Hati-hati Tentukan Daerah Pemilihan
Kompas, 23 Juli 2003
Jakarta, Kompas – Penentuan daerah pemilihan merupakan salah satu proses penting dalam pemilihan umum mendatang sehingga harus dilakukan secara arif. Meskipun sudah ada aturan untuk penentuan daerah pemilihan, hingga sejauh ini tampaknya belum memadai untuk di tingkat operasional. Jika penentuan daerah pemilihan ini dilakukan secara sembarangan, maka justru akan memperbesar potensi konflik yang memang sudah ada.
Hal ini diungkapkan dosen ilmu politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, ketika dihubungi di Jakarta, Senin (21/7).
“Sistem pemilu kita sekarang sebenarnya tidak murni sistem distrik. Namun, dalam penentuan daerah pemilihan sebaiknya berdasarkan daerah administrasi saja,” ujarnya.
Menurut Andrinof, penentuan daerah pemilihan jangan sampai didasarkan pada prinsip-prinsip primordial. Meskipun ini terlihat masuk akal, sebenarnya justru membahayakan karena berpotensi memperbesar konflik yang sudah ada. “Kalau sengaja dipisahkan berdasarkan batas primordial, atau kantong-kantong pemilih suatu parpol, maka akan semakin besar potensi konflik yang muncul,” ujarnya.
Secara teoretis, membagi daerah pemilihan memang harus memperhatikan juga aspek geografis sekaligus budaya masyarakatnya. Namun, kata Andrinof mengingatkan, jangan sampai pembagian daerah itu dilakukan hanya berdasarkan budaya yang sama.
Suatu daerah pemilihan yang memiliki beragam budaya mungkin akan lebih dinamis dalam pemilu,” katanya.
Dia mencontohkan sistem pemilu di Selandia Baru yang juga sangat memperhatikan adanya budaya masyarakat. Penentuan daerah pemilihannya bukan sekadar teknis, namun juga secara sosiologis. Selain batas wilayah administrasi, pembagian daerah pemilihan juga memperhitungkan kepentingan komunitas setempat. Selain itu, juga perlu diperhatikan fasilitas komunikasi, kondisi topografi wilayah, serta jumlah pemilih dan perkiraan pemilih pada periode pemilihan berikutnya.
Daerah yang terjepit
Sementara dalam diskusi di Kantor Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) di Jakarta, Selasa siang, Direktur KIPP Eropa Pipit R Kartawidjaja mengatakan, penetapan daerah pemilihan yang nantinya akan dilakukan Komisi Pemilihan Umum hendaknya jangan sampai menimbulkan kondisi suatu daerah yang terjepit di dalam suatu wilayah daerah pemilihan yang lain. Jika hal itu terjadi, penduduk dalam daerah yang terjepit itu suaranya dapat diintervensi oleh kekuatan suara lain di daerah yang menjepit.
Namun, untuk melakukan hal itu diakui cukup sulit. Pipit mencontohkan, Surabaya yang berbobot kursi 45 untuk DPRD, daerah pemilihan kemungkinannya harus dibagi empat kawasan berdasarkan asumsi tiap kawasan berbobot maksimal 12 kursi. Dengan cara itu, akibatnya ada suatu daerah yang mayoritas merupakan penduduk keturunan Tionghoa. Jika kawasan itu merupakan daerah pemilihan tersendiri, masih ada kemungkinan untuk mendapat satu kursi. Namun, jika kawasan itu tercampur dengan kawasan- kawasan lain, kemungkinannya mereka tidak akan mendapat wakil.
Penetapan daerah pemilihan di Indonesia saat ini masih hanya berdasarkan wilayah administratif. Seharusnya, menurut Pipit, juga dipertimbangkan masalah kultural, historis, identitas komunitas, dan kekompakan. (mam/B14)