Pengantar untuk buku Kerstin Beise, “Apakah Soekarno Terlibat peristiwa G30S?”, Yogyakarta, Ombak, bakal terbit Agustus 2004, 530 halaman
Wahana News, 18 Agustus 2004
SEORANG PRESIDEN DALAM PERALIHAN ZAMAN1
Oleh Asvi Warman Adam2
Peristiwa G30S/1965 mungkin hanya secercah riak di lautan sejarah dunia dari masa ke masa. Tetapi bagi bangsa Indonesia, peristiwa ini menjadi watershed, pembatas antara rezim lama dengan rezim baru. Menandai perubahan besar dan drastis dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Yang perlu dicatat pula bahwa perubahan itu terjadi sekaligus. Dari waktu ke waktu dalam perjalanan sejarah bangsa ini memang telah berlangsung perubahan, namun setelah Indonesia merdeka, revolusi total secara serempak itu hanya terjadi pada tahun 1965. Dengan seketika, pada bidang politik luar negeri, Indonesia yang menjadi ujung tombak gerakan non-blok berubah jadi anak manis blok Barat. Ekonomi berdikari berubah jadi ekonomi pasar dan mengandalkan modal asing serta pinjaman luar negeri. Masyarakat yang dulu terbagi dalam kubu-kubu ideologis tiba-tiba menjadi anti politik dan berebut mencicipi kue pembangunan. Kedudukan militer dalam kancah politik nasional disahkan dan dilanggengkan. Sastra dan seni yang bersifat heroik dan merakyat berganti dengan budaya pop yang cengeng.
Pengantar ini tidak memberikan penilaian tentang kedua masa itu, misalnya apakah masa Orde Baru lebih buruk atau lebih baik daripada masa Orde Lama. Kecuali ingin menegaskan perubahan sangat besar telah terjadi. Perubahan yang signifikan itu tidak tercatat secara utuh dalam sejarah Indonesia yang dikonsumsi oleh publik. Di samping itu tersisa pula sekian banyak misteri dan kontroversi sejarah yang di antaranya menyangkut proklamator Soekarno.
Soekarno dijatuhkan dan diganti oleh Soeharto. Tetapi peralihan kekuasaan ini penuh intrik dan berlumuran darah. Setengah juta orang menjadi korban menjelang pergantian tahun 1965/1966. Kejatuhan Presiden Soekarno dibakukan dalam sebuah TAP MPRS XXXIII/1967 yang bermasalah. Mungkinkah seorang Presiden yang sedang berkuasa membantu pemberontak yang akan menggulingkan dirinya ? Amat lain bila halnya seandainya putsch itu hanya menghadapkan para Jenderal yang dicurigai akan melawan Presiden dan kemudian terserah Presiden untuk mengambil tindakan terhadap mereka seperti pemecatan dst.
TAP MPRS no XXXIII/1967 menyebutkan bahwa “ada petundjuk-petundjuk, jang Presiden Soekarno telah melakukan kebidjakan jang setjara tidak langsung menguntungkan G30S/PKI”.3 Di dalam buku Soerojo4 , keterangan di atas ditambah dengan “dan melindungi tokoh2 G30S PKI”. Padahal dalam alinea sebelumnya disebutkan bahwa G3OS PKI itu “pemberontakan kontra revolusi”. Jadi Soekarno selaku Presiden yang sah ketika itu telah mengambil kebijakan yang menguntungkan kaum pemberontak yang ingin merebut kekuasaan darinya.Menjelang peringatan 100 tahun kelahiran Soekarno tahun 2001 telah muncul tuntutan agar nama baik BK (Bung Karno) direhabilitasi seperti dilakukan Partono Karnen.5 Tuntutan itu kemudian digulirkan beberapa kalangan termasuk beberapa tim advokasi korban 65. Akhirnya pada bulan Juni 2003, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan mengirimkan surat kepada Presiden agar usul rehabilitasi itu ditindaklanjuti. Sebagaimana diatur dalam UUD 1945, pemberian amnesti merupakan hak prerogatif Presiden yang dapat diberikan setelah mendengarkan pertimbangan dari Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung telah memberikan pertimbangan. Kenapa Presiden Megawati Soekarnoputri belum mengabulkannya ? Padahal rehabilitasi ini juga diamanatkan oleh MPR mengenai pemulihan nama baik Soekarno dan tokoh nasional lainnya.
