Membagi Kursi DPR, Menghormati Undang-undang
Kompas, 16 September 2003
Alokasi Kursi Dewan Perwakilan Rakyat (Bagian 1)
SETELAH lebih dari sebulan molor dari jadwal yang dibuat, keputusan penetapan alokasi kursi Dewan Perwakilan Rakyat untuk Pemilihan Umum 2004 akhirnya keluar. Begitu diumumkan pada 21 Agustus 2003, reaksi penolakan langsung berhamburan kepada Komisi Pemilihan Umum. Setidaknya sudah empat utusan masyarakat mempersoalkan penetapan alokasi kursi itu. Sebuah parpol baru pun segera membuat rilis untuk memprotes hal yang sama. Dari Kota Ambon, sebuah radiogram dari Sekretariat KPU Provinsi Maluku mengabarkan bahwa pada Kamis siang, 4 September 2003, elemen yang berasal dari Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) menyegel Kantor KPU Kota Ambon dan KPU Provinsi Maluku sebagai bentuk protes atas penetapan alokasi kursi DPR di mana Maluku disebutkan hanya berhak atas tiga kursi DPR.
KEBANYAKAN tudingan menganggap KPU salah menginterpretasikan ketentuan undang-undang, yaitu ketika menerjemahkan ketentuan alokasi kursi „minimal sama dengan kursi hasil Pemilu 1999“ sebagai akumulasi kursi provinsi induk dan provinsi baru hasil pemekaran.
Ketentuan alokasi kursi DPR, sebagaimana termuat dalam UU No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, memang rumit. Pasal 48 Ayat (1) UU No 12/2003 menyebutkan, „Jumlah kursi anggota DPR untuk setiap provinsi ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk dengan memperhatikan perimbangan yang wajar“.
Bagian penjelasannya merincikan bahwa perimbangan yang wajar itu adalah: (a) alokasi kursi provinsi dihitung berdasarkan tingkat kepadatan penduduk dengan kuota setiap kursi maksimal 425.000 untuk daerah yang tingkat kepadatan penduduknya tinggi dan kuota setiap kursi minimal 325.000 untuk daerah yang tingkat kepadatan penduduknya rendah; (b) jumlah kursi pada setiap provinsi dialokasikan tidak kurang dari jumlah kursi provinsi sesuai pada Pemilu 1999; dan (c) provinsi baru hasil pemekaran setelah Pemilu 1999 memperoleh alokasi kursi sekurang-kurangnya tiga kursi.
KPU harus melaksanakan ketentuan itu saat mendistribusikan kursi DPR untuk 30 provinsi dalam Pemilu 2004 yang jumlahnya harus pas sebanyak 550 kursi. Tidak boleh lebih, tidak boleh kurang.
Dengan dasar itulah, kemudian KPU mengumumkan hasil simulasi terakhir alokasi kursi DPR pada jumpa pers resmi yang digelar 21 Agustus lalu. Saat itu, Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin menyebutkan, keputusan tersebut bersifat final. Tetapi, saat rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR awal September lalu, Nazaruddin menyebutkan keputusan tersebut merupakan hasil pembahasan final. Sebelum ditetapkan dalam sebuah surat keputusan lengkap dengan nomor surat, keputusan tersebut belum disebut „resmi“ sebagai sebuah keputusan.
Kenyataannya, hasil perhitungan itu langsung mentah ketika Komisi II DPR tidak bersepakat dengan alokasi kursi DPR untuk 32 provinsi yang telah diumumkan KPU. Sebelum pertemuan dengan Komisi II itu, KPU pun sudah menuai protes dari beragam kalangan, terutama terkait dengan alokasi kursi DPR untuk Provinsi Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan M Thahir Saimima dalam rapat dengar pendapat antara Komisi II dan KPU mengatakan, ada kesalahan interpretasi atas ketentuan penjelasan Pasal 48 Ayat (1) huruf b. Tidak ada satu pun ketentuan yang menjadikan kursi provinsi induk diakumulasikan dengan kursi provinsi pemekaran untuk memenuhi ketentuan minimal sama dengan kursi Pemilu 1999.
MENURUT anggota KPU, Anas Urbaningrum, tahapan pertama dalam alokasi adalah menyandingkan data jumlah penduduk hasil Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B) dengan kursi hasil Pemilu 1999. Khusus untuk provinsi induk – Riau, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua – jumlah kursi yang dipersandingkan dikurangi tiga kursi sebagai jaminan minimal untuk kursi provinsi baru hasil pemekaran. Riau dijamin memperoleh tujuh kursi, Sumatera Selatan (12), Jawa Barat (79), Sulawesi Utara (4), Maluku (3), dan Papua (10).
