Jerman Butuh Gambaran Utuh tentang Indonesia
Suara Pembaruan, 26 Oktober 2003
Dubes Rahardjo Jamtono:
Pengalaman Rahardjo Jamtono sebagai diplomat karier di negara-negara Eropa dimulai tahun 1981. Dengan bekal wawasan dan pengalaman, dia kemudian menyusun strategi khusus sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Jerman sejak dua tahun lalu.
Ketika memulai tugasnya di sana, Jamtono melakukan pendekatan khusus ke parlemen untuk pembentukan caucus friends of Indonesia. Cita-citanya hanya satu, agar parlemen dan pemerintah Jerman memperoleh gambaran yang utuh tentang Indonesia. Berikut petikan wawancara Pembaruan dengan Dubes Rahardjo Jamtono yang didampingi Kabid Penerangan KBRI untuk Jerman, S Hartanti Kustiningsih di Berlin akhir September lalu.
Bagaimana tanggapan Jerman mengenai penanganan terorisme di Indonesia?
Saya kira kalau kita bicara masalah image dalam penanganan terorisme, tidak terlepas dari upaya-upaya kita selama ini, baik tingkat regional maupun tingkat nasional. Pada hakekatnya sudah mendapat pengakuan yang baik dari berbagai kalangan di Jerman, khususnya pemerintah dan parlemen. Namun dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan pers masih menyoroti hal tersebut.
Tindakan-tindakan yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk menangani terorisme, terutama Bali dan Marriott, itu mendapat pujian yang cukup baik. Bahkan dianggap cepat sekali dibanding dengan hal yang sama di negara-negara lain, termasuk di Amerika. Jadi ini mendapat pujian.
Apakah penilaian itu juga berlaku atas tindakan hukum terhadap para pelaku?
Tindakan hukum yang sudah kita (Indonesia) lakukan terhadap teroris, memang ada yang menganggap itu terlalu ringan. Kalangan pemerintah sangat memahami, karena itu bagian integral dari proses demokratisasi atau penegakan supremasi hukum. Jadi, tindakan itu bisa dimengerti kalau memang belum ada bukti-bukti hukum yang menguatkan tuntutan. Belum bisa menjatuhkan hukuman seperti yang dikehendaki, terutama terhadap Abu Bakar Ba’asyir.
Sedangkan terhadap Amrozy dan sebagainya, itu dianggap baik sekali. Karena itu dianggap dapat, atau paling tidak, meredakan keinginan-keinginan di masa datang untuk melakukan hal-hal yang sama ataupun yang disebut pelanggaran kemanusiaan.
Mengapa LSM dan pers masih beranggapan demikian?
Terhadap Amrozy dan Samudera dianggap sangat baik sekali.
Tetapi terhadap Abubakar Ba’asyir, pers maupun LSM, umumnya menganggap itu terlalu ringan. Kalau pemerintah bisa mengerti hal itu.
Bagaimana upaya KBRI untuk memulihkan “image” Indonesia?
Kalau kita bicara image atau citra Indonesia maka dapat ditinjau dari berbagai segi. Bisa citra politik, keamanan, ekonomi, sosial dan sebagainya. Saya mulai dengan citra politik, terutama yang menyangkut pelaksanaan demokratisasi itu sendiri. Hal itu dianggap baik. Kedua menyangkut perlindungan dan promosi hak-hak asasi manusia (HAM). Ada sebagian yang lebih mengkhawatirkan, walaupun pada mulanya mereka sudah gembira sekali adanya upaya-upaya pemerintah dalam rangka penegakan hukum di bidang HAM. Pembentukan pengadilan HAM itu, sangat dipuji mereka. Cuma yang mereka harapkan sekarang adalah pelaksanaannya. Mudah-mudahan tidak terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan standar internasional ataupun terhindar dari penyimpangan-penyimpangan.
Bagaimana tanggapan masyarakat dan pemerintah Jerman mengenai penanganan Aceh dan Papua?
