Efektivitas Kuota Perempuan – Dalam Pemilihan Umum
Kompas, 19 Januari 2004
Andayani
FAKTA menunjukkan, perempuan di hampir seluruh belahan dunia tidak terwakili secara proporsional dalam politik. Perempuan menduduki hanya 14,3 persen dari keseluruhan anggota parlemen. Negara-negara Skandinavia (Swedia, Norwegia, dan Denmark) memiliki tingkat keterwakilan perempuan paling tinggi, yaitu mencapai 40 persen, sedangkan jumlah terendah diduduki oleh negara-negara Arab, sekitar 4,6 persen (International Idea, 2002).
INDONESIA, menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2000, memiliki populasi perempuan 51 persen. Dari 177 anggota MPR, perempuan berjumlah 18 orang, yang berarti mencapai hanya 9,2 persen. Hampir serupa, perempuan di DPR berjumlah 45 dari 455 orang, yang berarti mencapai 9 persen. Tingkat partisipasi perempuan Indonesia di lembaga perwakilan rakyat ini sehingga lebih rendah dibandingkan rata-rata negara Asia Tengara lainnya, yaitu 12,7 persen.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dan organisasi masyarakat untuk mendorong partisipasi dan keterwakilan perempuan, salah satunya melalui regulasi kuota yang semakin diterima luas. Di Indonesia, regulasi kuota bagi calon anggota legislatif (caleg) perempuan diyakini sangat signifikan untuk menjamin terartikulasikannya kebutuhan perempuan ataupun sebagai dasar legitimasi negara demokratis.
Pasal 65 Ayat 1 dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu mengatur kuota sekurang-kurangnya 30 persen bagi perempuan. Isu yang kemudian mencuat adalah sampai sejauh mana efektivitas regulasi kuota tersebut? Apakah regulasi kuota seperti yang dijalankan di Indonesia sudah cukup menjamin keterwakilan perempuan?
Apakah regulasi kuota mampu meningkatkan akses perempuan dalam parlemen? Selanjutnya, apakah keterwakilan perempuan tersebut mampu menghasilkan kebijakan yang menguntungkan perempuan?
BELAKANGAN ini para pengamat politik dan aktivis perempuan mempertanyakan efektivitas regulasi kuota 30 persen tersebut. Dr Dewi Fortuna Anwar, pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengkhawatirkan caleg perempuan „hanya dapat nomor sepatu“ atau nomor urut akhir dalam daftar caleg yang diajukan partai politik (Sinar Indonesia Baru/Online, 19 Desember 2003).
Ketua Solidaritas Perempuan Risma Umar dan Presiden Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Eropa Pipit Rochijat Kartawidjaja mengkritik UU Pemilu yang tidak memadai dan mendesakkan perlunya mekanisme pendukung dari internal partai politik (parpol) untuk mendongkrak partisipasi perempuan (Kompas, 5 November 2003).
Regulasi kuota adalah bagian dari affirmative actions atau disebut juga ’diskriminasi positif’ sebagai penyeimbang pengalaman historis yang diskriminatif terhadap perempuan mempunyai bermacam bentuk implementasi. Regulasi kuota seperti yang dijalankan di Indonesia kini sangat tidak memadai karena tidak mengikat partai. Situasi ini berbeda dari Perancis yang melakukan sedikit pemaksaan, yaitu melalui Parity Law pada tahun 1999.
Parity Law yang merupakan amandemen konstitusi ini mensyaratkan setiap parpol menyertakan 50 persen caleg perempuan. Jika sebuah parpol gagal memenuhi kualifikasi itu, pemerintah memberlakukan penalti dalam bantuan keuangan.
Pada bulan Maret 2001, pemilu pertama digelar setelah amandemen konstitusi diberlakukan yang menghasilkan peningkatan signifikan dalam representasi perempuan di parlemen. Angka keterwakilan perempuan meningkat hampir dua kali lipat dari 25 persen ke 47 persen di tingkat National Assembly (MPR).