Tiga kursi minimal merupakan jaminan bagi enam provinsi baru, yaitu Provinsi Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Gorontalo, Maluku Utara, dan Irian Jaya Barat, sebagaimana termuat dalam penjelasan Pasal 48 Ayat (1) huruf c.
Dari langkah ini diperoleh hitungan kuota, yaitu jumlah penduduk dibagi dengan jumlah kursi. Dari langkah tersebut, dapat dipilah adanya tiga kategori daerah: provinsi dengan kuota kurang dari 325.000, provinsi yang kuotanya berkisar 325.000-425.000, dan provinsi yang kuotanya lebih dari 425.000.
Khusus untuk daerah yang kuotanya kurang dari 325.000, karena adanya jaminan kursi minimal sama dengan hasil Pemilu 1999 dan provinsi baru yang minimal memperoleh tiga kursi, maka alokasi kursinya tidak bisa diutak-atik. Terdapat delapan provinsi dengan kategori ini, yaitu Maluku Utara, Gorontalo, dan Irian Jaya Barat sebagai provinsi baru hasil pemekaran; serta Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.
Pada daerah yang termasuk kategori kedua-sebanyak sembilan provinsi dengan kuota yang berada di dalam rentang 325.000-425.0000-dapat langsung ditetapkan pula alokasi kursinya berdasarkan ketentuan minimal sama dengan kursi Pemilu 1999.
Merujuk pada paparan KPU, dalam dua kategori tersebut kursi yang teralokasikan untuk 17 provinsi (delapan provinsi kategori satu dan sembilan provinsi kategori dua) adalah 134 kursi. Pada langkah ini, terselip „penambahan“ kursi untuk Aceh sebanyak satu kursi. Meski demikian, penambahan ini tidak melanggar batasan kuota minimal 325.000.
Sisa kursi sebanyak 416 kursi harus dibagikan untuk 15 provinsi tersisa yang masuk kategori tiga. Sebagai bahan persandingan, batasan kuota minimal 325.000 dan kuota maksimal 425.000 digunakan untuk mengetahui kursi minimal dan maksimal yang harus dialokasikan untuk 15 provinsi tadi. Dengan perhitungan ini, kursi yang dibutuhkan berkisar 404-528 kursi.
Keenam provinsi di Jawa yang kepadatan penduduknya tinggi dapat dihitung dengan menggunakan batasan kuota maksimal 425.000 sehingga kursi yang teralokasikan untuk keenam provinsi itu sebanyak 303 kursi.
Tahapan berikut adalah membagi kursi tersisa sebanyak 113 kursi untuk sembilan provinsi kategori tiga yang ada di luar Jawa. Analog dengan langkah ketiga, kisaran kursi yang dibutuhkan – jika menghitung dengan kuota maksimal dan minimal – adalah 105-137 kursi. Dengan demikian, kursi di kesembilan provinsi tadi harus digerakkan dengan rentang kuota minimal 325.000 dan kuota maksimal 425.000. Menurut KPU, dengan langkah tersebut, tidak ada satu pun ketentuan penjelasan Pasal 48 Ayat (1) yang terlanggar.
Namun, menurut catatan Kompas, terdapat beberapa pokok yang harus dicermati dalam proses tersebut dan berpotensi menimbulkan ketidakpuasan. Penyelipan „penambahan“ kursi Aceh (dan juga kemudian pilihan memutuskan 11 kursi untuk Nusa Tenggara Barat), menunjukkan adanya prinsip „keadilan teritorial“ yang hendak diusung oleh KPU. Kursi Aceh diperoleh dari „pergeseran“ kursi provinsi lain di Sumatera (Sumatera Utara atau Lampung).
Sementara itu, kuota NTB dipatok mendekati kuota NTT yang memperoleh jaminan minimal sama dengan kursi Pemilu 1999 sehingga penambahan itu harus dibarengi „pencomotan“ kursi dari daerah lain. Adapun dengan data penduduk Maluku sebanyak 1.220.800 jiwa, kursi untuk Maluku memang tidak bisa dinaikkan lagi. Karena itu, dengan tiga kursi DPR, kuota kursi di Maluku memang mendekati daerah berkepadatan tinggi.
