Akomodasi Isu Jawa-Luar Jawa yang Setengah-setengah
Kompas, 17 September 2003
Alokasi Kursi Dewan Perwakilan Rakyat (Bagian 2 – Habis)
PENGUMUMAN hasil pembahasan final alokasi kursi DPR yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum akhir Agustus 2003 memang bisa „digoreng“ melebar ke dalam keseimbangan representasi Jawa-luar Jawa. Mengapa enam provinsi di Jawa harus mendominasi dengan 303 kursi dari total 550 kursi DPR? Padahal, saat Pemilu 1999, Jawa hanya memperoleh 234 kursi dari total 500 kursi DPR.
DALAM pertemuan dengan KPU, beberapa delegasi menyebutkan, Indonesia benar-benar meminggirkan wilayah „Mamalupa“. Faktanya, Maluku, Maluku Utara, dan Papua untuk Pemilu 2004 nanti hanya memperoleh alokasi kursi DPR sebanyak 19 kursi, tidak bertambah jika dibandingkan dengan Pemilu 1999. Salah siapa jika sampai hal itu yang terjadi?
Tidak bolehkah ketentuan penetapan alokasi kursi sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD disebut pencangkokan setengah-setengah? Simak saja ketentuan bagian penjelasan Pasal 48 Ayat (1). Ketiga butir penjelasan tersebut mengindikasikan adanya kompromi politis, meski kemudian terlihat kebersinggungan teknis antara ketiga butir ketentuan itu.
Informasi yang dihimpun Kompas, saat pembahasan materi rancangan undang-undang tersebut, kuota setiap kursi DPR awalnya dipatok minimal 325.000 dan maksimal 425.000. Cara berhitungnya sederhana. Karena pasal sebelumnya mengenai ketentuan jumlah kursi DPR sebanyak 550 kursi telah „diketok palu“, maka kuota rata-rata diambil sekitar 400.000-an dengan estimasi penduduk Indonesia mencapai 210 juta jiwa. Kuota minimal diharapkan bisa menjaring kategorisasi wilayah luar Jawa sebagai daerah berkepadatan rendah dan enam provinsi di Jawa sebagai daerah berkepadatan tinggi, meski ternyata kemudian parameter padat dan tidak padat harus dicari-cari lagi.
Entah data kependudukan mana yang digunakan, namun rentang 325.000-425.000 tersebut dianggap sudah akan merangkum seluruh provinsi dengan seluruh ketentuan akan tertaati dengan baik. Padahal, jika digunakan acuan data Pemilu 1999, jumlah penduduk Indonesia berikut komposisinya telah berubah. Bahkan, KPU sendiri mengakui bahwa data yang termuat dalam Keputusan KPU Nomor 185 Tahun 2002 – mengenai jumlah badan penyelenggara pemilu di daerah, jumlah pemilih, dan jumlah penduduk yang antara lain memuat estimasi jumlah penduduk pada 30 provinsi, berikut kemungkinan jumlah pemilih pada Pemilu 2004 – bukan merupakan data yang akurat karena semuanya didasarkan pada estimasi.
Terpampanglah kemudian perbedaan signifikan ketika hasil Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B) – yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik – diumumkan KPU. Sesuai keputusan awal, data P4B merupakan patokan resmi untuk kepentingan Pemilu 2004. BPS sendiri mengakui, P4B memberikan hasil yang lebih baik ketimbang sensus penduduk yang biasa mereka lakukan.
DENGAN ketentuan batasan kuota minimal 325.000 dan maksimal 425.000, usulan agar ada jaminan setiap kabupaten/kota mendapatkan satu kursi DPR – sebagaimana berlaku pada pemilu sebelumnya – sebenarnya otomatis terpental. Namun, masih ada yang mencoba mempertahankan itu dan jadilah kemudian kompromi berupa pemuatan ketentuan. Ketentuan pertama bahwa kursi DPR pada sebuah provinsi minimal sama dengan kursi hasil Pemilu 1999; dan ketentuan kedua adalah provinsi baru mendapat jaminan tiga kursi, berapa pun kuotanya.
Alasan yang mengemuka, kedua ketentuan tersebut dilahirkan untuk menjaga prinsip keadilan representasi daerah, semangat menjaga keseimbangan perwakilan dari daerah di Pulau Jawa yang padat penduduknya, dan luar Jawa yang kepadatan penduduknya dianggap rendah. Jika hanya mengacu pada perimbangan penduduk, dikhawatirkan jumlah anggota DPR dari daerah pemilihan di Pulau Jawa akan mendominasi lembaga legislatif.
Lewat paparan itu, jelas tampak masih ada semangat „pencangkokan“ ketentuan alokasi pada pemilu sebelumnya yang menyatakan bahwa setiap daerah tingkat II (sekarang kabupaten/kota) memperoleh jaminan satu kursi DPR.
