Daerah Pemilihan, Penentu Ayunan Bandul Kemenangan
Kompas, 27 September 2003
KETIKA diminta menjelaskan konsep daerah pemilihan yang akan digunakan dalam Pemilihan Umum 2004, seorang calon anggota Komisi Pemilihan Umum provinsi itu kemudian meminta izin untuk menggambarkan konsep daerah pemilihan versinya. Mula-mula ia menggambarkan sebuah tempat pemungutan suara. Kemudian dia melingkari wilayah di sekitarnya. Batas wilayah sekitar TPS itulah yang disebutnya sebagai daerah pemilihan. Ketika ditanyakan apakah sawah dan empang di sekitar sebuah TPS termasuk dalam daerah pemilihan yang diceritakannya, calon tersebut tegas menjawab, „Ya!“
CERITA itu dituturkan anggota KPU Hamid Awaludin sekitar pengalamannya saat melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di sebuah provinsi di Sulawesi. Jelaslah sudah. Konsep daerah pemilihan sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 mengenai pemilu anggota legislatif jelas-jelas belum tersosialisasikan dengan baik. Bahkan calon anggota KPU daerah yang mestinya dinilai paling siap menjadi kepanjangan tangan KPU pusat pun masih berpikiran yang berbeda jauh dengan ketentuan undang-undang.
Merujuk ketentuan UU Nomor 12/2003 Pasal 46 Ayat (1), pada Pemilu 2004 nanti yang dimaksudkan sebagai daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi atau bagian dari provinsi. Daerah pemilihan untuk anggota DPRD provinsi adalah kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota. Daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota adalah kecamatan atau gabungan kecamatan.
Jika diperbandingkan, pada pemilu sebelumnya, daerah pemilihan DPR atau DPRD merupakan satu wilayah administratif yang utuh. Pada Pemilu 1997 keputusan yang memuat aturan mengenai daerah pemilihan adalah keputusan Menteri Dalam Negeri/Ketua Lembaga Pemilihan Umum Nomor 84 Tahun 1996. Kepmendagri itu mengatur penetapan jumlah anggota DPR yang dipilih untuk tiap daerah pemilihan serta jumlah anggota DPRD tingkat I dan II yang dipilih dan diangkat untuk tiap daerah tingkat I dan II. Pasal 1 huruf c keputusan tersebut menyatakan bahwa daerah pemilihan adalah wilayah untuk menetapkan terpilihnya sejumlah anggota DPR/DPRD I/DPRD II dalam pemilu, yaitu daerah tingkat I untuk pemilu anggota DPR dan DPRD I serta daerah tingkat II untuk pemilu anggota DPRD II.
Pada Pemilu 1999, ketentuan mengenai daerah pemilihan tidak berubah. Pasal 3 UU No 3/1999 menyatakan untuk pemilihan anggota DPR, daerah pemilihannya adalah daerah tingkat I. Untuk pemilihan anggota DPRD I, daerah tingkat I merupakan satu daerah pemilihan. Sementara untuk pemilihan anggota DPRD II, daerah tingkat II merupakan satu daerah pemilihan. Seorang calon anggota DPR atau DPRD hanya bersaing di daerah pemilihan tertentu. Dengan termuatnya sekaligus daftar nama calon anggota DPR dan DPRD-selain nama partai politik peserta pemilu-pada surat suara nanti, tertutup sudah kesempatan bagi calon anggota legislatif untuk menerapkan praktik „lompat pagar“ dan „lompat wilayah“ yang pada Pemilu 1999 lalu masih terjadi.
PERBEDAAN ketentuan soal daerah pemilihan tersebut sangat signifikan jika kemudian dirujukkan dengan ketentuan Pasal 46 Ayat (2) UU No 12/2003 bahwa besaran daerah pemilihan adalah 3-12 kursi. Sebagai konsekuensi konsep daerah pemilihan plus batasan kursi setiap daerah pemilihan, KPU menerima tanggung jawab pemetaan daerah pemilihan yang baru pertama kalinya dilakukan sepanjang sejarah pemilu di Indonesia. Jika dalam pemilu sebelumnya sebuah wilayah administratif secara kaku (rigid) merupakan sebuah daerah pemilihan tersendiri. Maka untuk Pemilu 2004 nanti KPU harus menelisik setiap daerah untuk menentukan wilayah administratif mana saja yang harus saling bergabung menjadi sebuah daerah pemilihan DPR atau DPRD. Sebuah provinsi yang sebelumnya menjadi sebuah daerah pemilihan anggota DPR tersendiri, bisa jadi untuk Pemilu 2004 nanti harus terpetak dalam beberapa daerah pemilihan.
