Timbul-Tenggelamnya Wacana Amandemen Alokasi Kursi DPR
Kompas, 15 Desember 2003
Begitu Komisi Pemilihan Umum pada 21 Agustus 2003 mengumumkan hasil pembahasan akhir alokasi kursi DPR per provinsi pada Pemilihan Umum 2004, pada saat itulah kritik bertubi-tubi dari beragam kalangan harus dituai.
Utusan masyarakat Papua dan Maluku getol mendatangi Gedung KPU meminta beraudiensi menyangkut dasar yang dipergunakan KPU sehingga menghasilkan penetapan seperti itu.
Ketua KPU Provinsi Maluku Tatuhey Jusuf Idrus dan Ketua KPU Provinsi Sulawesi Utara Donald A Rumokoy berikut rombongannya bahkan harus jauh-jauh ke Jakarta dengan membawa aspirasi yang mereka terima di daerah. Kantor KPU Maluku bahkan sempat disegel massa, selain ancaman boikot yang disampaikan pengurus parpol „besar“ di provinsi seribu pulau itu.
Seiring waktu, reaksi itu pun menyurut. Aksi mendatangi Gedung KPU untuk meminta kejelasan soal alokasi kursi itu tidak lagi segencar sebelumnya. Entah karena memang pengumuman yang disampaikan oleh KPU sudah bisa diterima ataukah memang ada alasan lain berupa kebosanan menghadapi putaran persoalan yang tidak berkesudahan. KPU sendiri sudah dikejar tenggat untuk segera memastikan daerah pemilihan ketika partai politik peserta Pemilu 2004 sudah ditetapkan dan bahkan sudah ditentukan nomor urutnya dalam pemilu nanti. Mengacu pada tahapan tersebut, Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti pernah menyebutkan, wacana amandemen sudah out of question. Rencana amandemen UU Nomor 12 Tahun 2003 terbatas pada ketentuan alokasi kursi DPR tamat sudah.
Nyatanya?
Ketika pemberitaan mengenai alokasi kursi DPR menyepi, tiba-tiba muncul kabar pada 9 Desember lalu ketika 27 anggota DPR mengusulkan amandemen khusus mengenai alokasi kursi DPR. Pengusul amandemen tersebut berasal dari lima fraksi, yaitu Fraksi Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan, Kesatuan Kebangsaan Indonesia, dan Partai Bulan Bintang. Sebanyak 18 dari 27 pengusul tersebut berasal dari Fraksi Partai Golkar.
Diberitakan, Wakil Ketua Komisi II DPR Ferry Musyidan Baldan yang berasal dari Fraksi Partai Golkar dan turut menandatangani usulan tersebut menyatakan optimismenya bahwa amandemen bisa diselesaikan sebelum 19 Desember 2003. Usulan yang dimasukkan adalah mengubah Pasal 47 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 menjadi, „Jumlah kursi DPR ditetapkan sebanyak-banyaknya 560.“
Salah satu yang mendasari usulan tersebut adalah adanya penolakan dari masyarakat Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua atas pengumuman alokasi kursi DPR untuk ketiga provinsi tersebut.
Sulawesi Utara disebutkan memperoleh enam kursi, Maluku empat kursi, dan Papua sepuluh kursi. Merujuk perdebatan yang muncul sebelumnya, tudingan paling kencang yang muncul adalah bahwa KPU „salah“ menerjemahkan ketentuan bahwa setiap provinsi mendapatkan kursi DPR minimal sama dengan hasil Pemilu 1999.
Saat itu, Sulawesi Utara (plus Gorontalo) memperoleh tujuh kursi, Maluku (plus Maluku Utara) mendapatkan enam kursi, dan Papua (termasuk Irian Jaya Barat) memperoleh 13 kursi. Namun, untuk alokasi kursi yang diumumkan KPU lalu, ketentuan alokasi minimal sama dengan kursi saat Pemilu 1999 dihitung sebagai akumulasi kursi provinsi induk dan pemekaran.
