Siapa Setuju Tambah Lagi Kursi di DPR?
Kompas, 08 Maret 2007
Sidik Pramono
Jangan pernah menghitung jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR periode 2004-2009 saat sidang paripurna saja. Kehadiran wakil rakyat di tingkat pengambilan keputusan tertinggi itu bisa-bisa sangat minimal, walau jumlah uang kehormatan yang semestinya disediakan setiap bulan tetap saja untuk 550 anggota Dewan.
Belum lagi jika menilik rapat pada alat kelengkapan atau panitia khusus. Daftar hadir boleh saja terisi, tetapi bisa saja anggota itu entah berada di mana. Jika hadir, belum tentu mereka menjadi „singa wicara“ dalam rapat bersama mitra kerja. Kalau bicara, belum tentu suara dari konstituen di daerah pemilihannya yang disampaikan.
Kalau kondisinya demikian, bagaimana nasib parlemen yang semestinya menjadi tempat penampungan aspirasi rakyat? Seberapa pantas jumlah wakil rakyat yang hendak dipilih pada Pemilu 2009 mendatang?
Jumlah kursi
Dari masa ke masa, jumlah anggota DPR terus berubah. Kecenderungannya, jumlahnya bertambah pada periode berikutnya. Jika sebelumnya ada anggota DPR yang diangkat, semenjak Pemilu 2004 seluruh anggota DPR dipilih langsung oleh rakyat.
Secara teoretis, keberadaan anggota parlemen terkait dengan fungsi perwakilan yang mengharuskannya berkomunikasi intensif dengan konstituen di daerah pemilihan, dan fungsi di parlemen yang mengharuskannya berinteraksi dengan anggota parlemen yang lain. Itulah pertimbangan penentuan besar- kecilnya parlemen.
Sejumlah literatur menyebutkan adanya hubungan sistematis antara besarnya parlemen dan jumlah penduduk. Mengutip buku Sistem Pemilu terbitan Ace Project, di negara demokrasi yang mapan dan negara industri maju, besaran parlemen adalah akar pangkat tiga dari jumlah penduduk.
Namun, untuk negara berkembang, hanya penduduk „aktif“ yang diperhitungkan, yaitu dengan masuknya faktor kemampuan baca-tulis dan persentase penduduk berusia kerja. Peramalan hitungan itu dinilai cocok secara empiris. Hampir tidak ada negara dengan parlemen yang anggotanya dua kali lebih banyak dari prediksi. Hanya beberapa negara yang parlemennya lebih kecil dari setengah angka prediksi.
Merujuk rumusan itu, dengan jumlah penduduk Indonesia mencapai 214.884 juta jiwa, jumlah kursi di DPR bisa mencapai 598 kursi. Namun, Pipit R Kartawidjaja dari Watch Indonesia di Berlin (Jerman) menilai, rumusan itu tidak berlaku mutlak. Di Amerika Serikat, kursi DPR bertahan dalam kurun 76 tahun, walau jumlah penduduknya melonjak lebih dari dua kali lipat. Contoh lain, di Belgia malah kursi parlemennya berkurang dari 212 kursi pada tahun 1977 menjadi 150 kursi pada tahun 2003. Hal yang hampir sama terjadi di Jepang.
Pipit juga menyebutkan, faktor politis lebih dominan dalam penentuan jumlah kursi. Selalu muncul dilema, jika kursi ditambah, pandangan miring soal pemborosan dan inefisiensi pasti mencuat. Sebaliknya, jika kursi DPR kurang, partai politik kelas „kakap“ saja yang diuntungkan. Selain itu, DPR yang terlalu ramping juga relatif kurang representatif, terutama untuk mengakomodasi persoalan menyangkut minoritas, keterwakilan perempuan, dan juga masalah perbedaan generasi.
Terkait penambahan kursi, implikasi yang paling mudah dihitung adalah keharusan penyediaan anggaran negara. Menambah jumlah anggota DPR berkonsekuensi pada pembengkakan anggaran, salah satu yang paling mudah dihitung adalah penyediaan uang kehormatan.