Tahapan pertama dalam penetapan daerah pemilihan adalah dengan menghitung terlebih dahulu jumlah kuota kursi yang diperoleh sebuah wilayah administratif. Caranya dengan membagi populasi wilayah atau jumlah penduduk dengan jumlah kursi anggota legislatif. Jumlah kuota ini masih merupakan langkah sementara karena masih ada ketentuan alokasi 3-12 kursi untuk setiap daerah pemilihan yang harus ditepati.
Jika saklek (tegas) pada ketentuan undang-undang, sebuah wilayah administratif yang mendapatkan jumlah kuota lebih dari tiga kursi, mestinya wilayah tersebut bisa berdiri sendiri sebagai sebuah daerah pemilihan tersendiri. Jika kurang dari tiga kursi, jelas wilayah administratif itu harus digabungkan dengan wilayah lainnya untuk membentuk sebuah daerah pemilihan. Menurut Yayasan Internasional untuk Sistem Pemilihan Umum (International Foundation for Election Systems, IFES) Indonesia, pendekatan minimising district magnitude yang dikenal sebagai pendekatan 3-12 kursi tersebut bisa berdampak terjadi wilayah administratif yang terjepit, ukuran rata-rata daerah pemilihan yang kecil. Selain itu, pilihan atas alternatif ini menjadikan jumlah parpol yang mendapatkan kursi sedikit.
Namun, KPU mengambil kebijakan bahwa secara umum besaran daerah pemilihan diusahakan mengarah pada 6-12 kursi. KPU beralasan kecenderungan „bermain atas“ tersebut sesuai dengan sistem pemilu yang proporsional. Kecenderungan „menengah-besar“ juga akan meminimalisasi suara yang hangus tidak terkonversi menjadi kursi-terlebih ketika aturan melarang penggabungan sisa suara (stembus accoord). Pilihan tersebut juga memungkinkan adanya kemudahan administrasi pemilu dan pemenuhan logistiknya. Akuntabilitas kecenderungan „bermain atas“ ini juga tetap lebih baik jika dibandingkan dengan Pemilu 1999 yang daerah pemilihannya tetap lebih besar.
Kembali ke soal hitungan awal tadi, dari langkah sementara penghitungan jumlah kuota di atas, dapat ditentukan wilayah administratif mana yang harus digabungkan untuk dijadikan satu daerah pemilihan tertentu. Dalam proses pemetaan daerah pemilihan anggota DPR, KPU menyebutkan bahwa sebuah provinsi yang alokasi kursinya kurang dari 12 langsung ditetapkan sebagai daerah pemilihan tersendiri. Jika mengacu pada hasil pembahasan akhir alokasi kursi DPR yang diumumkan 21 Agustus 2003 lalu, terdapat 20 provinsi yang langsung menjadi daerah pemilihan tersendiri.
Sementara untuk 12 provinsi yang alokasi kursinya lebih dari 12 kursi dibagi menjadi beberapa daerah pemilihan dengan alokasi kursi antara 6-12 kursi setiap daerah pemilihan. Sebagai contoh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang mendapatkan alokasi 13 kursi DPR rencananya akan dibagi menjadi dua daerah pemilihan. Demikian pula dengan Jawa Barat, misalnya. Dengan 90 kursi DPR, Jawa Barat rencananya akan dibagi menjadi sepuluh daerah pemilihan.
Untuk menarik batas daerah pemilihan, beberapa pertimbangan harus diperhatikan, seperti integralitas wilayah, kohesivitas, dan kesinambungan. Mengutip paparan dari IFES, sebuah daerah pemilihan secara geografis merupakan wilayah yang tidak terpisah-pisah (contiguous), relatif „padat“ bentuknya (compact). Selain itu, pembagian daerah pemilihan harus mempertimbangkan kendala geografis, ketersediaan jaringan transportasi dan komunikasi, serta faktor kesamaan latar belakang sosial-budaya masyarakat yang digabungkan dalam sebuah daerah pemilihan tertentu.