Memang tindakan-tindakan kita terutama di Aceh dan Papua selalu menjadi sorotan mereka. Mereka bisa menerima tindakan pemerintah melalui operasi terpadu. Itu dianggap sudah tepat, oleh karena upaya-upaya Indonesia untuk mencapai perdamaian melalui dialog dan negosiasi ternyata tidak membuahkan hasil. Saya kira Indonesia sudah menunjukkan niat baiknya untuk mengadakan dialog dan negosiasi. Dua kali persetujuan perdamaian sudah dicapai. Yaitu yang pertama mengenai jeda kemanusiaan dan kedua, penghentian permusuhan. Tetapi ternyata dua agreement tersebut tidak dipatuhi oleh pihak GAM, bahkan dipakai oleh GAM untuk melakukan konsolidasi kekuatan. Itu mereka sangat mengerti terutama pemerintah dan parlemen.
Apakah KBRI secara agresif melakukan pendekatan-pendekatan tertentu untuk menjelaskan hal tersebut?
Ya. Karena begini, di kalangan pemerintah itu jelas, kita sering dipanggil, misalnya kementerian luar negeri dan kementerian kerja sama pembangunan yang memberikan bantuan kepada kita. Mereka selalu mengaitkan bantuan itu dengan masalah HAM, demokratisasi, dan lingkungan hidup. Mereka selalu menanyakan hal-hal tersebut kepada kita. Tetapi so far mereka bisa mengerti melalui penjelasan-penjelasan yang kita lakukan secara regular ataupun atas dasar permintaan.
Bagaimana kemitraan dengan parlemen Jerman?
Untuk parlemen, kami juga melakukan pendekatan-pendekatan yang agresif. Saya hampir dua tahun di sini. Pada permulaan tahun 2003 ini sudah terbentuk caucus friends of Indonesia di Bundestag (parlemen). Setiap mereka akan membicarakan masalah Indonesia, kita mengadakan pertemuan dengan kaukus ini sambil melakukan briefing kepada mereka mengenai perkembangan-perkembangan terakhir yang terjadi di Indonesia.
Selain Indonesia, negara-negara mana saja yang memiliki kaukus tersendiri?
Saya kira hanya Indonesia karena memang mereka memberikan perhatian khusus kepada Indonesia
Berarti kita mendapat perlakuan istimewa?
Hal itu terjadi karena pendekatan yang kita lakukan. Dan memang itu adalah program utama yang saya buat. Dengan kaukus ini kita mendapat instrumen untuk melakukan komunikasi dengan anggota parlemen. Kalau tidak, maka saya harus mendatangi semua partai-partai politik (parpol). Ada empat parpol besar di sini (Jerman). Jika itu dijalankan, itu kurang praktis.
Di situ sudah terwakili semua parpol. Dari SDP (Social Democratic Party), CDU (Christian Democratic Union)/CSU (Christian Social Union), partai hijau (Green Party), FDP (Free Democratic Party), dan mereka itu yang menjadi anggota. Tetapi sekarang sudah menjadi 15 orang, dulunya hanya 12 orang. Ketika kita memberikan briefing, tampaknya ada yang interes. Makanya kaukus itu diadakan dan anggotanya bertambah.
Sejauh mana mereka tahu tentang Indonesia?
Setiap parpol di sini memiliki program sendiri untuk berkunjung ke negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Mereka yang tergabung dalam kaukus ini tahu sekali tentang Indonesia dan umumnya mereka juga pergi ke Indonesia. Selain kedudukan mereka di parlemen, kita lihat juga interes mereka terhadap Indonesia. Memang kedalaman mereka untuk memahami Indonesia dapat terbaca. Mereka itu sangat membantu kita.
Bagaimana Anda membangun kemitraan dengan media dan LSM agar terhindar dari penilaian miring?
Memang kami akui, yang sering menjadi persoalan kalau kita melakukan pendekatan kepada stakeholders demokrasi saat ini, media dan LSM. Kita sudah mulai melakukan pendekatan-pendekatan dengan para pimpinan LSM yang masih bersikap kurang positif terhadap Indonesia. Misalnya saja Watch Indonesia dan kelompok evangelista. Kami melihat ada perkembangan positif. Misalnya, mengenai Papua itu. Pada tahun yang lalu, seminar yang terakhir ini sangat positif sekali. Dari KBRI kita mengirimkan utusan dan pimpinan kelompoknya saya sudah panggil ke sini. Kami berdiskusi dan berdialog sampai dua jam. Saya nyatakan dengan berbagai penjelasan dan kerangka dimana kalau melihat masalah Papua harus diperhatikan juga dari berbagai unsur. Ternyata so far so good.