Asumsikan saja penerimaan anggota DPR Rp 50 juta per bulan. Dengan acuan itu, setidaknya dengan 550 anggota seperti sekarang, negara harus menyediakan Rp 27,5 miliar setiap bulannya. Kalau anggota DPR bertambah 10 kursi saja, dalam setiap bulannya tersedot tidak kurang Rp 500 juta. Bayangkan lagi, dalam satu periode masa jabatan, setidaknya Rp 30 miliar yang disediakan untuk membayar gaji pokok, tunjangan pasangan dan anak, tunjangan beras, tunjangan jabatan, uang siding, tunjangan kehormatan, bantuan langganan listrik dan telepon, tunjangan komunikasi intensif, serta tunjangan operasional khusus.
Jika diasumsikan kursi DPR pada Pemilu 2009 sama dengan pada Pemilu 2004, problem mendasar yang harus dipecahkan adalah alokasinya untuk masing-masing provinsi. Pada Pemilu 2004, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dihadapkan pada rentetan masalah terkait alokasi kursi ini. Interpretasi akumulasi kursi DPR provinsi induk dan pemekaran memancing reaksi dari Papua, Maluku, dan Sulawesi Utara. Data penduduk Maluku yang muncul belakangan mengharuskan kursi DPR dari Nusa Tenggara Barat „digerakkan“ ke Maluku. Ada juga kursi DPR „selundupan“ untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Belajar dari kerumitan yang dihadapi menjelang pelaksanaan Pemilu 2004, ketentuan seperti yang termuat dalam Undang- Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu jelas tidak memadai. Sulit memadukan ketentuan mengenai batasan kuota kursi untuk wilayah padat dan kurang padat; keharusan setiap provinsi memperoleh kursi DPR minimal sama dengan Pemilu 1999; dan juga provinsi baru hasil pemekaran mesti mendapatkan minimal tiga kursi.
Saat itu sempat muncul ide mengamandemen UU khusus menyangkut ketentuan jumlah kursi DPR akibat perhitungan matematis yang mentok. Ketika usul perubahan UU pun tak terwujud, muncullah hitungan „akal-akalan“ (yang terpaksa dilakukan KPU), namun tetap saja sulit disangkal dan „diluruskan“ oleh penentangnya.
Ketentuan pembagian kursi DPR untuk masing-masing provinsi, sebagaimana diberlakukan pada Pemilu 2004, hampir muskil diterapkan lagi jika kursi DPR tak bertambah. Jika seluruh ketentuan alokasi kursi DPR untuk masing-masing provinsi, sebagaimana termuat dalam UU No 12/2003 diterapkan, dibutuhkan setidaknya tambahan 10 kursi DPR. Karena itu, KPU sempat mengusulkan agar kursi DPR untuk pemilu mendatang tidak dipatok tetap.
Merujuk data penduduk menjelang Pemilu 2004, dengan estimasi pertambahan penduduk per tahun 1,25 persen, penduduk Indonesia diperkirakan membengkak menjadi 226,6 juta pada 2008. Dengan cara apa pun, kursi DPR yang hanya 550 jelas tidak cukup jika ketentuan alokasi versi UU No 12/2003 dipraktikkan kembali, segala jurus „akal-akalan“ sulit diandalkan.
Dalam kasus Indonesia, penentuan jumlah kursi DPR dan alokasinya bergantung pada batas penetapan data penduduk yang dijadikan acuan dan penetapan batas akhir pemekaran daerah. Keduanya terbukti menjadi masalah pada Pemilu 2004.
Sejumlah politisi di DPR saat ini mengaku tak terlalu tertarik dengan penambahan kursi DPR. Isu itu bukan pilihan populer, „suara rakyat“ pasti bernada sumbang jika DPR ngotot memperjuangkan penambahan kursi. Kesannya, elite parpol hanya memperjuangkan kepentingannya sendiri. Belum lagi jika penambahan kursi DPR berpotensi berimbas pada penambahan kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sebagai „saudara muda“, jumlah seluruh anggota DPD tak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.
Dari uraian di atas, ada persoalan yang satu demi satu harus diselesaikan. Persoalannya bertingkat: menambah kursi atau tidak. Jika memang 550 kursi tetap dipertahankan, problem alokasinya mesti disiapkan. Jika mau mencari jalan mudah, kursi DPR bisa ditambah. Hanya, jika uang negara terlalu banyak digelontorkan untuk anggota DPR, siapa yang menjamin rakyat yang sedang susah tidak bakal bertambah marah?
Ya, ini memang tidak ada yang mudah. <>