Nyatanya, semangat menjaga keseimbangan Jawa dan luar Jawa hanya tersuratkan dalam ketentuan yang „malu-malu“. Padahal jika mau, undang-undang pun bisa saja mengatur soal perimbangan itu dengan lebih jelas. Simak saja bagian penjelasan UU No 15/1969 tentang Pemilu Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakjat. Pada bagian penjelasan umumnya jelas termuat bahwa keseimbangan jumlah anggota DPR yang dipilih di Jawa dan luar Jawa merupakan persoalan yang harus dipertimbangkan.
Undang-undang itu menentukan bahwa jumlah anggota DPR yang dipilih dalam daerah pemilihan di Jawa ditentukan seimbang dengan jumlah anggota yang dipilih di luar Jawa. Penentuan banyaknya wakil dalam setiap provinsi menggunakan perhitungan sekurangnya 400.000 penduduk memperoleh seorang wakil.
Namun, dengan semangat perimbangan Jawa-luar Jawa itu, jumlah wakil dalam tiap daerah pemilihan sekurangnya sama dengan jumlah daerah tingkat II (sekarang kabupaten/ kota) yang ada dalam daerah pemilihan tersebut. Setiap daerah tingkat II sekurang-kurangnya mempunyai satu wakil di DPR.
Jelas tersurat dalam bagian penjelasan tersebut, „Apabila dalam pemilihan umum dipergunakan dasar djumlah penduduk, maka djumlah wakil jang dipilih dari pulau Djawa akan banjak melebihi wakil dari luar Djawa. Mengingat luas dan potensinja daerah-daerah di luar Djawa jang djumlah penduduknja kurang dari pada Djawa, maka perlu kiranja daerah luar Djawa tersebut mendapat perwakilan sesuai dengan kepentingannja daerah tersebut.“
Meski tidak secara tersurat persis, pemilu berikutnya pun mengadopsi ketentuan yang sama. Misalnya saja saat Pemilu 1999, setiap kabupaten/kota dijamin memperoleh satu kursi, minimal satu kursi DPR, meski sebenarnya kuota riil setiap kursi DPR sebanding dengan 450.000 penduduk. Meski demikian, tetap saja ada perkecualian karena Provinsi Timor Timur – yang berpenduduk 891.000 jiwa dengan 13 daerah tingkat II – hanya memperoleh jatah empat kursi DPR, dan bukannya 13 kursi. Alasan yang dikedepankan adalah pengutamaan asas keadilan dan keseimbangan.
Bandingkan saja jumlah penduduk Timor Timur (891.000 jiwa) dan Bengkulu (1.566.100 jiwa) yang sama-sama hanya memperoleh empat kursi karena jumlah daerah tingkat II Bengkulu memang hanya empat buah. Apa jadinya jika Timor Timur ketika itu memperoleh 13 kursi, padahal penduduknya lebih sedikit?
Tilik juga konsekuensi lainnya dari ketentuan tersebut. Nusa Tenggara Timur yang hanya berpenduduk 3.754.200 jiwa berhak atas 13 kursi, sementara tetangganya Nusa Tenggara Barat yang penduduknya 4.136.000 jiwa malah hanya memperoleh sembilan kursi. Sumatera Barat yang penduduknya 4.511.800 jiwa berhak mendapat 14 kursi, sementara Riau yang penduduknya tidak berbeda jauh, sebanyak 4.330.100 jiwa, hanya memperoleh sepuluh kursi.
Apa jadinya jika ketentuan setiap kabupaten/kota dijamin mendapat satu kursi DPR itu juga digunakan untuk Pemilu 2004? Jika menilik jumlah kabupaten/kota, enam provinsi di Jawa hanya memiliki 115 kabupaten/kota dan 26 provinsi lain di luar Jawa terdiri atas 301 kursi. Dengan demikian, dari 550 kursi DPR yang ada, praktis hanya sisa kursi sebanyak 134 kursi yang harus dibagikan berdasarkan perimbangan jumlah penduduk.
Sebagai perbandingan, pada Pemilu 1999 – dengan 462 kursi DPR yang dipilih – sisa kursi yang harus dibagikan berdasarkan perimbangan jumlah penduduk masih sebanyak 144 kursi dengan kuota (angka pembagi pusat) mencapai 450.000 penduduk per kursinya.
UNTUK Pemilu 2004, batasan kuota minimal-maksimal 325.000-425.000 memang disadari sebagai pendekatan atas prinsip satu orang, satu suara, satu nilai (OPOVOV, one person one vote one value). Secara matematis, enam provinsi di Jawa dengan penduduk 127 juta jiwa (nyaris 60 persen total penduduk Indonesia) malah hanya memperoleh sekitar 55 persen kursi DPR.
Prinsip alokasi kursi yang „berdasarkan jumlah penduduk dengan memperhatikan perimbangan yang wajar“ itu pulalah yang kemudian menjadikan KPU menyatakan bahwa dalam hal pemekaran, ketentuan alokasi kursi minimal sama itu harus dilihat sebagai akumulasi kursi provinsi induk dan pemekaran.
