Kinerja MK Dibayangi Ketidakstabilan
Kompas, 17 April 2007
Peradilan
Jakarta, Kompas – Meskipun kinerja Mahkamah Konstitusi selama ini dinilai baik dan sesuai dengan harapan masyarakat, kondisi itu senantiasa dibayang-bayangi oleh ketidakstabilan dan ketidakefektifan sistem politik dan pemerintahan Indonesia. Dalam beberapa kasus, MK terjebak interpretasi demokrasi yang didasarkan pada kepentingan golongan dan partai politik melalui peraturan perundangan yang mereka ciptakan.
“Mahkamah Konstitusi (MK) masih menoleransi interpretasi undang-undang dasar ke dalam sistem politik dan pemerintahan Indonesia yang rancu antara sistem presidensial dan parlementer. Itu tampak dengan diberlakukannya hak untuk menarik anggota DPR oleh partai sebagai unsur pemerintah parlementarianisme. Padahal, tindakan itu justru menjebak MK ke dalam persekongkolan melanggar undang-undang dasar yang memastikan penggunaan sistem politik dan pemerintahan presidensial,” ungkap dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Arbi Sanit, Senin (16/4) di Jakarta.
Arbi Sanit mengatakan pendapatnya itu dalam diskusi publik yang mengiringi peluncuran buku The New Indonesian Constitusional Court yang ditulis Petra Stockmann. Hadir dalam peluncuran buku itu, antara lain, Ketua MK Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua MK Jerman Jutta Limbach, Ketua Yayasan LBH Indonesia Patra M Zen, serta Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanti.
Menurut Arbi, dalam sistem pemerintahan ganda, yaitu parlementer dan presidensial, peran MK sangat diperlukan. Dualisme yang rawan konflik itu sangat memungkinkan kekuasaan politik yang mengatasnamakan negara memainkan peran melebihi kewajaran. MK diperlukan untuk membenahi ketatanegaraan dan menjadi faktor pembaru sistem politik dan pemerintahan.
Senada dengan hal itu, Ketua Yayasan LBH Indonesia Patra M Zen mengatakan, MK dibutuhkan untuk mengikat pemerintah agar patuh terhadap konstitusi. Kehadiran MK, tutur Patra, sebenarnya memberi harapan bagi rakyat yang selama ini sulit memperoleh keadilan.
Negarawan
Dengan posisi seperti itu, baik Patra maupun Arbi Sanit berpendapat, hakim MK seharusnya tidak hanya hadir sebagai sosok penegak hukum, tetapi juga sebagai seorang negarawan. Mereka bahkan harus berani mengorbankan kepentingan politik mereka demi kepentingan politik nasional jangka panjang.
Untuk itulah Patra mengusulkan agar masa jabatan hakim konstitusi diperpanjang setidaknya selama 12 tahun.
Dalam kesempatan lain, hakim konstitusi Maruarar Siahaan mengatakan bahwa masa jabatan hakim konstitusi tidak perlu seumur hidup, tetapi seharusnya lebih panjang dibandingkan masa kerja hakim konstitusi sekarang yang hanya menjabat selama 5 tahun.
Ia mencontohkan, hakim konstitusi di Jerman masa jabatannya sampai 12 tahun.
Maruarar juga menyatakan tidak setuju jika para hakim konstitusi harus mencalonkan diri lagi untuk bisa diangkat kembali. (jos/vin)