Menurut versi KPU, dengan perhitungan alokasi kursi DPR yang demikian, praktis hanya tiga kursi dari Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Barat yang masih bisa „digerakkan“ agar tidak melewati batas kuota maksimal 425.000 penduduk untuk setiap kursinya. Sebanyak 247 kursi DPR sudah „terkunci“ sehingga jika memang harus ada penyesuaian untuk Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua, maka jumlah kursi DPR sebanyak 550 jelas kurang.
Jika hendak „minimalis“, kursi yang dibutuhkan setidaknya 554 kursi atau idealnya bahkan 557 kursi. Bukan mati pada angka 550 kursi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 47 UU No 12/2003.
NAMUN, menurut Muhammad Asfar dari Pusat Studi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (PusDeHAM) Surabaya, lebih dari sekadar konsekuensi perhitungan, ketentuan alokasi kursi DPR sebagaimana termuat dalam UU No 12/2003 memang kabur, membingungkan, dan bahkan berbenturan karena salah satu ketentuan bertabrakan dengan ketentuan lain.
Penjelasan Pasal 48 Ayat (1) huruf a tidak disertai ketentuan tegas daerah yang termasuk berkepadatan penduduk tinggi dan rendah. Adanya batas kuota minimal 325.000 menjadikan benturan dengan substansi penjelasan Pasal 48 Ayat (1) huruf c yang memberikan jaminan tiga kursi bagi provinsi baru, berapa pun jumlah penduduknya. Penjelasan Pasal 48 Ayat (1) huruf a itu pun jelas akan berbenturan dengan huruf b yang menyatakan jumlah kursi setiap provinsi dialokasikan tidak kurang dari jumlah kursi provinsi sesuai Pemilu 1999.
Jika dikaitkan dengan pemekaran wilayah, pada provinsi yang mengalami pemekaran, jelas terjadi perubahan jumlah kabupaten/kota berikut penduduknya. Provinsi tersebut bisa menuntut jumlah kursi yang sama dengan Pemilu 1999. Hal itulah yang kemudian terjadi saat KPU menetapkan Sulawesi Utara memperoleh enam kursi, Maluku tiga kursi, dan Papua sepuluh kursi. Saat Pemilu 1999, Sulawesi (termasuk Gorontalo) memperoleh tujuh kursi, Maluku (termasuk Maluku Utara) enam kursi, dan Papua (termasuk Irian Jaya Barat) memperoleh 13 kursi.
PERHITUNGAN yang harus dilakukan KPU untuk Pemilu 2004 memang relatif lebih rumit ketimbang Pemilu 1999, misalnya. Karenanya, ketentuan alokasi yang penuh perhitungan tersamar tersebut wajar saja menjadikan KPU harus benar- benar berpikir ekstra keras agar ketiga butir penjelasan Pasal 48 UU No 12/2003 tidak terlanggar.
Presiden Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Eropa Pipit R Kartawidjaja yang teramat rajin membuat hitung-hitungan alokasi kursi DPR setiap provinsi sempat terheran-heran melihat KPU mampu menetapkan alokasi DPR untuk Pemilu 2004 kepada 32 provinsi.
Pasalnya, jika sekadar menilik hasil hitungan tersebut, KPU „kelihatannya“ tidak tergelincir pada pelanggaran ketentuan alokasi kursi DPR sebagaimana termuat dalam UU No 12/2003 mengenai pemilu anggota legislatif. Dari surat elektronik yang dikirimkannya dari Berlin, Jerman, kepada Kompas, Pipit mengakui bahwa hitungan alokasi kursi DPR untuk Pemilu 2004 nanti bisa-bisa tercatat sebagai hitungan paling rumit di dunia.
Pipit menyebutkan, KPU bagaimanapun memang harus „akal-akalan“ karena 550 kursi DPR yang harus dialokasikan memang tidak cukup. Interpretasi soal akumulasi alokasi kursi untuk provinsi induk dan pemekaran merupakan bagian yang bisa menyisip masuk di tengah ketidaktegasan perintah undang-undang.
Perbedaan pendapat soal kuota minimal 325.000 untuk daerah berkepadatan rendah dan maksimal 425.000 untuk kepadatan tinggi, misalnya, bisa sampai apakah nilai itu menjadi kuota pembagi (yang dilakukan di awal perhitungan) atau kuota pembanding (yang ditempatkan di akhir perhitungan). Jika kaku menempatkannya sebagai kuota pembagi-dengan tambahan ketentuan minimal tiga kursi untuk provinsi baru dan minimal kursi sebuah provinsi sama dengan perolehan dalam Pemilu 1999-maka jumlah kursi 550 buah tersebut pasti akan terlampaui.
