„Menghukum“ Sang Penyalur Aspirasi
Kompas, 27 Juni 2006
Partai Politik
SIDIK PRAMONO
Kalah atau menang, berhasil atau gagal total dalam pemilihan umum, partai politik di Indonesia dari sisi kuantitas terus tumbuh dan berkembang. Ketika stabilitas pemerintahan menjadi kebutuhan, akankah sistem multipartai sederhana tercipta lewat Pemilihan Umum 2009 mendatang?
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 mengenai Partai Politik menjelaskan fungsi parpol, seperti sebagai sarana pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga negara yang sadar hak dan kewajiban. Parpol juga berfungsi sebagai sarana penciptaan iklim yang kondusif serta perekat persatuan-kesatuan; penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik; sarana partisipasi politik warga negara. Namun bagi sebagian kalangan, fungsi perekrutan politik dalam proses pengisian jabatan politik jauh lebih menonjol ketimbang fungsi yang lain.
Efektivitas
Sejarah kepartaian di Indonesia pun layak dicatat. Selama puluhan tahun, hanya dua partai politik dan satu „golongan karya“ yang menjadi peserta pemilu. Namun setelah rezim Orde Baru ditumbangkan, kehidupan kepartaian di Indonesia sangat semarak. Menjelang Pemilu 1999, sebanyak 141 parpol terdaftar di Departemen Kehakiman. Dari saringan tahap pertama, sebanyak 106 partai politik terdaftar di Komisi Pemilihan Umum untuk kemudian 48 di antaranya lolos sebagai peserta pemilu. Mengikuti ketentuan undang-undang, hanya 6 parpol yang lolos ambang batas pemilihan (electoral threshold)—yaitu sekurangnya memperoleh 2 persen jumlah kursi DPR atau sekurangnya 3 persen jumlah kursi DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di setengah jumlah provinsi dan di setengah kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Dengan syarat yang ketat seperti itu, keinginan parpol untuk berpartisipasi tidak juga surut. Pada Pemilu 2004, sebanyak 112 parpol mendaftar di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Masuk ke KPU, jumlahnya turun menjadi 50 parpol. Dari jumlah itu, hanya 24 parpol yang bisa ikut sebagai peserta Pemilu 2004. Dengan acuan sekurang-kurangnya mendapat 3 persen jumlah kursi DPR, praktis hanya 7 parpol yang langsung menjadi peserta Pemilu 2009 mendatang.
Yang gampang ditemukenali dalam dua kali pemilu pascareformasi itu adalah fenomena „bersalin baju“ selepas pemilu. Partai hanya berganti nama untuk kembali mencoba-coba „menjajakan“ diri dalam kontes pemilu. Parpol hanya sekadar menjadi „pejuang pemilu“ ketimbang parpol yang menjalankan fungsinya untuk membina dan mendidik para anggotanya. Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Priyo Budi Santoso sependapat bahwa penerapan ambang batas yang berlaku saat ini hanya menjadikan parpol yang kalah berganti wajah baru, jarang ada yang memilih bergabung atau menggabungkan diri dengan parpol lain. „Ketentuan sekarang ini hanya akan membuka peluang bagi petualang politik,“ kata Priyo.
Pakar pemilu dari Jerman, Herman Schmitt, punya formulasi untuk menghitung jumlah efektif partai politik peserta pemilu (effective number of electoral parties of voters/ENPV). Semakin rendah ENPV, semakin mudah untuk membentuk koalisi antarparpol. Dari rumusan yang merujuk pada perolehan suara masing-masing parpol dalam dua pemilu itu, terlihat bahwa fraksionalisasi parpol semakin tinggi, parpol yang dominan semakin sedikit. Semakin tinggi fraksionalisasi, semakin sulit koalisi antarparpol dibentuk.
