Pulang Kampung Usai Kuliah? Siapa Takut
Kabar Indonesia, 14 April 2007
DETAILS BERITA PENDIDIKAN
Oleh : Redaksi-kabarindonesia
KabarIndonesia – La Ode Mutakhir, mahasiswa Universitas Hannover sedang bingung. Tahun ini ia akan menamatkan pendidikannya untuk bidang studi Bio Medical Engineering, suatu disiplin ilmu gabungan antara teknik dan kedokteran. Ia ingin kembali ke tanah air, namun sayangnya ia tidak dapat menemukan pekerjaan yang sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuninya. Sementara untuk membuat riset sendiri, butuh biaya yang tidak sedikit. Padahal dari proposal kerjanya, anak muda asal Sulawesi Tenggara ini menyatakan dapat membuat berbagai produk mesin kedokteran, seperti misalnya alat pencuci darah yang harganya relatif terjangkau.
“Ingin pulang tapi saya masih bingung, di sana kita tak punya badan yang meneliti di bidang ini. BPPT juga belum punya bidang ini, LIPI juga. Dan perguruan tinggi-perguruan tinggi saya belum pernah dengar ada yang riset tentang ini. Saya berkeinginan pulang untuk mengembangkan ilmu yang saya peroleh, tapi butuh investasi yang besar. Saya orang biasa ynag tidak tahu bagaimana cari investasinya. Kita bisa bikin riset bersama. Dan kita bahkan bisa memproduksi barang-barang produksi kita sendiri sehingga gak perlu lagi mengimpor dari negara lain. “
Mahasiswa Indonesia yang pandai di Jerman tidak sedikit. Ada lagi Heru Susanto, yang juga tahun ini akan menyelesaikan studinya di Universitas Duisburg-Essen. Ia mempelajari teknologi membran untuk industri gula dan pengolahan air. Contohnya adalah cara membuat alat pengolah air bersih.
“Misalnya kita ke daerah kurang air, air untuk sanitasi aja kekurangan. Tapi dengan teknologi bisa diusahakan. Yang saya pelajari adalah salah satu kekurangannya mudah tersembat. Tapi saya mempelajari cara mengatasi penyumbatan tersebut.”
Dengan kecilnya kemungkinan memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bidang studi yang dipelajari, Heru memilih untuk menjadi peneliti. Sementara Dendy Adityawarman, yang merupakan calon doktor teknik kimia ini akan kembali ke almamaternya di Institut Teknologi Bandung ITB, kembali menjadi dosen di bidang nanoteknologi, ilmu yang didapatnya dari Universitas Magdeburg. Ia bercerita agak sulit mengaplikasikan ilmu yang didapatnya karena kurangnya sarana di Indonesia. Padahal ilmu terapannya tergolong ilmu mutakhir.
“Misalnya membuat pelapis cat di gedung-gedung yang bisa mencuci sendiri, sehingga debu tidak menempel di dinding dan cepat kembali bersih.”
Ilmu yang mereka pelajari tergolong teknologi tinggi dan canggih. Namun ya itu tadi, mereka kesulitan untuk mengembangkan ilmu-ilmu tersebut di tanah air. Tak heran, cukup banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di Jerman, merasa akan kesulitan tidak dapat memperoleh pekerjaan atau menciptakan pekerjaan yang sesuai dengan ilmu yang mereka dapat.
“Khawatirnya paling karena siap gak kerja yang bukan dibidangnya, susah cari lowongan yang sesuai bidang kita, fisika, hitung-hitungan hilang… Takutlah, dulu pernah dapat kerja, nanti pulang harus mulai dari bawah lagi, kalaupun dapat harus seberapa jauh meningkatnya. Tidak mudah dapat kerja di Indonesia, terutama dengan gaji yang kita inginkan. Jangan sampai pulang nanti lama melamar kerja dan perusahaannya tidak cocok.”
Perasaan tidak menentu menghantui mereka ketika memikirkan apa yang akan dilakukan maupun dihadapi selepas kuliah nanti. Namun hasrat untuk pulang dan bekerja, cukup besar.
