakan 21 kursi, Jawa Barat 90, Jawa Tengah 76, DI Yogyakarta 8, Jawa Timur 86, dan Banten 22 kursi.
Untuk mendulang suara di pulau ini, nyaris seluruh kontestan Pemilu 2004 menurunkan caleg-caleg nomor satunya, entah itu ketua umum parpol, jajaran pengurus pusat, figur kharismatis-populis, mantan aktivis mahasiswa, akademisi, cendekiawan, hingga artis. PDIP menargetkan rekor 50 persen suara di Jawa. Demikian pula Partai Golkar yang berjaya di Indonesia Timur (Iramasuka) dipemilu lalu menang di 18 provinsi tak akan melepas Jawa, khususnya Jawa Barat, Banten, dan Jawa Timur. Pemilu tahun ini, partai beringin menargetkan memeroleh kursi dari seluruh provinsi yang ada.
Persaingan di Jawa tahun ini dipastikan bakal kian panas sebab partai lain semacam PKS, PBR, PPIB, PPDK, atau PNBK juga menargetkan memeroleh suara signifikan di pulau terpadat ini. Pertanyaannya, mengapa Jawa selalu sentral untuk diperebutkan? Apakah pulau-pulau lain tidak penting? Lebih jauh, adakah ini berkorelasi dengan sejarah bangsa ini yang kelewat Jawa (Jawasentris)? Apakah peta politik geografis itu punya peluang untuk berubah atau setidaknya bergeser?
Menjadi sejarah
Jika kita menggeledah sejarah Republik, tak disangsikan lagi pulau Jawa adalah daerah yang istimewa dalam politik Indonesia. Kecuali sebagai pusat kekuasaan (pemerintahan) dan konsentrasi penduduk, jauh sebelum Republik terbentuk, pulau ini menjadi pusat perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Perlawanan yang digelorakan Pangeran Diponegoro (1825-1830) tercatat sebagai permulaan Perang Jawa yang nantinya menjadikan Belanda sebagai penguasa politik mutlak atas Jawa.
Di pulau inilah, dan Sumatera Barat, kolonialisme Belanda benar-benar menampakkan wajah hitamnya. Bukan kebetulan jikalau para pemimpin kita lahir dan besar di dua daerah ini; Jawa dan Sumatera Barat. HOS Tjokroaminoto, Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Sjafrudin Prawiranegara, sedikit contohnya.
Gubernur Jenderal VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) Jan Pieterszoon Coen yang berhasil merampas Maluku dari Portugis tahun 1605 menjadikan Banten (pelabuhan utara Jawa) sebagai markas besarnya. Tahun 1609, markas perusahaan multinasional pertama di dunia itu lalu dipindahkan ke Batavia (Jakarta) oleh JP Coen. Tokoh ini tercatat sebagai orang bertangan besi.
Kesewenang-wenangannya memakan korban sedikitnya 15 ribu jiwa. Kongsi dagang bermodal awal 6,5 juta gulden ini, dalam sejarahnya diberi mandat kekuasaan yang luar biasa besar: wewenang mewakili pemerintah Belanda untuk membuat perserikatan dan perjanjian dengan suatu pemerintahan (diplomatik), menduduki suatu lokasi, membangun pemukiman dan pusat perdagangan, mengangkat gubernur dan pegawainya, serta membentuk militer sendiri. Hak monopoli dan pemerintahan ini berlangsung dua abad hingga akhirnya pingsan sekira paruh kedua abad ke-18. VOC meninggalkan tumpukan utang senilai tiga belas juta gulden (Negara-negara di Nusantara, 2001).
JP Coen berjasa besar membuka Batavia, yang lalu menjadi pusat pemerintahan Republik dan megapolitan yang kini dihuni 7,5 juta jiwa. Semasa revolusi 1945-1959, pusat pemerintahan Republik berpindah-pindah, dari Jakarta, Yogyakarta, dan Bukittingi. Dekade 1960-an ke atas, Jakarta memantapkan diri sebagai ibukota Republik, sekaligus pusat segala hal yang disebut politik di Tanah Air. Dari Jakarta, perlawanan-perlawanan daerah diselesaikan. Kekuasaan politik pun terkonsentrasi dan terpusat pada satu tangan yakni presiden (Sukarno dan Soeharto).
Semasa Orde Baru, fanatisme ke-Jawa-an bahkan telah diadaptasi Soeharto untuk berkuasa dan memerintah wilayah bekas jajahan Belanda (Sabang-Merauke). Oleh karena itu, banyak pihak memandang selama 32 tahun kekuasaannya, Soeharto lebih tampak sebagai sosok Raja Mataram ketimbang presiden Republik. Apabila Sultan Agung dari Mataram (1613-1645) gagal merontokkan kekuatan VOC di Batavia, maka tiga abad sesudahnya (1967) Soeharto berkuasa di daerah yang ditinggalkan kongsi dagang Belanda tersebut.
Dengan cuplikan historis di atas, saya ingin katakan bahwa Pulau Jawa memang strategis dan vital. Oleh karena itu, sangat beralasan apabila partai politik di Tanah Air menempatkan Jawa sebagai sentral dan target untuk menangguk perolehan politik yangoptimal setiap kali diadakan pemilihan umum. Menurut Kevin R Evans (2003), di tahun 1955, Jawa merupakan kantong nasionalis(PNI), komunis (PKI), dan Islam tradisionalis (Partai Nahdlatul Ulama). PNI dan PKI memperoleh hampir 50 persen suara di pulau ini.
