Partisipasi Perempuan Tak Cuma Lewat Kuota
Kompas, 05 November 2003
Jakarta, Kompas – Peningkatan partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif tidak cukup dengan aturan kuota seperti termuat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 mengenai Pemilu Anggota Legislatif. Penerapan kuota bagi perempuan seperti yang termuat dalam undang-undang tetap harus didampingi aturan main yang lain, yaitu mekanisme internal parpol sebagai komponen pendongkrak keterwakilan perempuan.
Hal itu dinyatakan Presiden Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Eropa Pipit Rochijat Kartawidjaja dalam acara Konsultasi Nasional dan Pelatihan Nasional Fasilitator Solidaritas Perempuan yang diselenggarakan oleh Consortium for Voter Information Campaign Indonesian (C for VICI) di Jakarta, Selasa (4/11).
Menurut Pipit, partisipasi perempuan dalam lembaga legislatif bergantung pada Undang-Undang Pemilu dan aturan main internal parpol. Indonesia lewat UU 12/2003 telah mencantumkan ketentuan kuota. Pasal 65 Ayat (1) menyebutkan, „Setiap parpol peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.“
Namun, ketentuan kuota tersebut bukan satu-satunya yang bisa menjadi pegangan harapan. Hal itu karena sesungguhnya peluang perempuan untuk berpartisipasi dalam lembaga legislatif pada kenyataannya tetap sangat tergantung pada parpol.
Peran parpol berkaitan dengan pemihakan terhadap peningkatan partisipasi masyarakat akan terlihat pada mekanisme pencalonan kandidat anggota DPR dan DPRD. Ketentuan pengajuan calon maksimal 120 persen dari jumlah kursi yang diperebutkan dalam sebuah daerah pemilihan tidak akan besar artinya jika calon perempuan ditempatkan di urutan bawah pada daftar calon anggota legislatif.
Sementara Ketua Program Politik Solidaritas Perempuan Risma Umar dalam makalahnya menyebutkan, ketentuan kuota seperti termuat dalam undang-undang mesti disikapi secara hati-hati. Kuota 30 persen bagi perempuan tidak bersifat mutlak dan mengikat sehingga tetap terbuka peluang bagi parpol menempatkan calon perempuan sekadar pengumpul suara (vote getter) atau alat legitimasi.
Selain itu, parpol juga mungkin secara sepihak menempatkan wakil-wakil perempuan yang tidak memiliki perspektif dan keberpihakan terhadap nilai, prinsip, dan aspirasi masyarakat. (dik)