Deputi Direktur Eksekutif Pusat Reformasi Pemilu (Centre for Electoral Reform, Cetro) Hadar Navis Gumay dalam sebuah seminar di Jakarta awal September menyebutkan, rentang kursi per daerah pemilihan menghasilkan keterwakilan yang secara politis bisa sangat berbeda. „Semakin banyak kursi yang diperebutkan dalam sebuah daerah pemilihan, semakin besar ukuran daerah pemilihan, hasil pemilihan akan semakin proporsional dan akan relatif mudah bagi parpol untuk memperoleh kursi,“ kata Hadar. Karena itu, jika menimbang hal tersebut, pilihan untuk cenderung menggunakan besaran daerah pemilihan 6-12 kursi merupakan pilihan paling akomodatif.
Namun, pilihan kecenderungan pembentukan daerah pemilihan yang relatif besar (yang salah satunya mengharuskan adanya penggabungan wilayah administratif) membawa keragaman implikasi. Secara politis, daerah pemilihan sangat mempengaruhi hasil pemilu dan konsepsi keterwakilan. Seorang anggota DPR atau DPRD hasil Pemilu 2004 nanti merupakan representasi sebuah daerah pemilihan yang bisa jadi terdiri atas dua atau tiga wilayah administratif. Bisa jadi ada kekhawatiran masyarakat pemilih bahwa wilayah administratif mereka tidak terwakili dalam lembaga legislatif.
Selain itu secara internal, kompetisi antar calon anggota legislatif dalam satu parpol pun cenderung ketat. Penentuan nomor urut dalam daftar calon masih merupakan potensi konflik internal yang harus dicermati. Dengan ketentuan undang-undang yang masih mengesahkan surat suara yang hanya dicoblos tanda gambar parpolnya, peluang terbesar akan diperoleh seorang calon anggota legislatif yang ditempatkan di urutan teratas daftar calon anggota DPR/DPRD. Merujuk kebiasaan bahwa seorang pimpinan pengurus parpol terbiasa ditempatkan di urutan pertama, apa jadinya jika Kabupaten Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan Kota Surakarta digabungkan sebagai sebuah daerah pemilihan? Siapa yang hendak ditempatkan di urutan pertama daftar calon: ketua pengurus cabang parpol di Kabupaten Sukoharjo, Klaten, Boyolali, atau Kota Solo?
Mengutip pendapat Moh Adhy S Aman dari IFES, adanya daerah pemilihan yang merupakan gabungan wilayah administratif juga mengemban tambahan beban fungsi koordinasi antarsesama-KPU daerah. Misalkan saja ada beberapa kabupaten/kota yang digabungkan menjadi satu daerah pemilihan anggota DPR, harus mulai dipikirkan adanya KPU kabupaten/kota yang difungsikan sebagai „koordinator“ dalam distribusi sampai rekapitulasi hasil pemungutan suara.
LEBIH dari sekadar kesulitan logistik ataupun kesulitan pemilih dengan daftar nama calon yang bejibun, daerah pemilihan merupakan bagian awal terpenting untuk strategi pemenangan parpol. Besaran daerah pemilihan yang ditandai dengan banyak-sedikitnya kursi yang diperebutkan akan sangat menentukan persentase minimal perolehan suara yang harus didulang untuk dapat terkonversi menjadi kursi DPR atau DPRD.
Presiden Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Eropa Pipit R Kartawidjaja menyatakan, besaran kursi yang diperebutkan dalam sebuah daerah pemilihan sangat berpeluang bagi parpol untuk mengirimkan wakilnya di DPR atau DPRD. Dengan besaran daerah pemilihan diketahui, langsung dapat dihitung pula ketinggian ambang (threshold) atau persentase suara yang harus direbut untuk meraih kursi yang ada.
Ambang bawah (lower threshold) merupakan persentase minimal untuk boleh berharap mendapatkan kursi. Persamaan matematis untuk ambang bawah ini adalah bilangan satu dibagi dua kali kursi yang tersedia di daerah pemilihan tersebut. Jadi, jika hanya tersedia tiga kursi pada daerah pemilihan, maka ambang bawahnya menjadi seperenam atau 16,67 persen. Dengan raihan persentase suara sebanyak itu, sebuah parpol baru boleh „berharap“ mendapatkan kursi.
