Tak Ada Negara di Pasar Turi
Jawa Pos, 06 Nopember 2007
Oleh: EMHA AINUN NADJIB
Ada perbedaan mendasar dan sangat serius antara negara dan pemerintah. Tetapi di Indonesia, baik dalam pemahaman konstitusi maupun di alam pikiran para pejabat maupun umumnya rakyat, hal itu belum atau tidak dibedakan.
Ini bukan ilmu saya, melainkan „diwuruki“ Pipit Rukhiyat Kartawijaya, ahli pemilu (pemilihan umum) Indonesia yang sudah lebih dari 30 tahun tinggal di Jerman, sahabat yang menampung saya 23 tahun lalu ketika menggelandang di Berlin, Jerman. Anda bisa membeli bukunya tentang itu. Pipit sedang berada di Indonesia, diundang berbagai partai politik untuk dimintai tolong menghitung berbagai kemungkinan Pemilu 2009.
Di zaman kerajaan dulu, semua tanah beserta apa yang dikandungnya dan yang tumbuh padanya adalah milik raja. Pada 1968-1982, saya tinggal di sepetak tanah pinggiran Benteng Vredeburg yang statusnya adalah milik Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dipinjamkan kepada rakyat. Kalau dibilang milik keraton, berarti milik raja, tidak mungkin milik abdi dalem atau karyawan keraton.
Ketika demokrasi datang, otoritas raja itu berpindah ke tangan rakyat. Kerajaan berubah menjadi negara. Kedaulatan apa saja adalah milik rakyat. Tapi, mustahil 220 juta rakyat jadi „raja“. Karena itu, mereka membuat pemilu, memilih wakil-wakil, kemudian para wakil memilih sejumlah orang yang dibayar untuk mengurusi segala yang diperlukan rakyat dalam ketatanegaraan. Pengurus itu dijejer dari paling atas namanya presiden, terus ke level bawahnya sampai ajudan Pak RT.
Presiden dan seluruh jajaran pejabat birokrat adalah PRT alias pembantu rumah tangga rakyat. Rakyat membayarnya, menyediakannya kantor, rumah dinas, kendaraan, dan segala kelengkapan untuk menjalankan tugasnya. Pemerintah adalah pihak yang dipilih, rakyat adalah pihak yang memilih. Yang memilih lebih tinggi derajatnya dan lebih berkuasa daripada yang dipilih. Apalagi yang membayar dengan yang dibayar: yang membayar adalah bos, yang dibayar adalah karyawan. Rakyat adalah juragan, pemerintah adalah buruh.
Masih ingat lagu kanak-kanak kita bersama, Gundul-Gundul Pacul? „Gundul-gundul pacul, gembelengan..Nyunggi ngunggi wakul kul, gembelengan…Wakul ngglimpang segane dadi sak latar…“. Pada 2003 Kiai Kanjeng mementaskan reportoar „Gundul Pacul“ di Gedung Dunia Kementerian Luar Negeri Jerman di Berlin untuk menginformasikan hal-hal mengenai filosofi politik NKRI.
Kalau engkau masih kanak-kanak dan bermain bakul, silakan gembelengan dulinan sakenak udel. Tapi, kalau sudah nyunggi wakul, jangan lagi berlaku gembelengan. Nanti bakul terguling jatuh, nasi bertebaran memenuhi halaman rumah.
Bakul adalah tempat nasi. Secara pemaknaan budaya dan politik, bakul adalah perlambang kesejahteraan rakyat. Nyunggi wakul adalah meletakkan bakul di atas kepala. Presiden sampai lurah adalah orang yang digaji rakyat untuk nyunggi wakul. Bakul rakyat terletak di atas kepalanya. Bakul rakyat saja sudah lebih tinggi derajatnya dibanding kepala pejabat, apalagi rakyat.
Filosofi substansialnya begitu. Maka, seluruh pasal konstitusi, hukum, dan aturan-aturan apa pun dalam kehidupan bernegara mengacu pada derajat kedaulatan rakyat yang terletak di atas kepala pejabat.
Karena itu, untuk menjadi lurah saja, syarat utamanya adalah menyadari posisi dan derajatnya serta posisi dan derajat rakyat yang bakulnya disunggi pejabat itu. Apalagi menjadi wali kota. Wali kota bukan raja, melainkan abdi rakyat. Wali kota bukan bos, melainkan karyawan rakyat. Posisi wali kota bukan yang tertinggi dalam skala kotamadya, melainkan PRT para penduduknya.
Kesimpulannya jelas, Mas Bambang D.H. jangan pernah menjadi Bambang gembelengan. Cak Bambang nyunggi wakul. Rakyat tetap ada dan bisa hidup tanpa wali kota, tapi wali kota hanya ada dan menjadi wali kota semata-mata karena ada rakyat.
Di Pasar Turi, rakyat lokalnya adalah para pedagang, ribuan, puluhan ribu, yang bukan hanya menjadi penghuni utama, pemelihara dinamika pasar, pemutar uang devisa negara, tapi juga kumpulan manusia yang berkebudayaan, beragama dengan keasyikan masjidnya, berperadaban dengan warna warni silaturahmi di antara ribuan orang itu. Siapakah ahlul bait Islam? Adalah keluarga Nabi Muhammad SAW. Siapakah „ahlul sawah“? Para petani. Siapakah „ahlus-suuq“, ahlul Pasar Turi? Adalah para pedagang yang merupakan nyawa pasar itu.
Wali kota dan semua jajaran pekerjanya adalah orang-orang yang disayang rakyat, dipilih, diberi gaji, dan dipercaya. Pasar Turi dan Surabaya bukan milik wali kota, bahkan milik presiden Republik Indonesia, melainkan milik rakyat Surabaya. Segala yang terjadi di Surabaya harus dilaporkan, dikonsultasikan, dirembukkan dengan bos Surabaya, yakni rakyat Surabaya.
Itu jangan disebut „rakyat harus diberi hak untuk ikut merundingkan pengambilan keputusan pembangunan kembali pasar“, melainkan „rakyat adalah pihak yang paling memegang otoritas untuk menentukan pembangunan kembali pasar“.
Kantor yang ditempati wali kota itu bukan gedung pemerintah, melainkan gedung negara. Pemerintah tidak punya gedung, lha wong orang-orang pemerintah saja digaji rakyat. Itu gedung negara, negara adalah aplikasi otoritas rakyat. Esensinya: itu adalah gedung rakyat. Juga, mobil yang dikendarai wali kota adalah mobil rakyat. Dan, apa saja di badan wali kota yang berasal dari keuangan negara, itu adalah kepunyaan rakyat.
Tetapi, kita memang belum punya pegawai negara, yang ada adalah pegawai negeri. Status negara jelas menurut konstitusi. Tapi, negeri tidak jelas: kata „negeri“ berasal dari budaya, bahkan bahasa puisi. Pegawai negeri tidak jelas posisi hukumnya, maka ia tanpa terasa berubah menjadi pegawai pemerintah.
Sangat berbeda antara pegawai negara dan pegawai pemerintah. Pegawai pemerintah berada dalam garis ketaatan kepada atasannya sesuai dengan struktur birokrasi pemerintahan. Sementara itu, pegawai negara taat kepada konstitusi negara. Kalau sampeyan pegawai negara di kantor wali kota, sampeyan dan wali kota berposisi sama: wajib taat kepada konstitusi negara. Kalau sampeyan melanggar hukum negara, wali kota wajib bertindak. Juga, kalau wali kota melanggar hukum negara, sampeyan wajib bertindak. (*)
EMHA AINUN NADJIB
Budayawan