„Akal-akalan“ dalam Merebut Kursi Wakil Rakyat
Kompas, 04 Januari 2007
Sidik Pramono
Lupakan sejenak soal filosofi pemilihan umum. Sudah terlalu banyak yang akan setia memikirkannya. Persoalannya kini, terhadap soal-soal teknis pemilu, siapa yang peduli?
Setiap membicarakan pemilu, kebanyakan kita berputar-putar soal dua sistem besar pemilihan: proporsional atau distrik. Aspek teknis luput dari perhatian, misalnya soal daerah pemilihan.
Padahal, penetapan daerah pemilihan berpengaruh langsung terhadap sistem pemilihan, hubungan antara suara dan kursi atau berapa wakil rakyat yang pantas mewakili satu daerah pemilihan, serta peluang satu partai politik merebut kursi.
Di kebanyakan negara, gugatan yang kerap dilontarkan adalah soal penetapan daerah pemilihan, bukan soal sistem pemilihan umum. Soal daerah pemilihan adalah penentu awal bandul kemenangan dalam pemilu (Kompas, 27/9/2003).
Karena itu, tiap kali membicarakan aspek teknis pemilu, Pipit R Kartawidjaja dari Watch Indonesia di Berlin selalu melontarkan ucapan kecut, „Soal bikin daerah pemilihan Pemilu 2004, pemerintah dan DPR mengecewakan sekali atau setidaknya malas banget. Bagaimana dengan Pemilu 2009?“
Yang membuat tambah rumit, problem daerah pemilihan Pemilu 2004 bukan cuma dihadapi di tingkat nasional, menyangkut kursi DPR. Masalah lebih rumit (karena kurang terperhatikan) juga ditemukan di provinsi dan kabupaten/kota. Ironisnya, pengalaman Pemilu 2004 bisa saja terulang. Ikhtiar untuk merevisi undang-undang mengenai pemilu—terutama menyangkut aspek teknis daerah pemilihan— masih tercium samar-samar.
Jika sudah begini, yang tahu dan peduli akan menangguk keuntungan saat undang-undang diimplementasikan. Ketika semua berlalu, barulah semuanya disadarkan, betapa ruginya mereka ketika kelengahan hinggap.
Penentuan alokasi kursi berikut daerah pemilihan pada Pemilu 2004 merupakan pekerjaan rumit. Dari sembilan anggota KPU saat itu pun, mungkin hanya dua-tiga yang tekun memelototi penetapan daerah pemilihan ini.
Padahal, KPU terbebani untuk membuat kebijakan alokasi kursi DPR per provinsi. Penetapan daerah pemilihan anggota DPR terkendala karena kriteria yang ditetapkan undang-undang untuk alokasi kursi DPR per provinsi yang multitafsir. Sebagai penyelenggara pemilu, kewenangan menetapkan peraturan yang bersifat politis akan dengan mudah menggelincirkan tudingan bahwa KPU berpihak kepada daerah atau partai politik tertentu. Di sisi lain, partai politik pun tak sepenuhnya peduli dengan soal ini—hingga akhirnya selepas pemilu berlalu, sampai ada yang mengaku „dizalimi“.
Benarkah demikian? Lalu, siapa yang salah? Dari hitungan Pipit, banyak kasus yang menunjukkan penetapan daerah pemilihan pada Pemilu 2004 sarat dengan „akal-akalan“. Tentu tak semua pihak bisa menerima penilaian „akal-akalan“ tersebut—seorang politisi partai politik besar bahkan menyebut ungkapan itu sangat provokatif.
Sebut contoh, kenapa Nanggroe Aceh Darussalam harus mendapat 13 kursi DPR—sementara hitung-hitungan matematis dengan cara apa pun kursi DPR maksimal hanya 12? Andai Aceh hanya mendapatkan 12 kursi dan ditetapkan menjadi satu daerah pemilihan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) justru akan mendapatkan masing-masing 1 kursi dari Aceh. Namun, dengan „hibah“ 1 kursi lagi dan pemisahan menjadi 2 daerah pemilihan, jatah kursi itu pun lenyap. PKB dan PDI-P menjadi korban mengenaskan justru ketika kursi untuk Aceh ditambah.