Yang terus ditunggu, kapankah akan tercapai sistem multipartai sederhana didasari pertimbangan perlunya stabilitas pemerintahan dengan sistem presidensial? Terlebih jika kita menyimak bagian penjelasan umum UU No 31/2002, „Untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya kehidupan dan sistem kepartaian yang sehat dan dewasa, yaitu sistem multipartai sederhana. Dalam sistem multipartai sederhana akan lebih mudah dilakukan kerja sama menuju sinergi nasional.“
Mencari cara „menghukum“
Fakta di satu sisi: keinginan untuk membentuk parpol „baru“ tetap saja tidak surut dari waktu ke waktu. Fakta di lain sisi: ada desakan kebutuhan akan sistem multipartai sederhana untuk menciptakan pemerintahan yang kuat.
Jika ada yang mengintrodusir larangan pembentukan parpol baru, tentu banyak pihak yang akan mempersoalkannya. Parpol berhak didirikan dan tumbuh selaras dengan dinamika masyarakatnya. Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 perubahan kedua menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Namun, ada juga aturan dalam Pasal 28 bahwa kemerdekaan itu ditetapkan dengan undang-undang.
Bagi Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Sutradara Gintings ataupun Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) Ahmad Farhan Hamid, ambang batas (electoral threshold) pada Pemilu 1999 dan 2004 tidak sejalan dengan ide multipartai sederhana karena parpol yang tidak memenuhi ambang batas tetap saja punya wakil di DPR atau DPRD. Mestinya, ambang batas itu diterapkan secara tegas sehingga parpol yang tidak memenuhi ambang batas tertentu tidak bisa mengirimkan calonnya duduk di lembaga legislastif. Cara tersebut jamak diberlakukan di negara demokrasi maju, sekalipun mungkin terasa menyakitkan. „Memang harus ada keberanian untuk berkorban, kita harus mempercepat masa transisi dengan kebesaran hati,“ kata Sutradara.
Keduanya sependapat bahwa cara „memangkas parpol“ seperti yang diberlakukan di Indonesia sekarang tetap saja menyulitkan penciptaan multipartai sederhana, bahkan jika ambang batas itu dinaikkan sekalipun. Budaya politik di Indonesia pun menambah yakin bahwa tetap akan muncul parpol „baru“ yang sebenarnya hanya merupakan perubahan wujud parpol yang tidak memenuhi ambang batas itu. Farhan memprediksi, jika ketentuan ambang batas konsekuen diterapkan, sekitar 7-8 parpol saja yang bisa bertahan di tingkat nasional. Kondisi itu akan menciptakan sistem kepartaian yang lebih sehat dan akhirnya juga pemerintahan yang lebih stabil.
Direktur Riset The Indonesian Institute Anies Rasyid Baswedan tidak sependapat dengan usulan tersebut. Bagaimanapun ada suara rakyat yang harus dijaga. Menganulir hak kursi parpol yang tidak memenuhi ambang batas tertentu bisa diartikan sebagai pemotongan amanat rakyat. Pendapat Anies juga didukung Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Menurut Anas, penerapan ambang batas yang cocok di Indonesia adalah untuk menentukan bisa-tidaknya ikut dalam pemilu berikutnya seperti yang berlaku saat ini. Penerapan ambang batas untuk menentukan bisa-tidaknya jatah kursi parpol bersangkutan di lembaga legislatif diisi, dinilai kurang cocok dengan asas representasi karena kursi di lembaga legislatif merupakan perwujudan dari perolehan suara.
Menurut Anas, penyederhanaan parpol bisa dilakukan dengan penerapan ambang batas secara serius, misalnya kesempatan parpol berganti nama dibatasi hanya dua kali saja. Saat ini ketentuan dalam undang-undang hanya menyebutkan bahwa parpol yang tidak memenuhi ketentuan antara lain bisa menggunakan nama dan tanda gambar baru.
Anas juga mengusulkan agar syarat menjadi parpol peserta pemilu ditingkatkan. Misalnya, parpol peserta pemilu diwajibkan menyetor deposit tertentu yang akan diserahkan kepada kas negara jika parpol bersangkutan gagal memenuhi ambang batas.