Bagaimana penilaian terhadap keamanan di Indonesia?
Jika melihat keamanan di Indonesia, secara keseluruhan ada perbaikan, terutama dalam penanganan Aceh dan terorisme. Dan itu mempunyai dampak yang sangat positif terhadap investasi.
Apakah itu dapat menjamin masuknya investor ke Indonesia?
Belum tentu, karena iklim investasi di Indonesia sampai sekarang dianggap belum kondusif. Masih banyak keprihatinan dari investor. Pada umumnya kalangan bisnis Jerman menganggap iklim investasi di Indonesia itu belum cukup bagus. Itu disebabkan terutama oleh beberapa faktor yang sangat menonjol. Pertama, mereka menginginkan adanya UU investasi yang lebih liberal. Kedua, ingin agar ada UU perburuhan yang lebih baik. Mereka menginginkan supaya desentralisasi itu tidak melahirkan peraturan daerah (Perda) yang memberatkan investasi di Indonesia. Dan yang terakhir adalah mereka menginginkan transparansi bidang perpajakan dan bea masuk.
UU investasi yang mereka inginkan adalah dimasukkannya national treatment, ialah perusahaan asing juga diperlakukan relatif sama dengan perusahaan PMDN (penanaman modal dalam negeri). Jadi tidak mengalami diskriminasi dan jaminan tidak adanya nasionalisasi. Itu juga sangat penting bagi mereka. Kemudian bidang investasi, bisa diperluas. Artinya negative list bisa dikurangi. Daftar bidang-bidang yang tidak diperbolehkan investasi asing, mungkin dilonggarkan. Kemudian juga tingkat partisipasi di dalam capital. Modal penyertaan itu diharapkan dapat mencapai 100 persen.
Di bidang pengamanan, saya kira dalam penanganan terorisme, dianggap sudah baik, dan cukup menggembirakan. Akan tetapi kalau kita bicara tentang pelaksana hukumnya, masih ada yang belum puas. Terhadap hukuman itu dianggap sangat baik.
Disebutkan investasi Jerman yang baru sejak krisis mengalami penurunan. Indikator itu juga dapat terlihat dari berkurangnya jumlah anggota Ekonid (Perkumpulan Ekonomi Indonesia – Jerman)? Faktor apa yang menonjol, apakah hanya karena terorisme atau ada faktor lain?
Ada faktor yang sangat menentukan. Pertama, stabilitas politik. Sulit mengharapkan investasi dalam jangka menengah dan panjang jika stabilitas politik terganggu. Yang kedua, keamanan, sedangkan ketiga adalah kepastian hukum. Kalau dulu, waktu kita baru mulai, stabilitas politik ini sangat mengganggu sehingga ada beberapa yang keluar. Tetapi sekarang, dua faktor yang pertama ini tergolong sudah mulai membaik. Yang terpenting saat ini adalah kepastian hukum.
Meskipun Indonesia sering digambarkan sebagai kawasan yang kurang kondusif, apakah ada daerah-daerah yang dianggap memiliki pengecualian?
Untuk investasi di Indonesia saya kira Batam adalah yang paling menarik. Cuma satu hal, mengenai status Batam dengan UU FTZ (Free Trade Zone) itu harus segera dituntaskan. Jangan terkatung-katung. Investor akan mengambil sikap sampai semuanya itu mantap.
Menurut pemantauan Anda, apakah investor Jerman prihatin tentang hal tersebut?
Iya, terutama investor baru. Seperti yang sudah saya katakan, kita tidak terlalu kesulitan berhadapan dengan investor lama karena mereka sudah mengerti dan bahkan kemarin ada yang mengatakan sudah memperluas atau ekspansi perusahaan mereka seperti Siemens. Jadi dari yang lama, saya tidak begitu khawatir. Hanya yang baru saja.
Memang Batam boleh dikatakan sebagai pengecualian, tetapi apa yang perlu dilengkapi oleh daerah-daerah lain agar menarik bagi investor?