Sumber Yang Beragam
Peristiwa 65 tak ubahnya segumpalan benang kusut yang salah satu simpulnya dicoba diuraikan oleh Kerstin dengan serius. Ia berupaya mengumpulkan bahan yang ada (sebanyak 22 buku/makalah/laporan yang terbit dari tahun 1965 sampai dengan 2001) yang menyinggung keterlibatan atau ketidakterlibatan BK dalam kudeta itu. Penelitian itu diwujudkan dalam bentuk skripsi setebal 267 halaman pada jurusan sejarah Universitas Hasanuddin Makasar tahun 2002. Skripsi ini menyelidiki sejauh mana BK mengetahui, mengikuti atau merencanakan gerakan itu.
Penulisnya mengusahakan agar setiap versi tentang dalang G30S terwakili, baik berupa tulisan (mewakili pandangan pemerintah atau swasta/pribadi) yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Bentuk tulisan itu sangat beragam dari laporan ilmuwan seperti Cornel Paper, disertasi Antonie Dake, buku putih Sekretariat Negara, sampai kepada karya penulis novel Arswendo Atmowiloto.
Menurut Kerstin terdapat beberapa teori tentang dalang G30S yaitu 1) PKI, 2) Perwira Progresif, 3) AD dan Soeharto, 4) CIA, 5) Chaos atau dalangnya tidak tunggal, dan 6) Soekarno. Tidak jelas mengapa penggolongannya seperti ini. Kenapa AD digabungkan dengan Soeharto ? Kalau BK menjadi kategori tersendiri kenapa Soeharto tidak diperlakukan sama. Bahkan belakangan ini “kudeta merangkak” Soeharto semakin sering disebut. Di samping itu, bagian dari AD seperti Kodam Diponegoro sebetulnya bisa juga dianggap sebagai kategori sendiri. Demikian pula unsur luar negeri, bukan hanya CIA tetapi dinas rahasia Inggris pun disebut-sebut ambil andil dalam penghancuran komunis.
Pada bagian belakang laporan ini Kerstin menilai masing-masing karya itu. Hanya empat buku yang dianggapnya obyektif, Ben Anderson6 (AS), Harold Crouch7 (Australia), John Legge8 (Australia), Horst Landmann9 (Jerman) dan tim ISAI10. Sayang tidak dijelaskan bagaimana proses Kerstin sampai kepada kesimpulan semacam ini. Namun terlepas dari itu, kalau bertolak dari penilaian di atas seyogianya Kerstin mendasarkan kesimpulannya berdasarkan bahan-bahan yang dianggapnya obyektif itu. Sebaliknya menggabungkan sumber-sumber yang subyektif itu sebagai tudingan (atau fitnah) terhadap Bung Karno.
Penilaian terhadap BK
Ada fakta-fakta yang sudah tidak dipersoalkan lagi seperti penculikan jenderal dan kehadiran Presiden Soekarno di Halim pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965. Fakta-fakta yang diperiksa lebih mendalam oleh Kerstin menyangkut masa sebelum, pada hari dan setelah kudeta. Mengenai periode sebelum kudeta diuraikan tentang 1) hubungan Soekarno dengan PKI, 2) hubungan Soekarno dengan AD, 3) Isu-isu yang beredar (dokumen Gilchrist, Dewan Jenderal dan kesehatan BK, 4) Kegiatan Soekarno menjelang kudeta.
Menyangkut kejadian selama kudeta, dibahas 1) Kegiatan Soekarno sebelum tiba di Halim, 2) Kronologi kejadian di Halim 1 Oktober 1965, 3) Laporan Soepardjo dan reaksi Soekarno, 4) Soekarno di mata kelompok Untung, 5) Pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan di Halim, 6) Pengangkatan Pranoto, 7) Keberangkatan dari Halim.Kemudian uraian dilanjutkan dengan menganalisis 1) Sikap Soekarno setelah kudeta, 2) Persepsi orang lain terhadap Soekarno dan 3 Tingkat Keterlibatan Soekarno.
Berdasarkan perbandingan 22 sumber mengenai topik-topik di atas, Kerstin mengakui bahwa “gambar mengenai peran Bung Karno menjadi semakin kabur”. Bahkan ia mengakui bahwa buku Legge menyimpulkan hal yang paling obyektif yaitu “peran Soekarno tidak jelas”.