Di Argentina, regulasi kuota bahkan bersifat wajib untuk dipenuhi setiap parpol. Ley de Cupos yang diundangkan pada tahun 1991 mengatur setiap parpol untuk paling tidak memenuhi 30 persen caleg perempuan dalam proporsi yang memiliki kemungkinan untuk terpilih. Karena itu, parpol tidak dibolehkan memuat perempuan di urutan belakang dalam daftar caleg yang diajukan.
Bagi parpol yang gagal memenuhi kualifikasi tersebut, akan ditolak berkompetisi dalam pemilu. Sebagai hasil dari produk hukum ini, terjadi kenaikan representasi perempuan di tingkat DPR Argentina pada tahun 1993, menjadi 21,3 persen. Pada tahun 1991 tingkat partisipasi perempuan di DPR Argentina adalah 4,6 persen.
Di Belgia, Electoral Act yang diundangkan tanggal 24 Mei 1994 membatasi setiap parpol untuk tidak mengajukan caleg yang berjenis kelamin sama lebih dari 2/3 bagian. Jika sebuah parpol tidak mampu melaksanakan UU ini, daftar caleg harus dibiarkan kosong atau bahkan dianggap tidak sah (Global Database of Quotas for Women, dikutip oleh Norris, 2003).
Bentuk lain dari affirmative actions adalah kebijakan kursi jatah yang dicadangkan untuk perempuan Banglades. Sebelum tahun 2001, Banglades mempraktikkan kebijakan yang mencadangkan 30 kursi khusus untuk perempuan dari 330 kursi yang tersedia.
Pada Pemilu 2002, Pakistan mencadangkan 60 dari 342 kursi yang diperebutkan di tingkat DPR atau sekitar 17 persen, dan di tingkat DPRD 33 persen. Praktik serupa dilakukan oleh Jordania melalui UU Pemilu pada tahun 2001 yang menunjuk enam perempuan dari 110 kursi di tingkat DPR.
BAGAIMANAPUN, kita harus belajar banyak dari pengalaman negara lain, terutama terhadap negara-negara Skandinavia yang representasi perempuan di parlemennya mencapai 40 persen. Sebagai contoh, di Swedia pada tahun 1994, Partai Sosial Demokratik Swedia memperkenalkan zipper principle sebagai regulasi internal partai.
Prinsip ini mengatur nomor urut yang mengharuskan partai tersebut memuat nama kandidat perempuan setelah atau sebelum laki-laki secara bergantian. Apabila nama caleg pertama dalam daftar adalah perempuan, pada urutan kedua adalah laki-laki, selanjutnya perempuan, dan seterusnya berselang-seling.
Menarik untuk mempertanyakan apakah angka keterwakilan perempuan dalam parlemen berkorelasi positif dengan kebijakan yang berpihak kepada perempuan. Penelitian Institute for Women’s Policy Research di Amerika Serikat yang dipublikasikan bulan Mei 2002 menguatkan asumsi korelasi positif ini. Penelitian dilakukan terhadap seluruh negara bagian kemudian dihubungkan dengan kebijakan publik yang dihasilkan.
Hasilnya, di negara bagian yang mempunyai keterwakilan perempuan lebih tinggi memiliki kebijakan yang lebih responsif terhadap pemenuhan sumber daya dan hak-hak perempuan, meliputi proteksi terhadap kekerasan, akses terhadap dukungan penghasilan, proteksi pengangguran yang berpihak pada perempuan, aturan yang memproteksi kelompok minoritas seksual, dan hak-hak reproduksi perempuan.
Dengan demikian, partisipasi dan keterwakilan perempuan signifikan menghasilkan kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan perempuan. Untuk itu, regulasi kuota di Indonesia yang tidak wajib sifatnya tidak cukup karena tidak menjamin meningkatnya akses perempuan di parlemen. Terlebih lagi, ada kesan bahwa apa yang selama ini dilakukan oleh parpol-parpol di negara kita „hanya“ merupakan bentuk respons dari regulasi pemerintah, bukan mekanisme internal parpol yang mereka buat sendiri. Diperlukan aturan yang lebih „memaksa“, baik dari pemerintah maupun dari internal partai, agar regulasi kuota menjadi efektif.
Andayani Pengajar IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta