Menjemput Pemilu 2009
Kompas, Rabu, 13 September 2006
SUSIE BERINDRA dan SIDIK PRAMONO
Pujian dari luar negeri selalu dikutip untuk menyebut sukses penyelenggaraan Pemilihan Umum 2004. Namun, tentu saja tidak adil pula rasanya jika sejumlah persoalan yang menyertai persiapan, pelaksanaan, dan pasca-Pemilu 2004 sebagai bahan pelajaran diabaikan begitu saja. Bahkan kini, bukan tidak mungkin pengalaman pada pemilu lalu bakal terulang.
Persiapan pemilihan umum (pemilu) tahun 2009 bisa jadi tidak sebaik Pemilu 2004. Pusat Reformasi Pemilu (Cetro) membuat perbandingan persiapan kedua pemilu itu. Misalnya saja, ketentuan mengenai pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen disahkan 3 tahun 10 bulan menjelang Pemilu 2004. Sementara untuk Pemilu 2009, baru sebatas draf RUU Penyelenggara Pemilu. Itu pun belum dibahas oleh pemerintah dan DPR. Diperkirakan aturan yang akan dipakai untuk menyusun anggota KPU yang baru itu akan selesai akhir tahun 2006 atau 2 tahun 4 bulan menjelang Pemilu 2009. Ujungnya, KPU baru diperkirakan terbentuk April 2007 atau dua tahun sebelum pemilu. Bandingkan dengan Pemilu 2004, di mana KPU terbentuk pada 24 April 2001 atau tiga tahun sebelum Pemilu 2004. Saat itu banyak masalah yang dihadapi KPU terutama dalam pengadaan logistik pemilu. Masalah itu berujung pada dibuinya empat anggota KPU.
Sekarang, bayangkan jika pemilu mendatang digelar April 2009. Hitungan dari sekarang, waktu yang tersedia kurang dari tiga tahun. Lalu, apakah cukup waktu dua tahun (setelah KPU terbentuk) untuk mempersiapkan Pemilu 2009? Direktur Eksekutif Cetro Hadar Navis Gumay mengkhawatirkan waktu yang sempit itu. Waktu yang mepet itu akan menyusahkan KPU dalam mempersiapkan pemilu, apalagi dalam menyiapkan pengadaan logistik. Sekalipun begitu, Hadar berharap agar Pemilu 2009 bisa semakin baik dibandingkan dengan sebelumnya.
Di luar soal penyelenggara pemilu, Pipit R Kartawidjaja dari Watch Indonesia di Berlin juga mengingatkan soal teknis pemilu yang kerap diabaikan. Sejauh ini, ikhtiar untuk merevisi undang-undang mengenai pemilu masih serba tersamar. Masih banyak hal yang belum terjamah. Padahal, jelas sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tidak bisa dipertahankan. Sebagai misal, sebut saja bahwa alokasi kursi DPR untuk setiap provinsi tergantung pada jumlah penduduk dan jumlah provinsi—dengan doa harap-harap cemas, akankah lahir provinsi baru menjelang pemilu.
Menjelang Pemilu 2004, jumlah penduduk tercatat 215.634.379 jiwa. Asumsikan saja kenaikan penduduk per tahun adalah 1,25 persen sehingga pada tahun 2008 penduduk Indonesia bakal membengkak menjadi 226,6 juta. Dengan cara apa pun, kursi DPR yang hanya 550 itu jelas tidak akan cukup jika ketentuan alokasi versi UU No 12/2003 dipraktikkan kembali— apalagi jika segala jurus “akal- akalan” sudah sulit diandalkan.
Legislasi
Wakil Ketua Komisi II DPR Sayuti Asyathri (Fraksi Partai Amanat Nasional, Jawa Barat III) optimistis persiapan pemilu tetap mempunyai waktu yang cukup. Namun, ia mengingatkan pemerintah untuk segera mengeluarkan amanat Presiden dalam pembahasan RUU Penyelenggara Pemilu. “Pemerintah janganlah bermain politik. Kalau mau main politik, tunggu saja paket undang-undang politik. Kalau RUU Penyelenggaraan Pemilu sebaiknya jangan ditahan- tahan. Apa sih beratnya?” kata Sayuti.