Namun Kerstin masih memiliki sedikit kecurigaan dengan kehadiran dan sikap Soekarno selama di Halim. Oleh sebab itu ia menulis “Keterlibatan BK tidak dapat dibuktikan, tetapi ketidakterlibatan (secara penuh) juga tidak dapat dibayangkan”. Lepas dari itu, penulis asal Jerman ini mengakui bahwa tidak satu pun dari 22 penulis buku/makalah/laporan yang ditelitinya yang menganggap Soekarno seorang komunis. Bahkan tidak ada yang menganggap BK sebagai dalang peristiwa itu kecuali Dake dan Hughes.Setelah tidak berhasil secara historis membuat kesimpulan mengenai keterlibatan BK, Kerstin malah melompat kepada persoalan moralitas. “Tingkah laku BK setelah kudeta tidak membuktikan keterlibatannya atau ketidakterlibatannya dalam kudeta melainkan memperlihatkan sikap penguasa yang tidak bertanggungjawab” . “BK tidak tegas menghindari dan mengakhiri gerakan ini”. Meskipun “BK tidak terlibat secara mendalam namun dinilai bersikap oportunis”.
Kerstin mempersoalkan kenapa “BK sehari penuh berada di markas besar kelompok Untung”. Kerstin tampaknya kurang mengerti alasan BK ke Halim. “Pada saat di Halim BK tidak secara langsung dan dengan tegas memisahkan diri dari sebuah kelompok yang ternyata baru membunuh sejumlah orang. Apapun alasan BK tidak mengutamakan moralitas tinggi melainkan bertindak taktis. Mungkin ia berniat baik, tetapi tujuan baik mana yang membenarkan kerjasama dengan pembunuh ?”.
Pada malam hari tanggal 30 September 1965 Bung Karno tidak tahu secara persis tindakan yang diambil prajurit Cakrabirawa terhadap beberapa Jenderal. Ia juga baru tahu tentang “adanya darah di rumah Yani” setelah mendengar laporan dari Soepardjo pagi hari itu. Soekarno langsung memerintahkan agar gerakan itu dihentikan. Soekarno masih berada di Halim karena ia harus memutuskan tentang pergantian pimpinan AD yang menjadi lowong dengan hilangnya para Jenderal itu. Sayang sekali, Kerstin tidak sempat membaca buku kumpulan pidato Soekarno tahun 1965-1967 yang terbit tahun 200311. Padahal melalui pidato itu dapat diketahui lebih banyak tentang sikap Soekarno mengenai peristiwa tersebut serta apa yang terjadi setelahnya.
Minus kritik sumber
Patut dihargai upaya yang telah dilakukan Kerstin untuk mengumpulkan dan membandingkan bahan-bahan yang dimiliki dilakukan secara terperinci. Namun sayangnya ia memperlakukan semua bahan itu sama atau setara. Dengan kata lain, ia telah memperlakukan bahannya sebagai teks yang sederajat. Ini tidak menjadi persoalan bila sang penulis melakukan kajian linguistik. Padahal di dalam sejarah dikenal kritik sumber. Ada sumber yang validitasnya tinggi dan ada yang rendah. Memang dalam skripsi ini Kerstin mengungkapkan secara sekilas tentang penulis yang bahannya digunakan, tetapi itu kurang memadai.
Buku Antonie Dake misalnya menurut saya paling lemah. Antonie Dake menulis disertasi di Universitas Free Berlin. Wartawan Belanda ini menulis dalam bahasa Inggris di Universitas Jerman. Dake sendiri berteman dengan Guy Parker yang bekerja di Rand Corporation, California, AS, sebuah lembaga yang dikenal dekat militer AS. Kesimpulan Dake dibuat berdasar laporan ajudan BK Widjanarko. Widjanarko sendiri mengakui bahwa ia di dalam interogasi tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan sesuatu peristiwa kecuali harus menjawab ya atau tidak, sesuai keinginan interogator.
Anehnya setelah berpuluh tahun berkecimpung di dunia non akademis, Dake masih bersedia menerbitkan ulang bukunya. Buku Dake itu diterbitkan pertama kali oleh Mouton The Hague tahun 1973 dan dicetak ulang (cetakan kedua) tahun 2002 — masih dipertahankan dalam edisi Inggris — oleh penerbit Aksara Karunia Jakarta yang dipimpin oleh Aristides Katoppo. Dalam cetakan ulang, Dake masih tetap kepada kesimpulan semula, kecuali menambahkan bagian-bagian dari laporan Widjanarko. Dake menutup bagian ini dengan mengatakan “Nothing is more permanent than the provisional”. Ia menganggap bahwa karyanya itu pendapat sementara.