Secara matematis, KPU tidak mungkin memenuhi keinginan untuk „menambah“ alokasi kursi DPR bagi ketiga provinsi tersebut jika kursi DPR yang tersedia hanya 550 kursi. Dalam berbagai simulasi perhitungan yang telah dilakukan, nyaris mustahil memenuhi keinginan tersebut tanpa harus melanggar ketentuan lainnya. „Batasan kuota maksimal 425.000 penduduk untuk setiap kursi, itu kan, jelas ada dalam undang-undang,“ kata anggota KPU Anas Urbaningrum.
Setelah „mati suri“ cukup lama, usulan amandemen UU Nomor 12 Tahun 2003 terbatas pada ketentuan alokasi kursi DPR itu pun „hidup“ kembali. Merujuk Keputusan DPR No 03A/DPR RI/I/2001-2002 tentang Peraturan Tata Tertib DPR pada Pasal 127, „usulan perubahan rancangan undang-undang dapat diajukan sekurangnya sepuluh anggota DPR“. Usulan tertulis ini bisa pula disampaikan oleh komisi, gabungan komisi, atau badan legislasi. Selanjutnya – seperti juga jika usulan ini muncul dari pihak pemerintah- mekanisme pembicaraan tingkat pertama dalam rapat komisi, rapat badan legislasi, rapat panitia anggaran, atau rapat panitia khusus bersama-sama pemerintah serta pembicaraan tingkat kedua dalam Rapat Paripurna DPR tetap harus berjalan.
Sebelumnya, anggota Komisi II DPR yang menghendaki amandemen, misalnya menjanjikan kemungkinan seluruh proses bisa dipercepat – ada semacam shortcut-untuk mengejar tenggat waktu yang dipatok oleh KPU. Namun, ada pengalaman yang harus dicermati, yaitu UU Bank Indonesia yang rencana awal amandemennya terbatas pada perubahan pasal mengenai pemberhentian Dewan Gubernur BI malahan makin berkembang dan bertambah. Akibatnya amandemen yang berlarut-larut itu menjadikan ketentuan lain dalam undang-undang tersebut terlewati batas waktunya.
KEMBALI kepada materi UU No 12/2003, yang pasti harus disadari, siapa pun yang mau pabalieut ikut mengotak-atik ketentuan alokasi kursi seperti termuat dalam UU No 12/ 2003, akan menemukan tidak ada dalil matematis yang bisa menyelesaikan rumitnya persamaan „sederhana“ tersebut.
Anggota Dewan Pengurus Watch Indonesia di Berlin, Pipit R Kartawidjaja, yang teramat rajin mempraktikkan hitungan alokasi kursi DPR pun mengakui bahwa hitungannya mentok. Jika semua keinginan harus dipenuhi, jelas tidak mungkin jumlah kursi DPR yang hanya 550 kursi bisa memenuhi semua keinginan. Tepatlah kemudian jika Pipit menyatakan bahwa hitugan alokasi DPR menjadi hitungan tersulit di dunia! Apakah yang bisa dilakukan untuk menerjemahkan ketentuan pengalokasian kursi DPR seperti termuat dalam undang-undang secara kaffah?
Yang pasti, pada rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, paparan yang disampaikan anggota KPU Anas Urbaningrum mengenai alokasi kursi per provinsi sulit dibantah dengan dalil matematis yang masuk akal. Saat itu Anas hanya menyajikan data jumlah kursi DPR per provinsi berikut kuotanya yang dihitung berdasarkan acuan penjelasan Pasal 48 Ayat (1) UU 12/2003. Tentu, interpretasi adanya akumulasi perolehan kursi sekurangnya sama dengan menyatakannya sebagai akumulasi provinsi induk dan provinsi hasil pemekaran turut pula disampaikan – meski kenyataannya interpretasi itulah yang paling dominan menjadi bahan perdebatan.