“Kadang-kadang homesick berat banget, pengennya pulang saja. Kedua, ada rasa idealisme juga ingin ngapa-ngapain atau nyumbang sesuatu di tanah air. Di sini kualifikasinya beda-beda antara orang asing dan Jerman untuk kerja. Untuk gabung kerja dengan orang Jerman masalah bahasanya agak sulit.”
Mereka ini berniat untuk kembali ke tanah air dan bekerja di sana. Meski menurut mereka sulit untuk menyatukan antara idealisme dan kesejahteraan hidup yang kadangkala enggan seiring jalan.
Dilema ini tentunya bukan hanya dialami mereka, namun juga para pelajar asing lainnya dimanapun mereka berada. Untuk itulah organisasi WUS atau World University Service dibangun. Organisasi ini berpusat di Ottawa, Kanada, dan bertujuan membantu mempersiapkan para mahasiswa asing yang hendak kembali ke tanah air. Mulai dari mencarikan kerja yang cocok, membiayai usaha mereka untuk berdikari dan lain sebagainya. Untuk mahasiswa Indonesia di Jerman, WUS mempunyai cabang yang dikenal sebagai World University Service Komite Indonesia WUSKI. Didirikan oleh para alumni Jerman tahun 1998, organisasi ini bekerja untuk membantu mahasiswa Indonesia menyiapkan diri kembali ke tanah air dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Salah seorang anggota Dewan Pengurus WUSKI yang dulunya juga merupakan lulusan Jerman, Rachman Sjarief, mengatakan selain membantu mencarikan pekerjaan yang cocok, WUSKI dibantu pemerintah Jerman dengan pemberian bantuan dana:
“Kami WUSKI punya data base perusahaan tenaga kerja menghubungi berbagai institusi maupun pemerintah yang membutuhkan banyak orang untuk bekerja. Kami juga menjajaki dengan sekretariat DPR yang butuh banyak staf ahli. Kami bekerjasama dengan pemerintah Jerman yang memberikan bantuan berupa uang transport dan kontainer. Juga membantu selama 6 bulan uang bulanan, sebesar antara 200 hingga 300 euro.”
Begitu banyak bantuan yang ditawarkan untuk mendukung ide para mahasiswa lulusan Jerman agar mereka nantinya dapat mengembangkan sekaligus menyumbangkan ilmunya di tanah air nantinya. Namun demikian WUSKI tak lepas dari kritikan. Marianne Klute dari LSM Watch Indonesia misalnya, yang mengkhawatirkan lowongan kerja yang disediakan WUSKI seperti pembangunan di Kabupaten Kutai Kertanegara nantinya malah akan mengeksploitasi habis-habisan sumber daya alam yang ada. Marianne mengingatkan agar lowongan kerja yang disediakan, jangan sampai bertolak belakang dengan ide membangun daerah-daerah terpencil di Indonesia.
Namun kritikan itu dibantah oleh WUSKI. Rachman Sjarief dari WUSKI menegaskan ide pengembangan daerah itu datang dari keinginan agar pembangunan di seluruh wilayah Indonesia sampai ke pelosok bisa merata. Meski nantinya, apakah idealisme itu bisa terus dipegang oleh si mahasiswa atau tidak, tergantung pada individu-individu masing-masing.
“Idealnya membangun semua daerah terpencil di tanah air. Tidak ideal berkonsentrasi di Jakarta. Kalau tidak kembali ke daerah, maka siapa lagi yang akan membangun daerah? Bila mereka ditempatkan di daerah korup, mungkin bisa jadi malah akan mengubah karakter korup daerah tersebut.”
Ia menegaskan dengan adanya bantuan dan semangat, maka bukan tidak mungkin idealisme dan kesejahtaraan hidup dapat beriringan jalan juga meski di Indonesia. Nantinya masa depan akan dikembalikan lagi pada usaha dan semangat masing-masing para generasi muda tersebut. Menyemai ilmu di tanah air sambil menggapai impian.
Siapa lagi menyusul? (Ayu Purwaningsih)
Sumber : Deutsche Welle