Korupsi Bisa Diberantas Birokrasi
Kedaulatan Rakyat, 06 Mei 2005
BANTUL (KR) – Walaupun persoalan korupsi tidak hanya dimonopoli birokrasi tetapi sudah merambah ke semua elemen, tetapi harus menjadi komitmen memberantasnya, yaitu berupaya menyejahterakan masyarakat. Di sisi lain, upaya itu bisa dilakukan dari lingkungan keluarga dahulu untuk tidak menambah jumlah pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), baru ke lingkungan yang lebih luas.
Saran itu mengemuka dalam sarasehan ‘Pilkada dan Prospek Pemberantasan Korupsi (Belajar Kepada Brazil)’ yang berlangsung Rabu (4/5) di gedung induk lantai III Kompleks Pemkab Bantul yang diadakan HiPiS (Himpunan Pemuda Islam) bekerjasama dengan Pemkab Bantul dan SKH Kedaulatan Rakyat. Sarasehan yang diikuti para birokrat, camat, kades, LSM dan anggota DPRD itu sedianya menghadirkan tiga calon bupati-wakil bupati sebagai keynote speaker. Namun atas pertimbangan manfaat dan mudharatnya, mereka batal dihadirkan. Pembicara yang ditampilkan, Dr Pipit Kartawijaya (aktivis PI Jerman), Dr Harwanto Dahlan MA (dosen UMY), Emha Ainun Nadjib (budayawan) menyampaikan persoalan korupsi dan H Suwandi DS (KPUD) mengemukakan tentang Pilkada langsung, babak baru demokrasi yang akan jadi kegiatan akbar di Bantul.
Penjabat Bupati Bantul dalam sambutannya yang dibacakan Sekda Drs Ashadi MSi menyatakan, korupsi penyakit lama yang bisa kambuh lagi jika faktor penyebabnya tidak dieliminasi. Pemberantasan korupsi menurut Ir Soetaryo tidak hanya membutuhkan perangkat hukum yang kuat tapi juga sangat penting memberi bekal pendidikan anti korupsi bagi generasi muda.
KKN menurut Dr Harwanto Dahlan sebenarnya bisa diberantas oleh birokrasi. Walaupun banyak cara yang bisa ditempuh, namun kita bisa melihat cara Cina memberantas korupsi yang menggunakan semboyan,”kalau ingin tangkap ular, tangkap dulu kepalanya”. Atau cara Korsel yang berani menghukum kepala negaranya karena korupsi pula. „Atau mau seperti Singapura, yang menempuhnya dengan antara lain menyejahterakan guru. Gaji guru di sana 20 kali lipat gaji guru Indonesia”, tutur dosen UMY itu yang banyak mengemukakan anekdot-anekdot sehingga suasana tampak segar. Harwanto mengatakan, pemberantasan KKN itu bisa dimulai dari diri sendiri dahulu. Memberantasnya, tergantung niat, akan transparan, sesuai amanah, membela korps atau niatnya ‘ibadah’.
Sedang budayawan Emha Ainun Nadjib melihat, ada kesulitan berantas korupsi di Indonesia karena sudah merambah ke lapisan bawah. Faktor kultural dan psikososial menjadi penghambat pemberantasan korupsi. Tapi ia gembira, masih ada yang tidak putus asa, punya semangat dan karep untuk memberantasnya. Dikatakan, ia sekadar menawarkan kemungkinan yang baik untuk dilaksanakan. Kultur adalah produk salah satu pilar yang mengikuti kekuasaan dalam jangka waktu tertentu, yang tidak bisa diandalkan memberantas korupsi. „Yang nomor satu dan bisa adalah ‘dinding’ dari ‘bangunan’ yaitu undang-undang,Keppres atau konstitusi yang punya kepastian dan kekuatan”, katanya.
Menurutnya metode apa saja bisa dilaksanakan, metode Korsel, Brazil, Bolivia, atau negara lain yang mengetrapkan metode manjur mengikis korupsi.”Kalau metode itu tak dilaksanakan atau tak mungkin dilaksanakan, jalan tinggal satu, dipaksa oleh zaman, keadaan,alam atau oleh Tuhan yang bisa lewat musibah”, demikian Emha.
Dr Pipit Kartawijaya menyatakan, beberapa municipio(kotamadya) seperti Porto Alegre di Brazil sukses menerapkan perkawinan demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung. Hasilnya KKN lumayan tercekik. Model itu kemudian ditiru sebagian kota di Barat, misalnya Barcelona Spanyol.
Porto Alegre memberikan pendidikan politik bagi rakyat dan mengajak masyarakat harus tahu problem daerah. Model parsipatori diterapkan yang dikenal dengan partisipasi budget, sehingga bisa mengontrol kebijakan pemerintah kotanya, penyusunan APBD dan berperan dalam pengawasan. „Pemilihan selalu diadakan bulan Desember. Yang terpilih, Januari tidak buat program, tetapi sampai Februari datang ke kecamatan, tanyakan keinginan rakyat untuk penyusunan APBD. APBD di sana 50% untuk anggaran rutin, 25% untuk pembangunan dan 25% untuk kecamatan. Rakyat masih ditanya, anda mau apa”, katanya.
Rakyat di sana memilih wakilnya untuk duduk di Dewan Partisipasi Anggaran Belanja. Setiap distrik diwakili dua orang. Walau merupakan dewan tidak resmi namun kehadirannya diakui otoritas daerah (Pemkot dan DPRD). Lantaran setiap municipio sejak UUD Baru 1998 punya otonomi penuh, setiap municipio pun berhak menjalankan kebijaksanaannya berdasarkan konsep pemenang pemilihan. „Tapi yang penting, dewan itu bersama staf kepala daerah membuat APBD bersama mereka yang harus selesai September. Januari datang lagi ke kecamatan. Program tahun lalu dicantumkan. Tanya rakyat. Kalau ada uang siluman, harus bisa membuktikan, sehingga sangat sulit untuk berkorupsi”, demikian Pipit Kartawijaya yang juga jadi PNS di Jerman. (Sh)-a.