Saat itu dipaparkan, agar ketentuan kuota maksimal 425.000 per kursi tidak terlewati, praktis hanya tiga kursi-masing-masing satu dari Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Barat – yang masih bisa „digerakkan“. Sedangkan 547 kursi DPR lainnya „terkunci“ rapat sesuai dengan ketentuan pembagian kursi sebagaimana ditentukan undang-undang. Karena itu, jika memang harus ada penyesuaian untuk Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua; jumlah kursi DPR sebanyak 550 jelas kurang. Jika hendak „minimalis“, kursi yang dibutuhkan setidaknya 554 kursi atau idealnya bahkan 557 kursi, bukan mati di 550 kursi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 47 UU 12/2003.
Catatan Kompas dari pertemuan tersebut, saat paparan dilakukan, tidak ada satu pun anggota Komisi II DPR yang bereaksi berlebihan. Kalaupun kemudian ada sebagian anggota mempersoalkan hasil tersebut, substansi yang dikedepankan terkesan sangat parsial demi „kepentingan“ memperjuangkan semangat asli (original intension) penjelasan Pasal 48 Ayat (1) Butir a mengenai ketentuan perolehan kursi DPR setiap provinsi minimal sama dengan hasil Pemilu 1999. Lebih dari itu, tidak ada yang melihat lebih menyeluruh ketentuan alokasi kursi yang termuat dalam UU No 12/2003. Namun, ketika wacana amandemen UU No 12/2003 dimunculkan, anggota Komisi II Tahir Saimima terlihat ngotot agar perubahan yang dilakukan tidak dilakukan dengan menambah jumlah kursi DPR yang 550 kursi tersebut. Saat itu, menurut Tahir, jika pasal itu yang diubah, DPR bisa-bisa menjadi sasaran kritik karena seolah hanya mementingkan kepentingan penambahan kursi itu saja.
Catatan lain, seorang pimpinan Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar yang mengaku telah melakukan enam exercise alokasi kursi DPR nyatanya tidak pernah mengeluarkan hasil perhitungannya sebagai bahan persandingan. Itulah yang selama ini diolok-olok Pipit sekadar „omong doang“ karena hasil perhitungan itu tidak pernah dirilis kepada masyarakat umum sebagai bahan perdebatan yang konstruktif. „Saya ingin tahu saja, apakah hasil hitungannya bisa memenuhi semua ketentuan,“ kata Pipit.
Saat itu, anggota KPU sendiri memilih menanggapi „dingin“ perdebatan tersebut. Buat mereka, pendapat yang disampaikan para anggota Komisi II sudah tuntas mereka perdebatkan dalam rapat pleno. Perdebatan di DPR justru seolah menjadi „langkah mundur“ karena mau tidak mau KPU „dibuntukan“ pada jalur yang „menabrak“ ketentuan perundangan. Dengan model hitungan yang „kaku“ seperti yang diinginkan sebagian anggota Komisi II, jelas jumlah 550 kursi DPR tidak akan mencukupi.
Tidak ada langkah maju jika perdebatan hanya berputar-putar pada persoalan Sulawesi Utara (enam atau tujuh kursi), Maluku (yang bertahan minimal enam kursi), atau Papua (yang menginginkan 13 kursi tanpa menghitung diakui tidaknya Provinsi Irian Jaya Barat). Pada akhirnya, dari beragam pilihan, hasil pembahasan akhir itulah yang akan dimatangkan menjadi keputusan KPU. Sebagai catatan, pembahasan akhir alokasi kursi DPR untuk setiap provinsi diperoleh lewat pembahasan yang alot. Dari tujuh anggota KPU yang hadir dalam pleno, alternatif yang kemudian diumumkan sebagai hasil pembahasan akhir itu memperoleh dukungan enam anggota.
Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti mengakui, bisa dikatakan bahwa tidak ada ketentuan pengalokasian kursi yang terlanggar oleh hasil pembahasan akhir yang dilakukan KPU. Namun, semangat untuk mengalokasikan kursi DPR per provinsi yang didasarkan pada perbandingan tingkat kepadatan penduduk memang „sedikit kurang dipertimbangkan“. Seperti pernah dilakukan anggota KPU, pembagian dengan mengikuti klasifikasi provinsi dalam kelompok kepadatan penduduk tinggi (lebih dari 500 jiwa per km persegi) berkuota 425.000, sedang (100-500 jiwa per km persegi) berkuota 375.000, atau rendah (kurang dari 100 jiwa per km persegi) dengan kuota 325.000 jelas-jelas tidak bisa dipaksakan untuk mencukupi pembagian 550 kursi DPR bagi 32 provinsi.
Awal wacana amandemen terbatas UU 12/2003 diapungkan, seperti diberitakan Kompas (19/9), anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Akil Mochtar menyebutkan bahwa perubahan bisa dilakukan sepanjang ada komitmen bersama antara DPR, pemerintah, dan KPU. Yang terpenting kesimpulan yang disampaikan KPU menunjukkan kesulitan mereka untuk menentukan alokasi kursi DPR per provinsi. Soal waktu, seminggu pun dirasa mencukupi untuk melakukan amandemen terbatas atas UU No 12/2003. Hal senada soal waktu yang dirasa mencukupi itu juga pernah dinyatakan Wakil Ketua DPR AM Fatwa dari Fraksi Reformasi maupun anggota Komisi II M Yahya Zaini dari Fraksi Partai Golkar dalam kesempatan terpisah.
Nyatanya?
Komitmen itu tidak pernah tercapai sampai tenggat waktu yang diharapkan KPU. Janji untuk mengamandemen dalam waktu singkat terasa semakin panjang. Pihak DPR dan pemerintah terkesan saling menunggu, meski sebenarnya mereka sudah sama-sama mengetahui buntunya jalan KPU. Padahal, konon, wacana ini sudah sampai pula ke telinga Presiden Megawati Soekarnoputri. Setelah wacana amandemen itu „dihidupkan“ oleh KPU, pihak DPR maupun pemerintah tidak melakukan inisiatif konkret untuk melakukan perubahan secara terbatas. Sebagian menilai, apa yang dilakukan KPU sudah tepat sesuai kewenangannya, di luar adanya kekhawatiran bahwa amandemen itu bisa merembet ke pasal-pasal lainnya. Sementara, yang menghendaki amandemen pun belum utuh merumuskan formulasi perubahannya: apakah jumlah kursi yang diubah ataukah batasan kuota maksimal-minimal yang dinaikturunkan.
Barulah kemudian ketika 27 anggota DPR mengusulkan amandemen itulah, perdebatan kembali muncul. Padahal KPU sendiri sudah ada „berancang-ancang“ untuk menetapkan alokasi kursi DPR versi mereka jika amandemen tidak bisa dilakukan. Perubahan „maksimal“ hanya dilakukan berupa pergeseran satu kursi untuk Provinsi Maluku-pergeseran dipilih berasal dari Nusa Tenggara Barat. Pengumuman itu pertama kali secara resmi disampaikan dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi II DPR pada 17 November lalu.
Sebenarnya, sebelumnya di antara anggota KPU sendiri pun sempat berbeda pendapat: ada yang berharap akan dilakukan amandemen terbatas dan sebagian lainnya berpendapat bahwa KPU tetap bisa menjalankan kewenangannya menetapkan alokasi kursi DPR tersebut. Sejumlah anggota KPU berharap ada pihak yang berwenang dalam soal legislasi yang memulai inisiatif amandemen tersebut. Jika kemudian KPU dimintai pendapat soal formulasi jumlah kursi DPR paling „ideal“, pernyataan „kursi DPR sebanyak-banyaknya 560 kursi“ bisa menjadi solusi.
