Meneropong Indonesia
Tempo Interaktif, 23 Juli 2006
Heri Susanto
Bertempat di lantai dasar sebuah apartemen kuno di Planufer Strasse, Berlin, kami bertujuh menonton sebuah film asal Timor Leste melalui laptop pada Kamis pekan lalu. Film itu berkisah mengenai kesaksian rakyat Timor Leste atas anarki yang terjadi seusai referendum di negeri tersebut. Konon pemerintah Indonesia melarang film ini diputar di Tanah Air.
Menonton film dengan ditemani kacang dan makanan kecil lainnya adalah salah satu kegiatan Watch Indonesia, sebuah lembaga swadaya masyarakat Jerman yang berfokus memantau Indonesia. Kegiatan lainnya, berdiskusi, meneliti dan turun ke lapangan, mempublikasikan perkembangan terbaru di Indonesia, serta melobi pemerintah dan parlemen Jerman, juga Uni Eropa, terkait hubungan dengan Indonesia.
„Kami aktif melobi pemerintah dan parlemen Jerman agar pinjaman untuk Indonesia selalu dikaitkan dengan proses demokratisasi, hak asasi manusia, dan lingkungan,“ ujar Marianne Klute, aktivis Watch Indonesia, kepada Tempo. Pihaknya juga aktif menjalin kerja sama dengan LSM internasional dan LSM Indonesia.
Lembaga ini dibentuk pada awal 1991 oleh sejumlah mahasiswa dan aktivis dari Jerman, Portugis, dan Indonesia ketika terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus Santa Cruz, Dili. Beberapa pendirinya antara lain Monika Schlicher dan Alex Flor dari Jerman.
Sampai sekarang, keduanya tetap mengelola LSM ini bersama Klute dan Petra Stockmann. Pipit R. Kartawijaya, mantan aktivis mahasiswa dan pernah dicekal pada masa Orde Baru, adalah salah satu anggota Watch Indonesia. Lembaga ini memiliki lebih dari 50 anggota, baik warga negara Jerman maupun Indonesia.
Pada awalnya Watch Indonesia secara khusus dibentuk untuk memantau pelanggaran rezim Orde Baru di Timor Timur. Namun, sekarang bukan lagi sekadar memantau kasus pelanggaran HAM di sana. Mereka juga memantau segala perkembangan Indonesia, khususnya terkait dengan isu lingkungan, demokratisasi, hukum, dan HAM.
„Perkembangan di Indonesia amat penting untuk dipantau,“ ujar Klute.
Dia mengaku peduli memantau Indonesia bukan hanya karena negara ini memiliki jumlah penduduk besar di Asia, „Tapi karena letak Indonesia amat strategis, pernah dipimpin diktator besar, masih dalam proses transisi demokrasi, serta memiliki hutan dan kekayaan alam melimpah.“
Klute juga mencatat Indonesia amat berarti bagi Eropa karena banyak kekayaan alam negeri ini yang diekspor ke negara-negara Eropa atau dunia. Bila kekayaan itu terus-menerus dikuras untuk memenuhi konsumsi negara-negara Eropa, akan membahayakan kondisi lingkungan Indonesia serta memicu terjadinya konflik.
Dia memberi contoh banyaknya kasus pelanggaran HAM atau konflik di sejumlah wilayah Indonesia sering terkait dengan kekayaan alam di wilayah tersebut. Contohnya di Aceh, Papua, dan Riau. „Karena itu, selain Indonesia, negara-negara Eropa sebagai konsumen juga perlu diingatkan,“ Klute menegaskan. <>