Menyoal Dana Bantuan Partai
Suara Merdeka, 01 Maret 2004
Oleh: Joko J Prihatmoko
HAMPIR di semua daerah, partai-partai politik baru menyoal dana bantuan. Inti persoalan terletak pada pembagiannya. Mereka merasa layak menerima bantuan seperti yang diterima oleh partai lama dengan besaran yang adil dan tidak diskriminatif.
Sebelumnya, calon partai baru mengaku kesulitan memenuhi biaya persyaratan pencalonan anggota legislatif terutama untuk general check up. Pimpinan partai baru pun mengeluh kesulitan dana untuk biaya kampanye.
Hal itu merupakan fakta bahwa partai baru – mungkin juga partai lama – menghadapi persoalan keuangan atau pembiayaan. Lebih dari itu, ada sinyalemen kuat bahwa partai kurang atau bahkan tidak memahami perubahan sistem pembiayaan. Hal itu melengkapi wajah kepartaian kita yang compang-camping, tidak stabil secara organisasi dan rapuh dalam fungsi.
Demokrasi membutuhkan biaya besar. Negara wajib mendanai kegiatan-kegiatan politik dalam rangka penataan dan pembangunan sistem ketatanegaraan seperti perubahan konstitusi dan pemilu. Partai harus membiayai aktivitas (fungsi), kebutuhan rutin organisasi dan pemilu. Yang dimaksud aktivitas adalah kegiatan yang berkaitan dengan fungsi partai.
Sistem itu berbeda dari sistem otoritarian-birokratis masa rezim Orde Baru. Dalam sistem ini, penguasa menyedot uang negara (rakyat) dan menggelontorkan untuk kelanggengan rezim, mesin pemilu (Golkar dan TNI/Polri), dan partai (PDI dan PPP). Partai dimanjakan dan tidak pernah mandiri dalam pembiayaan.
Tanggung jawab pembiayaan partai makin berat dalam sistem demokrasi. Besar kebutuhan dana variatif yang dipengaruhi oleh faktor sistem internal partai, sistem kepartaian, sistem pemilu, waktu penyelenggaraan pemilu, dan faktor media kampanye, dan sebagainya.
Tercatat dua prinsip pembiayaan partai. Pertama, partai dengan kepemimpinan yang personalized dan sentralistis membutuhkan dana lebih kecil daripada partai impersonal dan desentralistis. Kedua, partai yang mempertahankan jaringan dengan aktivitas sepanjang tahun (seperti kebanyakan partai di AS dan Inggris) memerlukan dana lebih besar daripada partai yang aktif hanya menjelang pemilu seperti kebanyakan partai di negara-negara Eropa.
Pemilu menyedot dana paling besar. Beban pembiayaan partai terasa makin berat karena beberapa hal. Pertama, pemilu legislatif dan presiden diselenggarakan tidak serentak. Kedua, pemilu (parlemen dan presiden, kemudian kepala daerah) bersifat langsung dengan sistem distrik atau campuran (proporsional dengan daftar calon terbuka). Ketiga, tren kampanye pemilu calon anggota parlemen (DPR/DPRD) dan presiden yang memanfaatkan televisi seperti di AS dan Inggris.
Sumber Dana Partai
Lazim di negara demokrasi, sumber dana partai dari internal dan eksternal. Dana internal antara lain dari “dana basis” (istilah ini digunakan di AS), yakni dana dari iuran anggota dan pendukung bukan anggota. Sumbangan elite partai atau dana “peraup kenikmatan” (istilah Nassmacher, 1990) bunga tabungan/deposito partai termasuk “dana basis”.
Dana eksternal atau nonbasis terdiri atas dana plutokratis dan dana negara. Dana plutokratis dari para “dermawan kelas kakap” atau badan hukum. Kredit untuk partai juga dianggap sebagai dana plutokratis.
Dana internal mendapat apresiasi positif masyarakat demokratis. Prinsip yang selalu ditekankan adalah sukarela, sadar, dan tak ada paksaan. Di sini, anggota merasa bertanggung jawab terhadap partai. Sebaliknya, dana plutokratis dinilai berpotensi “mengendalikan” partai dari luar dan dianggap mencemarkan demokrasi internal.
