Baru Merdeka 20 Persen
Radar Kediri, 21 Agustus 2005
Cak Nun: Fatwa MUI Tak Mengikat
KEDIRI – Budayawan Emha Ainun Najib menilai bahwa fatwa sesat Ahmadiyah yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak mempunyai kekuatan yang mengikat siapa pun. Hal ini diungkapkannya usai menjadi pembicara dalam acara ’Ngobrol Merdeka 60 Persen’ di Hotel Insumo Palace, kemarin.
„Sebenarnya perlu diperjelas, MUI itu lembaga Islam atau lembaga negara. Kalau lembaga Islam maka fatwa yang dikeluarkan tidak mengikat. Sedangkan jika menjadi lembaga negara maka MUI tidak bisa mengintervensi,“ terangnya.
Menurut Cak Nun, panggilan akrabnya, fatwa tidak bisa digunakan sebagai alat politik pendiskreditan aliran tertentu, termasuk Ahmadiyah. Semua berhak hidup sesuai keyakinannya. Sebab, keyakinan merupakan hak yang paling asasi.
„Jangankan Ahmadiyah, kafir pun tidak masalah. Toh, nanti pertanggungjawabannya kembali ke pribadi masing-masing,“ ujar suami artis cantik Novia Kolopaking yang kini tampak lebih tua ini.
Sementara itu, dalam acara, Cak Nun mengatakan bahwa Indonesia baru merdeka 20 persen. Selebihnya masih dijajah oleh globalisasi. Meski demikian, masyarakat tidak perlu khawatir karena masih banyak kemungkinan untuk menyelamatkan Indonesia.
„Sebenarnya, yang diperlukan masyarakat Indonesia bukan sepenuhnya merdeka. Sebab, bagaimanapun, kita pasti membutuhkan keterikatan dengan pihak lain,“ terang pimpinan grup musik Kiai Kanjeng ini.
Yang menarik, Cak Nun justru mengatakan bahwa dirinya kini sudah merdeka 200 persen. Bebas melakukan apa pun. „Mau makan apa saja bebas, pengin istri berapa pun bebas. Mau ngapa-ngapain istri juga bebas,“ ujarnya yang langsung disambut tawa peserta.
Kondisi itu, jelasnya, hanya bisa dicapai jika mampu mengalahkan dan sering melihat diri sendiri. „Paling tidak, tidak punya nafsu untuk mengalahkan orang lain. Tapi, bukan berarti tidak bersaing lo,“ jelas Kiai Mbeling yang mempunyai Jamaah Pengajian Padang Mbulan di kampung halamannya, Jombang itu.
Sementara, Pipit Kartawidjadja, anggota Dewan Kota Brandenburg, Jerman yang menjadi pembicara lainnya, lebih banyak membandingkan masalah prosedur hukum antara Indonesia dan Jerman. „Banyak hukum di Indonesia yang salah dan terkesan dibuat untuk dilanggar. Beda dengan Jerman yang tampak lebih transparan,“ tandasnya. (dea)