Di luar Jawa perolehan suara untuk kedua partai ini di bawah 20 persen dari total suara. Sumatera mengatrol Masyumi ke peringkat kedua Pemilu 1955. Partai Kristen dan Katolik dalam pesta demokrasi pertama di Republik itu juga menambang suara dari luar Jawa, terutama Indonesia Timur (Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya).
Pada Pemilu 1999 lalu, partai berbasis nasionalis (PDIP) mengungguli kubu partai Islam di Jawa. Partai Golkar tak disangka-sangka nomor wahid dengan berjaya di 18 provinsi, kebanyakan di Indonesia Timur. Sementara, partai berbasis Islam secara partikular menguasai Jawa Timur (PKB). PBB, meski kalah dari Partai Golkar (nasionalis-sekuler), termasuk mendulang suara di SumateraBarat (konsentrasi eks Masyumi). Partai berbasis Nasrani terkonsentrasi di wilayah luar Jawa yakni Nias, Sulawesi, Sumba,Maluku, dan Papua.
Dalam hemat saya, kecuali jumlah kursi, konsentrasi sejumlah parpol di Jawa juga terkait dengan karakter pemilih yang tak kunjung rasional. Serangkaian polling menunjukkan dalam pemilu tahun ini rakyat cenderung memilih parpol berdasarkan kesamaan ideologi, faktor ketokohan (kharisma), atau hubungan kultural. Kendati pun kinerja parpol buruk, ingkar janji, serta tak memperhatikan kepentingan rakyat, publik kurang bergairah untuk mengoreksi parpol yang pernah dipilihnya. Massa nasionalis akan kembali mencoblos parpol nasionalis, warga Muslim bakal mencoblos parpol tertentu berdasarkan ideologi dan afiliasi kultural mereka.
Ditambah tren parpol yang enggan melakukan pendidikan politik, massa pemilih pun tak beranjak matang dalam menentukan pilihan politik mereka.
Bagi parpol yang memiliki kantong suara (massa) tradisional, misalnya, program tidak begitu penting. Toh ikatan ideologis dan kultural sudah cukup untuk membuat massa pemilih berafiliasi dan mencoblos parpol itu. Massa pemilih di Jawa, seperti pulau lain, diakui menyalurkan hak politiknya atas dasar itu semua.
Keniscayaan penggeseran
Adalah betul mayoritas kursi diperebutkan di Jawa Tapi, berhubung setiap parpol selalu menargetkan Pulau Jawa sebagai ladang emas mereka, tak pelak lagi persaingan merebut kursi di pulau ini sudah demikian jenuh. Saya kira Jawa mengalami keletihan yang sangat. Sebab, ruang politik yang tersedia di pulau ini sudah demikian sempit. Mengalihkan perhatian ke pulau lain adalah keniscayaan untuk menangguk perolehan politik yang lebih besar. Ingat masih ada sekira 247 kursi yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
Peluang pergeseran (keluar Jawa) bisa dibuka, setidaknya dengan dua syarat. Pertama, orientasi parpol ke depan bukan sekadar ideologis atau hubungan kultural, tapi berbasis program yang menarik minat publik di seantero negeri. Kedua, partai lokal diberi kesempatan untuk eksis. Dua hal ini akan bersinergi, sebab partai lokal pasti bersendikan program untuk menarik warga lokal. Mereka menyusun program sesuai daerah basis dan kepentingan aktual warga setempat. Sebaliknya, jikalau partai lokal tidak dimungkinkan, pulau Jawa tidak bisa tidak akan selalu menjadi sentral.
Dalam jangka pendek, perlu disadari sebetulnya sindrom selalu Jawa (Jawa sentris) tak berguna lagi untuk menangguk perolehan politik yang optimal.
Secara teknis, memperoleh satu kursi di Jawa jauh lebih susah ketimbang satu kursi di Papua. Dalam Pemilu 1999 terbukti PKB yang berjaya di Jawa Timur dengan total suara 13.336.963 hanya mendapat 51 kursi di DPR. Sebaliknya, PPP yang perolehan suaranya tersebar di luar Jawa, dengan total suara 11.330.387 memperoleh 58 kursi.
Menurut Pipit Rochijat Kartawidjaja (2003), satu kursi di Papua senilai dengan sekira 193.315,54 suara. Bandingkan dengan harga kursi di Banten atau DKI Jakarta. Di daerah berpenduduk padat tersebut satu kursi DPR senilai dengan 424.929,16 dan 420.705,11. Satu kursi di Banten berharga 2,2 kali satu kursi di Papua.
Soal yang satu ini, harus pula diperhatikan parpol, termasuk partai baru. Pengalaman Pemilu 1999, kejelian Golkar melihat soal alokasi kursi dan keterwakilan penduduk dan pemilih, mengantar mereka meraih posisi runner-up.
Di Jawa yang harga kursinya mahal, seluruh parpol di pemilu pertama reformasi itu saling berebut dengan sengit. Wilayah luar Jawa yang relatif kosong itu lalu dioptimalkan partai beringin untuk menangguk suara. <>