Khayyam Zev Paltiel (1981) mengatakan, besarnya perbedaan donor mencerminkan realitas kesenjangan sosial dan ekonomi: suatu usaha untuk menyiasati prinsip demokrasi “satu orang satu suara”. Artinya, donatur dapat mengambil pengaruh yang berbeda pada proses pengambilan keputusan.
Dana eksternal yang acap dikecam adalah dana negara. Ingrid van Biezen (dalam Pipit R Kartawidjaja dan Mulyana W Kusuma, 2003) membagi dana negara menjadi tiga jenis. Pertama, penyuntikan untuk aktivitas rutin termasuk ongkos personal dan anggaran belanja organisasi partai (non-electoral activity). Kedua, penghibahan dana karena keterlibatan dalam pemilu (electoral activity). Ketiga, pemasokan dana kepada fraksi partai di parlemen (subsidizing parliementary groups).
Ada dua persoalan berkaitan dengan dana negara, yakni partai mana yang layak mendapatkan dan berapa besaran yang layak. Tidak ada patokan baku mengenai dana negara. Negara-negara demokrasi mapan terus mencari sistem yang adil dan transparan. Akan tetapi satu hal jelas, dana negara harus memiliki landasan hukum. Partai layak menerima dana negara apabila memenuhi kriteria yang ditentukan. Terkait dengan hal itu, tercatat beberapa variasi metode dana negara.
Pertama, setiap suara kontestan pemilu dihargai dengan besaran tertentu secara sama. Tidak dibedakan partai yang memiliki wakil di Dewan atau tidak. Kedua, pemberian hanya diberikan pada partai yang memiliki wakil di Dewan. Ketiga, pemberian dana untuk partai yang memenuhi electoral threshold. Keempat, dihibahkan pada semua partai yang memperoleh suara. Kelima, semua partai memperoleh dana negara tetapi jumlahnya tidak lebih dari 50% dana yang dimiliki partai.
Metode-metode di atas berakibat buruk pada partai-partai minoritas karena memperoleh bagian kecil atau bahkan tidak mendapatkan. Sebaliknya, partai mayoritas menarik dana dalam jumlah besar sehingga memapankan eksistensi. Dalam sistem dua partai, metode pertama, kedua, dan ketiga mendapat resistensi dan kritik keras terutama dari partai minoritas.
Metode keempat digunakan negara-negara kaya dengan penduduk sedikit sehingga tidak terlalu populer. Partai penerima harus memenuhi minimal jumlah suara, seperti Spanyol (50.000 suara). Metode kelima menjadi mainstream di negara-negara demokrasi mapan.
Kasus Indonesia
Sistem pembiayaan partai di Indonesia juga bersumber dari internal dan eksternal. Sumber internal dari iuran anggota berdasarkan UU Nomor 31/2003 Pasal 17 ayat (1a) dan sumber eksternal dari perusahaan dan/atau badan usaha (Pasal 18 ayat 2), serta berupa bantuan dari anggaran negara (Pasal 17, ayat 1c).
Aturan sumbangan hanya menyangkut besaran. Sumbangan perseorangan dan perusahaan dan/atau badan usaha maksimal Rp 200 juta dan Rp 800 juta dalam setahun. Aturan itu sangat longgar, karena tidak memperhitungkan keteraturan iuran, batas minimal yang harus dilaporkan, penerimaan aset/kekayaan, penerimaan dari kegiatan-kegiatan partai, seperti pesta, penjualan barang cetak atau penerbitan, dan sebagainya.
Kriteria penerimaan dana negara pada partai merupakan titik lemah yang menimbulkan ketakpastian (baca: penyelewengan) karena hanya dijelaskan secara proporsional bagi partai yang mendapatkan kursi di Dewan. Tidak ada penjelasan lebih teknis, seperti besaran, metode, proporsi, dan prosedur penerimaan. Dua implikasi segera terlihat.
Pertama, asal punya wakil di Dewan, partai diam saja sudah mendapatkan jatah. Di negara demokrasi mapan, partai harus mengajukan proposal dilengkapi laporan kondisi keuangan yang telah diaudit akuntan publik. Kedua, istilah proporsional bisa sangat plastis dan situasional karena Dewan memiliki fungsi anggaran (berwenang menentukan anggaran).