Penutup
Menurut Kerstin ia menemukan buku Soegiarso Soerojo setelah penelitiannya hampir selesai sehingga ia tidak sempat sepenuhnya memasukkan ke dalam bagian analisis. Namun sesungguhnya buku itu sangat kontroversial. Soegiarso Soerojo adalah pemimpin redaksi majalah wanita Sarinah. Ketika Harmoko menjadi Menteri Penerangan, ia dapat penghargaan PWI Pusat “Satya Penegak Pers Pancasila yang berjasa dalam melawan G30S/PKI” bulan September tahun 1988. Tetapi siapa Soerojo yang sebetulnya ?
Buku Mangil12 yang menjelaskan tentang rute yang ditempuh Soekarno pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi hari sebelum akhirnya sampai ke Halim, tidak dibaca oleh Kerstin meskipun buku itu terbit tahun 1999. Selain itu masih terdapat kekurangan dalam menjelaskan latar belakang (dalam buku ini bab II) situasi politik dan Negara menjelang kudeta. Yang digambarkan hanya tentang politik dalam negeri. Tidak disinggung sama sekali tentang suasana perang dingin, padahal ini penting untuk menjelaskan teori tentang keterlibatan CIA (juga dinas rahasia Inggris dan Australia) dalam penghancuran PKI.
Terlepas dari kelemahan di atas, buku Kerstin Beise ini patut dipuji dalam hal kelengkapan data dan penyajian yang rinci tentang topik-topik yang menyangkut keterlibatan Soekarno dalam peristiwa G30S. Sebagai sebuah skripsi mutunya melebihi tesis bahkan bisa disetarakan dengan sebagian disertasi doktor ilmu humaniora di Indonesia. Laporan yang ditulis oleh sebuah tim resmi mengenai peristiwa 1965 mungkin saja tidak sebagus karya Kerstin Beise.
Pembaca Indonesia sangat beruntung dengan karya seorang Jerman yang meneliti dan menulis karya akademis di sebuah universitas di tanah air. Kita mengharapkan munculnya lebih banyak lagi buku atau tulisan mengenai tahun 1965. Tentang suatu masa yang digelapkan oleh rezim Orde Baru. ****
1 Kata pengantar untuk buku Kerstin Beise, Apakah Presiden Soekarno Terlibat G30S ?, Yogyakarta: Ombak.
2 Peneliti LIPI. Lulus doktor sejarah dari EHESS, Paris, 1990. Penulis buku Pelurusan Sejarah Indonesia (Tride, 2004) dan Soeharto: Sisi Gelap Sejarah Indonesi” (Ombak, 2004).
3 Alex Dinuth (ed), Dokumen Terpilih Sekitar G30S/PKI, Jakarta: Intermasa.
4 Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai: G30S-PKI dan Peran Bung Karno, 1988 (cetakan pertama bulan Mei, cetakan kedua bulan September dan cetakan ketiga bulan November), diterbitkan oleh penulisnya sendiri dan dicetak pada Intermasa, Jakarta. Yang menimbulkan tanda tanya kenapa isi TAP MPRS XXXIII/1967 itu berbeda pada buku Soerojo dengan buku Dinuth.
5 Partono Karnen, “Republik Wajib Rehabilitasi Bung Karno dan Ajaran-Ajarannya” dalam Joesoef Isak (ed) 100 Tahun Bung Karno, Jakarta: Hasta Mitra, 2001.
6 Benedict R.Anderson, Ruth T. Mc.Vey, Frederick P Bunnel, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia, Modern Indonesia Project, Ithaca, New York: Southeast Asia Program, Cornell University, 1971.
7 Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia, Ithaca/London: Cornell University Press, 1978
8 John D.Legge, Soekarno—Sebuah Biografi Politik, Jakarta: Sinar Harapan, 1996 (terjemahan cetakan ketiga)
9 Horst Landmann, “Das Ende des Soekarno-Ara”, Internationales Asienforum, vol 18, no 1/2 ,1987
10 Tim Institut Studi Arus Informasi, Bayang-Bayang PKI, Jakarta: ISAI, 1995.
11 Budi Setiyono dan Bonnie Triyana (ed), Revolusi Belum Selesai, Kumpulan Pidato Presiden Soekarno, 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara, Semarang: Mesiass, 2003 (dua jilid)
12 Julius Pour (ed), Mangil Martowidjojo: Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967, Jakarta: Grasindo, 1999.