UU Parpol Diperkirakan Undang Reaksi 200 Parpol

Sinar Harapan, Jum’at, 22 November 2002

Jakarta, Sinar Harapanlogo Sinar HarapanRancangan Undang-undang (RUU) Partai Politik (Parpol) yang kini sedang dibahas untuk ditetapkan menjadi UU, diperkirakan bakal mengundang reaksi politik dari sekitar 200 Parpol. Reaksi itu terutama menyangkut ketentuan pendirian Parpol.

Demikian Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mulyana W. Kusumah, dalam acara peluncuran buku „Sistem Pemilu dan Pemilihan Presiden“ di Hotel Acacia, Jakarta, Kamis (21/11). Buku itu merupakan karya Mulyana W. Kusumah dan Pipit R. Kartawidjaja, Presiden KIPP Eropa.
Menurut Mulyana, RUU Parpol itu mengandung masalah krusial mengenai pendirian Parpol. Sebab dalam RUU itu ada ketentuan yang mengharuskan setiap partai memiliki cabang di sekitar 50 persen dari jumlah provinsi di Indonesia dan 50 persen cabang di kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. Selain itu, setiap partai wajib memiliki pengurus di 20 persen kecamatan dalam kabupaten/kota.
Ketentuan seperti itu tentu akan mengundang reaksi dari sekitar 200 Parpol yang sudah terdaftar di Depkeh dan HAM, lanjut Mulyana. Yang jelas, UU Parpol itu akan diberlakukan surut. Artinya, Parpol yang sudah berdiri sebelum UU itu tetap dikenai ketentuan seperti dalam UU itu. Selain reaksi dari aktivis Parpol, UU Parpol itu juga diduga akan mengundang perdebatan secara hukum karena UU itu berlaku surut. Menurut Mulyana, kalau UU Yayasan berlaku surut tapi diikuti dengan masa penyesuaian sekitar lima tahun. „Nah, UU Parpol ini akan undang debat hukum,“ katanya.
Dijelaskan, berbagai ketentuan dalam UU Parpol itu juga melahirkan prasangka politik terhadap anggota perwakilan rakyat di DPR. Kecuali itu, akan membawa beban administrasi bagi Depkeh dan HAM, karena Depkeh dan HAM harus memverifikasi kembali sekitar 220 Parpol. „Bagi KPU tentu butuh waktu lebih lama lagi untuk memverifikasi Parpol peserta pemilu.“  Menurut Mulyana, untuk penyelenggaraan Pemilu 2004 setidaknya membutuhkan lima RUU bidang politik, yakni RUU Parpol, RUU Pemilu, RUU Susduk, RUU Pemilihan Presiden dan Wapres, serta RUU Mahkamah Konstitusi. „Kalau dua RUU sudah dibahas Pansus DPR, tapi tiga RUU (lainnya-red) belum kedengaran,“ jelasnya.
Anggota KPU itu juga berpendapat bahwa sebenarnya pembentukan Mahkamah Konstitusi sangat penting artinya bagi penyelenggaraan Pemilu 2004. Sebab Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan antara lain memutuskan untuk pembubaran partai politik dan memutuskan perselisihan tentang hasil Pemilu.
Menyinggung tentang RUU Pemilu, Mulyana menjelaskan, setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam RUU Pemilu, yakni mengenai pembatasan jumlah Parpol peserta Pemilu.
Pembatasan itu tampak dari syarat pendirian Parpol dan pemberlakuan electoral treshold bagi partai peserta Pemilu 1999. Selain itu, RUU Pemilu juga mengandung konsekuensi dalam pengajuan calon presiden dan Wapres, karena ada ketentuan yang menyatakan bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politik yang mencapai 20 persen perolehan suara yang berhak mengajukan calon presiden dan Wapres. „Jika ini diberlakukan, maka praktis hanya ada sekitar 4-5 pasang calon presiden dan Wapres dalam Pemilu mendatang,“ katanya. Sedangkan menyangkut sistem Pemilu, Mulyana melihat bahwa sistem proporsional stelsel tertutup seperti tahun 1999 masih tetap dipertahankan, namun disertai dengan berbagai penyempurnaan, termasuk pemilihan calon secara demokratis dalam intern Parpol.
Sementara itu Kepala Perwakilan Friedrich-Nauman Stiftung (FNS) untuk Indonesia, Rainer Adam, dalam acara peluncuran buku itu mengatakan, sistem Pemilu sangat penting artinya, karena sistem Pemilu yang digunakan akan mempengaruhi komposisi badan parlemen dan pemerintahan terpilih.
Selain itu, sistem Pemilu mempengaruhi struktur sistem partai dan proses pembentukan opini publik dan kehendak para pemilih. Bahkan sistem Pemilu mempengaruhi budaya politik sebuah negara. Menurut Rainer Adam, setidaknya ada 300 sistem Pemilu di dunia, tapi nyaris tak ada dua sistem Pemilu yang benar-benar sama. Sebagai sistem, tidak ada sistem Pemilu yang sempurna. Karena itu dari masa ke masa perlu dilakukan perubahan sesuai dengan dinamika dan keperluan untuk mengakomodir perubahan perangkat nilai dalam masyarakat. (ady)


Tags: , , , ,


Share

Aksi!


Hutan Hujan Bukan Minyak Sawit



Petisi



Menyusul kami