Mengawali „rekayasa“
Bagi Pipit R Kartawidjaja dari Watch Indonesia di Berlin, ambang batas „resmi“ diberlakukan dengan penerapan ketentuan perolehan suara minimal bagi parpol agar bisa mengambil jatah kursi parlemen. Namun, bisa juga ditetapkan ambang batas „terselubung“ lewat rekayasa daerah pemilihan. Daerah pemilihan dengan jumlah kursi kecil akan meninggikan ambang batas bawah. Artinya, butuh lebih banyak suara untuk merebut kursi di daerah pemilihan itu.
Cara lain adalah dengan perubahan cara perhitungan suara. Cara perhitungan yang diterapkan di Indonesia—yaitu dengan bilangan pembagi pemilihan (BPP) dan sisa suara terbanyak dengan mengikuti cara perhitungan varian Hamilton/Hare/Niemeyer—cenderung menguntungkan parpol kecil. „Di negeri yang butuh pemerintahan stabil dan pro pembentukan koalisi yang ramping, biasanya cara perhitungan divisor gaya d’Hondt yang dipakai,“ tulis Pipit.
Bagi Pipit, memasang ambang batas (resmi ataupun terselubung) akan menciutkan jumlah parpol yang masuk ke lembaga legislatif. Seiring dengan itu, tidak diperlukan aturan mengenai nama dan lambang baru bagi parpol yang tidak memenuhi ambang batas. „Hukuman“ secara langsung diberikan. Tidak akan terjadi lagi parpol yang „bersalin baju“ sekadar sebagai siasat untuk kembali berlaga dalam pemilu. Penerapan ambang batas secara konsekuen pun secara perlahan akan mendidik masyarakat pemilih untuk cenderung memilih parpol yang selalu mengirimkan wakilnya ke parlemen.
Sementara itu, Anies mengusulkan, penyederhanaan harus dilakukan secara alamiah. Anies sependapat dengan ide mempercepat „kematian“ parpol yang tidak aspiratif. Salah satu faktor terpenting adalah soal dana: parpol yang tidak memenuhi ambang batas tidak berhak mendapat bantuan keuangan dari negara. „Atur dari sumber energi yang terbesar, dana,“ kata Anies.
Seleksi sehat
Patut disimak pula pendapat anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR Saifullah Ma’shum (Jawa Timur V). Jangan sampai ide „rekayasa“ penyederhanaan partai politik demi terciptanya multipartai sederhana dibangun di atas spirit demi menjaga kepentingan parpol besar. Penyederhanaan partai politik harus diletakkan selain dalam proses yang berlangsung secara alamiah, juga tetap dalam koridor dan spirit menghormati hak konstitusional masyarakat untuk berserikat selain untuk menyehatkan kehidupan demokrasi. Seleksi alamiah mesti didorong dengan menjadikan parpol yang lebih sehat dan aspiratif.
Menurut Saifullah, untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan parlemen yang kuat tidak bisa didekati semata-mata dari penyederhanaan parpol—yang diusulkan dengan penerapan ketat ambang batas, di mana parpol yang tidak memenuhi itu tidak bisa mengirimkan wakilnya duduk di DPR atau DPRD. Menurut Saifullah, harapan mendapatkan pemerintahan yang efektif bisa dilakukan dengan menyatukan pelaksanaan pemilu anggota legislatif dengan pemilu presiden. Dengan begitu, selain dicapai efisiensi pemilu, juga besar kemungkinan presiden terpilih juga akan berasal dari parpol pemenang pemilu. Stabilitas pemerintahan juga dapat dicapai ketika terjadi penyederhanaan jumlah fraksi di DPR atau DPRD melalui aliansi di antara parpol kecil.
Apa pun caranya nanti, ada baiknya mulai dipikirkan upaya untuk „menghukum“ parpol. Agar penciptaan multipartai sederhana bukan lagi impian. <>