Direktur Riset Lembaga Survei Indonesia Muhammad Qodari berpendapat, wacana amandemen menyangkut alokasi kursi DPR sudah tidak pas lagi diperdebatkan ketika tahapan Pemilu 2004 terus berjalan. KPU segera dihadapkan dengan agenda penetapan parpol peserta pemilu berikut pencalonan anggota legislatif. Terasa janggal jika tahapan itu sudah harus dilaksanakan, sementara acuan dasar kursi DPR yang akan diperebutkan masih menjadi soal. „Keputusan KPU tidak mungkin akan menyenangkan semua pihak. Itu saja yang dijadikan pegangan,“ kata Qodari.
Sementara, peneliti dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) J Kristiadi mempunyai penilaian yang berbeda. Amandemen yang dibiarkan „tanpa kendali“ justru bisa meruntuhkan sendi demokrasi yang coba dibangun lewat Pemilu 2004. Jika perdebatan terus berputar-putar pada pasal-pasal yang tidak „memuaskan“, selama itu pula tidak ada signifikansi kemajuan yang dilakukan. Pada ujungnya, kondisi tersebut jelas mengkhawatirkan dilihat dari agenda penyelenggaraan Pemilu 2004.
Qodari menyarankan, dengan ketentuan yang sudah ada, alokasi yang sudah diumumkan oleh KPU hendaknya dapat diterima sebagai bagian pembelajaran demokrasi. Jika ditilik pada prinsip one person one vote one value (OPOVOV), alokasi kursi tersebut juga cenderung lebih akomodatif karena perbandingan antara kursi „termahal“ tidak terlampau jauh dengan kursi „termurah“. Bahwa ada hal-hal yang terluputkan oleh undang-undang adalah kebenaran yang tidak bisa dibantah. Namun, yang terpenting saat ini adalah bagaimana mengupayakan semua pihak bisa menerima keputusan yang telah diambil. Menyangkut alokasi kursi ini, KPU harus mendapatkan dukungan politis. Setidaknya, pimpinan pusat parpol harus menyosialisasikannya kepada pengurus di tingkat daerah. Ancaman boikot Pemilu 2004 yang diapungkan oleh pimpinan parpol di Maluku, misalnya, harus secara internal diselesaikan oleh parpol yang bersangkutan.
Ketika penetapan parpol peserta Pemilu 2004 pada 7 Desember terlewat (dengan toleransi lagi sampai pengundian nomor urut parpol peserta pemilu pada 8 Desember), mengapungkan kembali amandemen dirasa tidak lagi tepat. Dalam hal ini, KPU hanya menggunakan kewenangan sebatas yang ditentukan undang-undang. Bahwa kemudian tidak ada solusi konkret dari legislator, itulah kenyataan yang harus bisa diterima semua pihak. Tepatlah kekhawatiran yang disampaikan Qodari, dukungan dari semua pihak sangat dibutuhkan oleh KPU. Hal itu diperlukan untuk menghindarkan mereka sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab soal alokasi kursi ini.
Jadilah kemudian, ketika waktu terus merambat, persoalan terus berlarut-larut. KPU „harus“ mengambil putusan yang diyakini tidak bisa memuaskan semua pihak. Dengan ketentuan undang-undang yang ada, KPU terpaksa „terjebak“ dalam kerancuan antara kealpaan politis dan kesalahan matematis-yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya. Penetapan alokasi kursi DPR per provinsi untuk Pemilu 2004 seharusnya menjadi pelajaran untuk pemilu mendatang.
Pihak KPU sendiri memasrahkan amandemen tersebut kepada DPR dan pemerintah. Meminjam istilah Ramlan, jika boleh berharap, amandemen tersebut bisa dituntaskan sebelum 29 Desember 2003 saat penutupan masa pengajuan calon anggota DPR/MPR oleh pengurus parpol.
Yang pasti, tenggelam dan munculnya kembali wacana amandemen UU No 12/2003 khusus menyangkut ketentuan alokasi kursi DPR untuk setiap provinsi akan menjadi pelajaran mahal. Siapkah semuanya menerima ini sebagai bentuk kealpaan politis yang tidak boleh terulang dalam Pemilu 2009 mendatang-ataukah kita harus menerimanya sekadar permainan matematis yang tidak tuntas? (Sidik Pramono)