Pemekaran telah mengubah komposisi wilayah berikut jumlah penduduknya. Misalnya saja, jika menilik catatan dalam Pemilu 1999, Maluku harus dilihat sebagai kesatuan dengan Maluku Utara sehingga memperoleh enam kursi DPR. Saat itu, Maluku terdiri atas enam daerah tingkat II, yaitu Kabupaten Maluku Tengah, Maluku Tenggara, Maluku Utara, Halmahera Tengah, Kota Ternate, dan Ambon.
Saat dimekarkan, tiga daerah tingkat II termasuk dalam wilayah Maluku Utara, dengan sendirinya alokasi kursi pun „terbawa“ oleh daerah pemekaran. Dengan logika berpikir itu, prinsip akumulasi kursi provinsi induk dan pemekaran pun diambil untuk mengakomodasi prinsip representasi-proporsional berdasarkan jumlah penduduk.
Memang terungkap kemudian, jika „interpretasi“ itu berbeda dengan niat awal yang diharapkan pembuat undang-undang. Pertanyaannya memang, kenapa ketentuan itu tidak tersurat dalam undang-undang? Apakah risalah bisa dijadikan pegangan hukum positif? Selain itu, apakah memang tidak ada antisipasi atas pemekaran (atau pengefektifan provinsi baru hasil pemekaran)? Ataukah memang tidak ada perhitungan detail berdasarkan data jumlah penduduk? Kenyataannya, ketika ketentuan tersebut dihadapkan dengan data jumlah penduduk hasil P4B, barulah implikasi rumit dalam perhitungan mulai bermunculan.
Bahkan, menurut hitungan Presiden Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Eropa Pipit Rochijat Kartawidjaja, dengan proses perhitungan yang dilakukannya, KPU sebenarnya harus jujur mengakui bahwa prinsip „keseimbangan“ itu terakomodasikan lewat perhitungan yang terkesan „coba-coba“. Praktik „main comot“ kursi terjadi dan secara matematis justru kursi dari Sumatera Utara dan Lampung yang dicomot untuk wilayah lain.
Fakta yang bisa dilihat secara terbuka, kuota di „barat“ tetap lebih tinggi daripada kuota di wilayah „timur“. Bahkan, kalau semua keinginan harus terakomodasikan, ketentuan bahwa jumlah kursi DPR dipatok 550 kursi itulah yang membuat seluruh perhitungan menjadi „mati“. Hanya dengan penambahan jumlah kursi DPR menjadi 565 kursi akan melegakan perhitungan (lihat tabel).
Karenanya, Pipit berani mengkritik keras pendapat salah seorang anggota Komisi II DPR asal Maluku yang memaparkan prinsip dasar perhitungan alokasi kursi DPR. Anggota DPR tersebut menyebutkan, mestinya perhitungan dimulai dengan mengalokasikan 458 kursi (462 kursi DPR yang dipilih dikurangi empat kursi DPR Timor Timur yang kini telah jadi negara berdaulat) sesuai dengan hasil Pemilu 1999, berikut jaminan tiga kursi untuk provinsi baru hasil pemekaran.
Selanjutnya, 92 kursi – yaitu selisih jumlah 550 kursi untuk Pemilu 2004 dengan 458 kursi pada Pemilu 1999 – dibagi berdasarkan kuota 425.000 untuk daerah berkepadatan penduduk tinggi dan kuota 325.000 untuk daerah berkepadatan rendah.
Pipit menilai paparan perhitungan tersebut asal-asalan karena penerapan metode itu menjadikan jumlah 550 kursi yang harus dialokasikan tidak akan cukup. Kalaupun sekadar bermain coba-coba, dengan mencomot sana-sini, sisa 92 kursi memang bisa teralokasikan dengan konsekuensi ada daerah yang kuotanya lebih dari 425.000, yang artinya ada pelanggaran atas UU No 12/2003 bagian penjelasan Pasal 48 Ayat (1) huruf a soal batas minimum dan maksimum kuota.
Alokasi kursi DPR pada Pemilu 2004 memang belum tuntas sampai tulisan ini selesai dikerjakan. Tertangkap kemungkinan bahwa KPU akan sulit mengubah hasil perhitungannya, kecuali ada perubahan data penduduk hasil P4B atau kemudian DPR dan pemerintah bersepakat untuk mengamandemen UU No 12/2003.
Perhitungan alokasi kursi DPR untuk Pemilu 2004 saja sudah demikian rumit, lantas pedoman seperti apa lagi yang harus dibuat untuk Pemilu 2009 nanti? Tentunya, yang dibutuhkan adalah ketentuan yang bisa ditaati tanpa harus banyak interpretasi dan tidak setengah- setengah mencangkokkan ketentuan. (Sidik Pramono)