Untuk RUU Penyelenggara Pemilu itu, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengusulkan agar aturan itu didesain sedemikian rupa sehingga pergantian anggota KPU tidak harus dilakukan sekaligus. Tujuannya, agar ada kesinambungan kompetensi dan keahlian dari anggota lama ke anggota baru. “Kompetensi dan pengalaman sebagai penyelenggara pemilu harus dipandang sebagai investasi yang amat mahal harganya sehingga perlu diatur dan diupayakan agar sebagian anggota KPU didorong untuk mencalonkan/dicalonkan kembali sebagai anggota KPU yang baru,” kata Syamsuddin.
Syamsuddin juga mengatakan bahwa perubahan dan revisi setiap perundang-undangan bidang politik semestinya dilakukan secara komprehensif dan konsisten agar regulasi bersifat tumpang tindih atau tambal sulam bisa dihindari. Harus ada kesepakatan bahwa RUU Penyelenggara Pemilu tidak berdiri sendiri, tetapi suatu regulasi yang tidak terpisahkan dari rangkaian revisi UU Pemilu; UU Parpol; UU Pilpres; UU Susduk MPR, DPR, dan DPD; serta UU Pemerintahan Daerah.
DPR sendiri sudah berkeinginan supaya paket undang- undang politik menjadi inisiatif DPR ketimbang menjadi usul pemerintah. Kalangan politisi di DPR menilai kurang tepat jika pemerintah yang memajukan usul inisiatif paket undang-undang politik itu karena parpollah yang lebih berkepentingan. Jika pemerintah yang maju, bisa-bisa malah dianggap ada intervensi terhadap kehidupan parpol. Diperkirakan (dan sekaligus merupakan skenario realistis-optimistis) usul inisiatif bisa mulai dibahas awal tahun 2007.
Penegakan hukum
Sementara itu, Wakil Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Topo Santoso mengingatkan pentingnya pembenahan proses penegakan hukum pemilu. Ketidakpuasan atas proses dan hasil pemilu akibat banyaknya pelanggaran yang tidak bisa diselesaikan serta perasaan telah diperlakukan tidak adil oleh penyelenggara menunjukkan adanya masalah penegakan hukum dalam setiap pemilu. Hal itu tidak bisa dibiarkan begitu saja karena merupakan ancaman terhadap legitimasi hasil pemilu. Karena itu, kerangka hukum pemilu mesti mengatur mekanisme dan penyelesaian hukum yang efektif untuk menjaga kepatuhan terhadap undang-undang pemilu.
Untuk hal yang terkait dengan pidana pemilu, Perludem mengusulkan agar beberapa materi ketentuan pidana ditambahkan, seperti pemidanaan jajaran penyelenggara dan pelaksana pemilu yang lalai melaksanakan tugasnya. Sementara untuk pelanggaran administrasi pemilu, undang-undang harus memberikan pengertian yang jelas, ruang lingkup yang pasti, serta pemberian sanksi yang tegas. Undang-undang pemilu mendatang juga perlu memberi ruang kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh keputusan KPU/KPUD yang berbentuk penetapan (beschiking) untuk mengajukan keberatan kepada hakim khusus pemilu di lembaga peradilan.
Topo juga menyebutkan perlunya pengaturan baru soal perselisihan administrasi pemilu, di mana putusan penyelenggara pemilu yang dianggap tidak tepat dapat dikoreksi. Apabila keputusan atau tindakan penyelenggara pemilu itu dipandang keliru atau melanggar ketentuan perundang-undangan pemilu, harus dibuka kemungkinan adanya keberatan untuk membatalkan atau mengubah keputusan atau tindakan penyelenggara pemilu. Rumusan ketentuan dalam undang-undang pemilu lalu yang menyatakan bahwa keputusan penyelenggara pemilu bersifat final dan mengikat harus dihapus.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa persoalan menjelang Pemilu 2009 tidaklah mudah. Pemilu 2004 sudah mengajarkan banyak hal. Ironis jika segala yang buruk kembali terulang, bukan? <>