Jika berpatokan pada undang-undang, satu-satunya dasar untuk mengalokasikan kursi DPR daerah pemilihan adalah jumlah penduduk dan wilayah administrasi pemerintahan. Nyatanya, setelah diaplikasikan, barulah semua orang berteriak meributkan soal geografi, sosial budaya, dan faktor lain yang tidak sedikit pun termuat dalam undang-undang.
„Kalau sudah begitu, kenapa jumlah pemilih enggak sekalian saja dimasukkan,“ kata Pipit.
BAIK Asfar maupun Pipit sepakat, forum konsultasi yang melibatkan DPR dan pemerintah selaku pembuat undang- undang dan KPU sebagai pelaksananya semakin menegaskan kekaburan dan inkonsistensi ketentuan UU No 12/2003 mengenai pemilu anggota legislatif. Konsultasi untuk membahas alokasi kursi DPR menunjukkan ketentuan yang termuat dalam undang-undang membingungkan dan bahkan saling bertabrakan.
Menurut Pipit, ketentuan undang-undang memang tidak bisa diterapkan dan dilaksanakan. Dengan memakai cara apa pun, tidak mungkin 550 kursi DPR teralokasi sesuai undang- undang. Apa pun yang dibuat oleh KPU, pasti akan melanggar undang-undang. Karenanya, KPU berada pada posisi tepat dengan „mengembalikan“ undang-undang tersebut kepada DPR yang membuatnya.
Menurut Pipit, ketika KPU membagi provinsi menjadi provinsi induk dan pemekaran, hal itu dinilai sudah berbau akal- akalan yang memang dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan persamaan tersamar yang tersulit di dunia. Jika jumlah kursi DPR dinaikkan, ketentuan alokasi kursi bisa diselesaikan tanpa harus ada interpretasi.
Asfar menyebutkan, atas perbenturan ketentuan undang- undang, harus dilakukan solusi cepat. Jika amandemen memang tidak dimungkinkan, wacana peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) wajar saja dimunculkan sebagai solusi lebih cepat. Dari ketiga butir penjelasan Pasal 48 Ayat (1), Asfar lebih sepakat jika perubahan dilakukan atas batasan kuota miminal 325.000 untuk wilayah berkepadatan rendah dan kuota maksimal 425.000 untuk wilayah kepadatan tinggi.
„Munculnya angka itu memang merupakan kecerobohan pembuat undang-undang,“ kata Asfar.
Menurut Asfar, „penyesuaian“ ketentuan undang-undang lebih baik dilakukan ketimbang harus „memaksakan“ KPU membuat keputusan yang melanggar ketentuan. Adanya celah hukum dalam undang-undang harus diperbaiki untuk mengurangi potensi gugatan kelompok yang kecewa. Para „avonturir“ politik juga bisa menggunakan celah tersebut untuk kepentingan sendiri.
Dengan kenyataan bahwa setiap keputusan KPU bisa diajukan gugatan kepada Mahkamah Agung (MA), tidak salah jika kemudian KPU meminta fatwa kepada MA atas persoalan pelik semacam itu.
„Dengan adanya fatwa MA lebih awal, kalau nantinya ada gugatan atas keputusan KPU tersebut, fatwa itu bisa menjadi pegangan,“ kata Asfar.
Menurut Pipit, tuntutan semacam itu semakin menegaskan bahwa UU No 12/2003 mengandung banyak kelemahan. DPR mestinya berkaca pada diri mereka sendiri. Elemen masyarakat-yang berkonsentrasi pada persoalan pemilu-pun dinilainya telah „tidur“ meloloskan hal-hal teknis itu. Namun, bagaimanapun, undang- undang yang telah turun tetap harus dihormati. Persoalan saat ini adalah bagaimana cara melaksanakan pemilu dan bukan malahan berupaya mencari celah untuk menggagalkannya. Keputusan KPU, bagaimanapun buruknya, harus diterima.
„Lha, kalau undang-undangnya saja enggak beres, mau diapain lagi? KPU terjepit memang,“ kata Pipit.
„Kalau undang-undangnya beres, pelaksanaannya pun bakal mulus. Lucunya di Indonesia, kok, parpol yang terlibat dalam pembuatan undang-undang malah menembak KPU. Itu yang tidak saya pahami,“ tambah Pipit.
Inikah buah penetapan ketentuan alokasi kursi yang tanpa simulasi memadai? (Sidik Pramono)