Jika mau makin jauh berandai-andai, kalau Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya mendapatkan 11 kursi DPR, PKB justru akan kebagian 1 kursi. Sebaliknya, Partai Pelopor justru kehilangan 1 kursi. Demikian juga Partai Golkar dan PDI-P masing-masing akan kehilangan 1 kursi.
Siapa diuntungkan?
Namanya „akal-akalan“, tentu saja ada yang diuntungkan, ada juga yang akhirnya dirugikan. Pipit merujuk pada tuntutan Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua agar kursi DPR-nya „dikembalikan“ sama dengan Pemilu 1999—dengan mengesampingkan akumulasi kursi untuk provinsi baru hasil pemekaran? Entah kebetulan entah tidak, di daerah pemilihan yang harga kursinya „murah“, selalu saja Partai Golkar yang mendapatkan berkah.
Andaikan kursi DPR untuk Sulawesi Utara bertambah dari 6 ke 7 kursi, perolehan Partai Golkar yang naik dari 2 menjadi 3 kursi. Sementara jika Papua dengan 13 kursi DPR dan dua daerah pemilihan poros barat-timur, tambahan kursi akan dinikmati Partai Golkar, PDI-P, Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), dan Partai Pelopor—sebaliknya Partai Amanat Nasional kehilangan 1 kursi.
Contoh lain adalah Sumatera Selatan yang harus pasrah dengan 16 kursi DPR untuk diperebutkan pada Pemilu 2004. Jika ketentuan matematis diikuti, Sumatera Selatan berhak mendapat 17 kursi dan „keajaiban“ pun kembali terjadi karena PDI-P pun akan mendapatkan ekstra 1 kursi DPR lagi.
Jika Maluku mendapatkan 3 kursi DPR, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak akan mendapatkan apa-apa. Namun, dengan satu kursi yang didatangkan dari Nusa Tenggara Barat, satu kursi terakhir pun diambil PKS. Sebaliknya, karena NTB hanya mendapat 10 kursi DPR, harapan PKB mendapatkan tambahan kursi pun amblas.
Kasus di DKI Jakarta pun menarik dicermati, terutama dalam pemilahan wilayahnya menjadi dua daerah pemilihan anggota DPR. Partai Demokrat diuntungkan oleh penetapan daerah pemilihan berporos barat-timur versi KPU. Sebaliknya, jika ditetapkan dengan poros utara- selatan (yang notabene lebih proporsional), hak kursi PKB bisa „kembali“.
Di Sumatera Barat lain pula soalnya. Oleh KPU, ditetapkan daerah pemilihan Sumatera Barat I punya 8 kursi, sementara Sumatera Barat II punya 6 kursi DPR. Sebenarnya ada alternatif lain yang lebih patuh pada asas proporsionalitas, yaitu membagi Sumatera Barat dalam dua daerah pemilihan dengan masing- masing 7 kursi DPR. Andai saja, daerah pemilihan „alternatif“ yang dipergunakan, Partai Demokrat akan mendapat 2 kursi, sementara Partai Bintang Reformasi (PBR) justru kehilangan kursinya!
Berjaga
Pada triwulan pertama 2007 ini, diharapkan materi revisi paket undang-undang politik sudah disampaikan pemerintah ke DPR. Jangan sampai pengalaman daerah pemilihan Pemilu 2004 kembali terulang—terlebih Indonesia adalah wilayah „khas“ yang penduduknya kerap abai dengan hal-hal njlimet.
Merujuk contoh pengalaman beberapa negara, sebegitu pentingnya daerah pemilihan, satu dewan khusus pun perlu dibentuk—di samping Komisi Pemilihan Umum. Jerman, misalnya, membentuk Waehlerkommission dan Inggris butuh Boundary Commission untuk mendampingi kerja komisi pemilunya. Komisi atau badan itu mencakup berbagai unsur, termasuk wakil partai politik; perorangan non-politik yang independen seperti hakim; ahli terkait, seperti ahli demografi, geografi, statistik, kartografer; dan kombinasi dari semua elemen tersebut.
Waktu yang tersisa makin sedikit. Jika semua pihak tidak berjaga, bisa-bisa hasilnya akan sama saja. Kalau hanya begitu, apa bedanya antara terjaga-namun-tak melakukan-apa-apa dan tertidur-saja? <>