Sementara ambang atas (upper threshold) mempertegas rasa aman dan nyaris kepastian perolehan kursi. Persamaan matematisnya adalah bilangan satu dibagi dengan jumlah kursi plus satu. Dengan tiga kursi pada sebuah daerah pemilihan, misalnya, untuk menjamin rasa aman dan pasti mendapatkan sebuah kursi, sebuah parpol harus mendapatkan minimal 25 persen suara. Sementara dalam daerah pemilihan dengan besaran 12 kursi, perolehan suara sebanyak 7,69 persen bisa menjamin konversi satu kursi.
Dengan adanya nilai ambang yang sebanding dengan sedikit-banyaknya kursi yang diperebutkan, maka dapat ditarik premis bahwa semakin banyak kursi yang diperebutkan dalam satu daerah pemilihan, semakin besar peluang partai baru dan sedang berkembang untuk bersaing memperebutkan kursi. Namun, anggota KPU Anas Urbaningrum menilai, parpol besar dan mapan pun relatif tidak akan kesulitan bersaing karena sebelumnya pun mereka terbiasa bersaing di daerah pemilihan yang besar dengan alokasi kursi yang besar pula.
Merujuk keterangan tersebut, demi kelangsungan hidupnya, parpol harus jeli mengatur strategi. Parpol baru dan berkembang memang harus memusatkan konsentrasi bertarung di daerah pemilihan yang besar. Pada daerah pemilihan seperti itu, peluang untuk merebut kursi lebih besar. Tentu lain soal jika parpol yang baru dan berkembang tersebut memang benar-benar memiliki basis massa mayoritas yang benar-benar solid dan loyal di sebuah daerah pemilihan.
Kesenjangan mencolok jumlah kursi yang diperebutkan antar-daerah pemilihan juga berimbas pada persoalan keadilan, terutama dilihat pada besar-kecilnya nilai ambang terselubung. Perbedaan tersebut memberikan peluang yang berbeda bagi parpol di daerah pemilihan yang berbeda. Pada daerah pemilihan yang besar, persentase suara yang dibutuhkan untuk merebut satu kursi tidak terlampau banyak jika dibandingkan persentase minimal yang bisa dikonversi sebagai kursi pada daerah pemilihan yang kecil. Kesempatan bersaing yang „adil“ masih sangat ditentukan oleh besaran daerah pemilihan tersebut.
Konsistensi memang sangat diperlukan dalam pemetaan daerah pemilihan. Meski demikian, hambatan geografis dan sebaran penduduk yang tidak merata menjadikan rentang besaran daerah pemilihan tetap terjadi. Sebagai contoh, draft KPU menyebutkan bahwa rentang daerah pemilihan anggota DPR di Provinsi Jawa Barat adalah antara enam kursi untuk daerah pemilihan Jawa Barat I (Kota Bandung dan Kota Cimahi) sampai 12 kursi untuk Jawa Barat V (Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, dan Kabupaten Depok). Dengan mengacu pada ambang atas, parpol dengan persentase suara minimal 14,28 persen di Jawa Barat I baru boleh yakin mendapat satu kursi. Sementara di Jawa Barat V, keyakinan boleh digantungkan oleh sebuah parpol cukup dengan mengantongi 7,69 persen.
Seperti dinyatakan Pipit Kartawidjaja, lebih dari persoalan sistem pemilu, pemetaan daerah pemilihan memungkinkan adanya „tuyul“ yang sangat menentukan besar-kecilnya peluang seorang calon anggota legislatif dipilih. Bandul kemenangan pun bisa sedikit demi sedikit tertebak arahnya begitu ekspose daerah pemilihan dilakukan. Parpol yang „cerdas“ langsung bisa memantapkan strategi begitu peta daerah pemilihan dihamparkan.
Jika sudah begitu, di tengah parpol yang beradu strategi, penyiapan calon pemilih yang tidak kalah cerdas semakin tidak boleh dikesampingkan. Soalnya, dengan menyepakati bahwa Pemilu 2004 adalah agenda nasional, jangan sampai hajatan itu sekadar pesta kemenangan segelintir kelompok saja…. (Sidik Pramono)