Saya sudah menerima misi promosi dari berbagai daerah. Imbauan saya, mohon kunjungan itu datang dengan mengadakan persiapan. Tahu jelas sasaran-sasaran yang ingin dicapai sehingga di sini pun bisa menemukan calon-calon partner yang tepat. Yang sering saya temui, mereka kurang memahami hal ini, bahkan di dalam persiapan kerap menyulitkan kita. Kedua, imbauan saya visi dan misi itu jangan terlalu umum sifatnya, akan tetapi lebih fokus. Misalnya untuk infrastruktur transportasi. Betul-betul untuk itu saja, sehingga di sini lebih mudah. Jangan muncul dengan misi promosi yang mencapai 25 orang dan terdiri dari 25 line office. Sebaiknya berdasarkan pendekatan komoditas ataupun sektor. Saya kira itu akan lebih efektif daripada misi-misi yang tidak jelas.
Partisipasi Indonesia di fair/exhibition di sini sangat diharapkan. Jerman ini merupakan negara exhibition. Setiap landers mempunyai messe-messe, convention hall. Pameran-pameran di sini yang bertaraf global, sehingga kalau mereka ke sini tidak hanya ketemu dengan pengusaha Jerman, tetapi sekaligus dengan pengusaha dari seluruh dunia, multinasional. Jadi contohnya yang sudah dilakukan di bidang furniture ataupun medical. Pabrik-pabrik yang besar itu datang berpameran di berbagai kota di Jerman. Omset yang diperoleh dari keikutsertaan kita cukup menggembirakan. Pada kesempatan itu juga mereka langsung membina hubungan dan jaringan-jaringan dagang dengan mitra dagang lain. Kalau kita mengadakan sendiri pameran itu, biayanya sangat besar. Perlu diingat, karena pameran di sini bertaraf internasional maka pengunjungnya juga tidak tanggung-tanggung, puluhan ribu pengusaha.
Apa pendapat Anda tentang perluasan ekonomi Eropa dan implikasinya bagi Indonesia?
Saya kira itu dapat dilihat dari dua kemungkinan. Pertama, menjadikan Eropa satu pasar, hal itu memberikan peluang pasar bagi kita. Untuk itu Indonesia harus menjual barang sesuai dengan standar Eropa. Karena dengan penyatuan pasar inilah, maka standar itu akan lebih tinggi.
Kedua, akan terjadi persaingan di antara perusahaan-perusahaan Eropa sendiri. Yang mempunyai standar tinggi nanti yang akan terus eksis. Dan itu bisa terjadi di mana saja di Prancis dan negara Eropa lainnya. Mereka akan memilih pasar seluruh Jerman. Sehingga jika kita akan bersaing dengan mereka, tentu kita harus memenuhi kondisi-kondisi yang mereka inginkan. Di samping masalah kualitas, juga jaminan supply, pembayaran, tentu harus kita perhatikan. Jadi penyatuan ini bisa berdampak positif dan bisa negatif. Yang saya khawatirkan, jika terjadi standardisasi dan kita tidak mampu mengikutinya. Kalau kita mampu, itu menjadi peluang. Pekerjaan rumah di dalam negeri kita adalah meningkatkan produktivitas, efisiensi dan standardisasi.
Saya lihat negara Eropa yang lebih terbelakang akan menjadi saingan kita. Yang saya maksudkan, bekas negara-negara Uni Soviet, Eropa Tengah dan Eropa Timur. Karena sekarang sudah kelihatan sekali di Jerman terjadi relokasi industri dari Barat ke Timur. Misalnya BMW sudah mendirikan pabrik terbesar di Leizig (bekas Jerman Timur). Di sana tanah lebih murah dan labour- pun murah walaupun harus meningkatkan produktivitasnya, juga mental setting mereka yang bekas komunis. Tetapi, kalau kita lihat perkembangannya dalam 13 tahun ini, hal tersebut dapat berubah, terjadi penyesuaian. Karena itu mereka sudah berani melakukan keputusan strategik di bidang bisnis. Mengalihkan pabrik BMW merupakan salah satu tanda.
Kemudian mereka melihat ke depan, dalam rangka untuk menjaring pasaran Eropa Tengah dan Timur sehingga jarak dari Jerman Timur, relatif dekat. Industri juga beralih tidak hanya dari Jerman Barat ke Timur tetapi juga ke Eropa Timur, Polandia, dan Ceko. Itu tantangannya dan kita harus mulai outward looking, kita melihat dari dalam dengan perspektif luar. Jangan ke dalam terus.
– PEWAWANCARA : FEYBE LUMANAUW