Gulirkan isu capres busuk
Surya, 12 Februari 2004
Setelah politisi busuk
SURABAYA, SURYA – Gerakan mahasiswa yang mengusung isu politisi busuk harus terus ditingkatkan intensitasnya. Karena usai pemilu legislatif, 5 April nanti, mahasiswa dapat menggulirkan isu calon presiden (capres) busuk.
„Tidak hanya masalah politisi busuk yang harns digulirkan oleh mahasiswa dalam mengawal proses demokrasi yang dilakukan bangsa ini. Tetapi isu calon presiden busuk juga harus digulirkan juga,“ ungkap Sekjen Komite lndependen Pemantau Pemilu (KIPP) Eropa, Pipit Rochijat Kartawidjaja kepada Surya, Rabu (11/2) setelah menjadi narasumber dalam diskusi Catatan kritis terhadap Pemilu 2004 yang diadakan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Ubaya.
Dijelaskan, pentingnya menggulirkan isu politisi busuk dan capres busuk dalam Pemilu 2004 adalah salah satu cara yang efektif agar bangsa ini tidak salah dalam memilih dan menentukan pemimpin untuk lima tahun mendatang lewat mekanisme demokrasi;
„Bagaimana bangsa bisa maju dan keluar dari krisis multi dimensi kalau lndonesia terus dipimpin oleh orang-orang yang punya cacat secara moral,“ jelasnya.Kekuatan lain di luar mahasiswa, dinilai tidak berdaya dalam menyuarakan aspirasi rakyat.
Untuk itu, mahasiswa selaku ujung tombak perubahan harus tetap konsisten dan tanpa henti dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Karena seringkali isu-isu penting terkait masalah yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat banyak, tertutupi oleh hiruk-pikuk kampanye pemilu yang orientasinya hanya kekuasaan saja.
Sedangkan kekuatan lain di luar mahasiswa, dinilai tidak berdaya dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Terutama ketika harus berhadapan dengan hukum yang ada di negeri ini.
Pipit mencontohkan kasus majalah Tempo dengan Tommy Winata. Dalam kasus itu jelas bahwa suara rakyat yang disampaikan lewat tulisan yang telah melalui investigasi dan verifikasi terlebih dahulu ternyata berujung pada kekalahan Tempo dan harus membayar denda 1 juta dolar AS sebagai ganti rugi ketika beritanya dipermasalahkan dan dibawa ke pengadilan.
Realitas itulah, kata Pipit yang saat ini menghantui orang-orang yang getol menyuarakan aspirasi rakyat, seperti Teten Masduki dari lndonesian Corruption Watch (lCW) dan Hendardi dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia lndonesia (PBHI).
„Kekhawatirannya, kalau isu politisi busuk yang dikampanyekan dipermasalahkan politisi yang masuk dalam daftar politisi busuk ke pengadilan dan berujung pada kekalahan sebagaimana kasus Tempo dengan Tommy Winata,“ terangnya.
Sebabnya, Teten Masduki dan Hendardi aktif di organisasi yang mempunyai badan hukum sebagaimana Tempo. „Bisa saja orang yang dimasukkan dalam daftar politisi busuk menganggapnya sebagai salah satu gerakan politik yang tujuannya untuk mencemarkan nama baik,“ katanya.
Sedangkan mahasiswa tidak punya beban moral dan tendensi apa pun terkait isu politisi busuk atau capres busuk yang disuarakan. „Sehingga untuk menuntut mahasiswa ke pengadilan: rasanya tidak mungkin.“ (k9)