Peluang Ambang Bisa Disembunyikan Jawa Dominasi Penentuan Daerah Pemilihan
Kompas, 31 Januari 2007
Sidik Pramono
Beberapa waktu terakhir, ramai diperdebatkan perlunya penerapan parliamentary threshold untuk menciptakan sistem multipartai sederhana. Lepas dari perdebatan itu, begitu daerah pemilihan ditetapkan, sebenarnya dapat langsung terbaca adanya ambang „informal“ yang menjadi penentu bisa tidaknya partai politik meloloskan wakilnya ke parlemen. Lantas, bagaimana tingkat seleksi itu „diselinapkan“ dalam penetapan daerah pemilihan?
Dalam setiap daerah pemilihan selalu terdapat ambang (threshold) „terselubung“, yaitu ambang terselubung atas dan bawah. Ambang terselubung atas menunjukkan seberapa besar suara yang mesti diperoleh untuk mendapatkan alokasi „kursi pertama“ di suatu daerah pemilihan. Rumusan ambang terselubung atas adalah 100 persen dibagi jumlah kursi yang diperebutkan ditambah satu. Sebaliknya, ambang terselubung bawah dapat dijadikan ukuran untuk alokasi kursi dari „sisa suara“.
Rumusannya adalah 100 persen dibagi dengan dua kali jumlah kursi yang diperebutkan. Semakin banyak kursi yang diperebutkan di suatu daerah pemilihan, semakin rendah pula ambang terselubung yang harus dilampaui suatu parpol untuk mendapatkan satu kursi. Mengutip pandangan pakar sistem pemilu dari Jerman, Dieter Nohlen, semakin rendah besaran daerah pemilihan dan semakin sedikit jumlah kursi yang diperebutkan dalam satu daerah pemilihan, pada umumnya semakin kecil pula peluang bagi partai politik „gurem“ untuk mendapatkan kursi.
Sementara menurut Pipit R Kartawidjaja dari Watch Indonesia di Berlin, dalil ambang terselubung ini pernah dipergunakan Mahkamah Federal Swiss menurunkan fatwa terhadap kasus mencoloknya perbedaan besaran daerah pemilihan DPRD Zuerich yang bervariasi antara dua sampai 19 kursi. Dalam fatwa itu, perbedaan kursi dinilai sebagai pelanggaran terhadap asas kesetaraan atau persamaan dan mencederai proporsionalitas. Ini artinya juga merupakan pelanggaran terhadap ketentuan konstitusi.
Selain itu, semakin besar daerah pemilihan, semakin banyak kursi yang diperebutkan dalam satu daerah pemilihan, semakin banyak pula parpol yang berpeluang untuk mendapatkan kursi. Pengecualiannya tentu pada daerah pemilihan yang dikuasai partai politik berbasis massa di sana. Sebaliknya, partai politik baru dan „gurem“ mengecil peluangnya ketika harus bertarung di daerah pemilihan kecil yang kursi di parlemennya hanya sedikit. „Keinginan adanya konsentrasi parpol di parlemen cenderung sulit dilakukan kalau daerah pemilihannya besar-besar,“ kata Pipit lagi.
Variatif
Pada Pemilu 2004, besaran daerah pemilihan (district magnitude) sangat beragam. Jumlah kursi per daerah pemilihan juga menjadi sangat variatif dan terentang lebar karena ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2003 memang memungkinkannya terjadi. Ketentuan UU No 12/2003 menjadikan „harga“ kursi DPR di Jawa dengan luar Jawa mencolok perbedaannya. Sebagai ilustrasi, di Irian Jaya Barat, setiap anggota DPR cukup mewakili 130.433 jiwa. Sebaliknya, rata-rata anggota DPR dari Jawa Barat mewakili 422.844 pemilih. Bisa dikatakan, Jabar berketerwakilan rendah (underrepresented). Sebaliknya, Irjabar keterwakilannya berkelebihan (overrepresented). Menurut Pipit, perbedaan keterwakilan yang merupakan „penyakit“ pemilu itu lebih dikenal sebagai malapportionment atau ada juga yang menyebutnya sebagai representation subsidy. Akibat perbedaan keterwakilan itu, persyaratan untuk bisa duduk di parlemen pun menjadi tidak setara. Dari sisi teori demokrasi, perbedaan keterwakilan telah mencederai prinsip one man one vote yang merupakan syarat pembentukan pemerintahan yang demokratis.
Pada Pemilu 2004, ambang terselubung rata-rata pada 69 daerah pemilihan anggota DPR adalah 7,11 persen. Jika disepakati ambang (threshold) itu menjadi 5 persen, dengan sendirinya harus dilakukan penciutan di beberapa daerah pemilihan, yang kursinya lebih dari 10 mesti dicoret.
Menurut Pipit, kurang mengena jika Jawa yang „maju“ pun mesti mengalah pada luar Jawa yang relatif lebih „terbelakang“, karena bisa saja cara itu merupakan rekaan demi keuntungan kubu politik tertentu. Yang kerap terjadi, justru wakil daerah pemilihan yang „telantar“ itu umumnya adalah pembela status quo dan pembendung hawa reformasi.
„Persembunyian“
Soal besaran daerah pemilihan, Komisi Pemilihan Umum memutuskan, besaran daerah pemilihan untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota berpola „menengah-besar“, 6-12 kursi untuk setiap daerah pemilihan. Penetapan pola itu didasari keinginan untuk menjaga sistem proporsional serta tetap terbukanya peluang partai politik baru, kecil, dan sedang berkembang untuk merebut kursi parlemen. Pola ini juga diyakini akan meminimalisasi suara hilang yang tidak terkonversi menjadi kursi.
Hasilnya, 550 kursi DPR diperebutkan dalam 69 daerah pemilihan. Sebanyak 11 daerah pemilihan dengan total 125 kursi yang diperebutkan merupakan daerah pemilihan kelas „kakap“ karena per daerah pemilihannya memperebutkan lebih dari 10 kursi. Sebaliknya, delapan daerah pemilihan dengan total 28 kursi merupakan daerah pemilihan „kecil“ karena setiap daerah pemilihan memperebutkan 2-5 kursi.
Fakta lain, hanya 20 daerah pemilihan dengan total 129 kursi yang utuh merupakan satu wilayah provinsi. Sementara 49 daerah pemilihan sisanya dengan total 421 kursi tersebar di 12 provinsi. Dapat diartikan, satu wilayah pemerintahan provinsi harus dipilah menjadi minimal 2 sampai dengan 10 daerah pemilihan. Dari jumlah itu, Jawa-Madura paling dominan: 6 provinsi, 35 daerah pemilihan, 303 kursi. Jumlah yang relatif „wajar“ karena jumlah penduduk di Jawa-Madura lebih dari 50 persen total penduduk Indonesia. Daerah pemilihan di Jawa pada umumnya berkelas menengah sampai besar, yaitu 5-12 kursi.
Sekadar menyebut contoh, dengan banyaknya daerah pemilihan, Partai Golkar akhirnya banyak meraup sisa suara terbanyak sebagai konsekuensi cara perhitungan perolehan kursi seperti yang diatur dalam UU No 12/2003. Entah kebetulan atau tidak, di daerah pemilihan yang harga kursinya „murah“ selalu saja Partai Golkar yang mendapatkan berkah.
Jadi, siapa lagi yang masih mau „menyembunyikan“ threshold dalam Pemilu 2009? <>