Tak heran, menjelang Pemilu 2004, Dewan dikabarkan berlomba-lomba memperbesar dana bantuan tanpa memperhitungkan distribusi kursi atau suara. Sebaliknya, mereka tidak mengalokasikan sedikit pun dana untuk partai baru.
Hal itu mengindikasikan, kuatnya oligarkhi elite yang berakibat pada marginalisasi partai dan calon baru. Perilaku mereka yang lepas kendali itu bagian dari mekanisme untuk mempertahankan kekuasaan dan memperkecil peluang partai baru.
Kebijakan Transisional
Sangat jarang atau bahkan tidak ada partai yang memberlakukan iuran anggota sehingga sumber itu tak terandalkan. Dana plutokratis, khususnya sumbangan calon dan anggota partai yang duduk di Dewan, menjadi andalan. Kebutuhan besar dalam pemilu mengakibatkan mereka mengalokasikan dana bantuan dalam jumlah besar.
Fenomena tersebut menunjukkan beberapa hal. Pertama, jarak anggota dengan pengurus partai sangat senjang. Kedua, tidak ada pemahaman terhadap perubahan sistem pembiayaan partai, dari paradigma otoritarian ke demokratis; dari dimanjakan ke arah mandiri. Ketiga, partai cenderung menempuh jalan pintas.
Perilaku Dewan mematok bantuan dana partai yang besar dan tuntutan eksesif partai baru terhadap bantuan dana di atas menjadi bukti uraian terdahulu. Pada titik itu, muncul dilema kebijakan bagi eksekutif (pemerintah daerah). Tak mungkin menolak dana bantuan partai lama yang besarannya bermasalah, namun memberikan dana bagi partai baru.
Beberapa kabupaten/kota telah memberikan bantuan partai baru. Pemprov juga berjanji akan memberi bantuan partai baru. Langkah itu harus dilihat sebagai tindakan transisional darurat. Pada satu pihak, tak adil menuntut partai baru konsisten dengan paradigma baru pembiayaan mandiri, sedangkan partai lama mempertahankan paradigma lama.
Pada lain pihak, kebijakan itu tidak relevan bagi kebijakan Pemilu 2004 (pemilu transisi kedua) yang mengutamakan prinsip tanggung jawab. Kebijakan itu relevan pada Pemilu 1999 (pemilu transisi pertama) yang menghargai prinsip kebersamaan.
Dengan demikian, pemberian dana bantuan partai baru sekarang ini, seharusnya adalah yang terakhir. Selanjutnya, pembiayaan partai diserahkan ke mekanisme yang ada.
Artinya, pembatasan itu akan mempertegas tanggung jawab partai. Bukan saatnya lagi menjadi peserta pemilu hanya bertujuan untuk mendapat dana bantuan negara; dan bukan wak-tunya pula memandang pemilu semata-mata sebagai sarana berebut kursi kekuasaan tanpa memperhatikan tanggung jawab.
Yang menjadi persoalan adalah besaran bantuan partai baru. Dalam kaitan itu, hal yang layak dipertimbangkan antara lain bagaimana sistem keuangan partai (untuk melihat akuntabilitasnya) dan berapa dana yang dimiliki partai (untuk melihat keseriusan sebagai peserta pemilu). Secara teknis, partai baru harus menyerahkan proposal permohonan dana bantuan dilengkapi dengan laporan kondisi keuangan yang telah diaudit.
Selanjutnya dalam waktu dekat, aturan mengenai dana bantuan partai harus diperjelas. Kriteria proporsional bagi partai yang mendapatkan kursi di Dewan tidak cukup. Akuntabilitas dan transparansinya sangat lemah. Penyelewengan bisa dilakukan anggota Dewan dari partai kecil dan persekongkolan penganggaran dengan besaran tak terkontrol bisa dilakukan anggota Dewan. Dengan kata lain, mekanisme dan prosedur penerimaan serta kriteria besaran harus diatur sedemikian rupa agar lebih akuntabel dan transparan. (29j)
Joko J Prihatmoko, anggota KPU Kendal, dosen Unwahas Semarang.
Pipit Kartawidjaja und Mulyana W. Kusuma, „Kisah Mini Sistem Kepartaian“, Jakarta 2004.